A.
Pengertian Kurikulum
Dalam bahasa Arab Menurut Omar Muhammad (1979 : 478), term kurikulum
dikenal dengan term manhaj, yakni
jalan terang yang dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan
kurikulum diartikan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta
didik untuk menggabungkan pengetahuan, ketampilan, sikap dan seperangkat nilai.
Secara etimologi, artikulasi kurikulum
dapat dibedakan menjadi dua, pertama,
dalam pengertiannya yang sempit, disebut juga (pengertian tradisional) yakni
sebagaimana dirumuskan Regan ( 1960 : 57) “ The
curriculum has mean the subjects taught in school, or the course of study “.
Kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi. Kedua, dalam pengertiannya yang luas,
disebut juga (pengertian modern), yakni seperti dirumuskan Spear ( 1975 : 67) “The curriculum is looked as being composed
of all the actual experience pupils have under school direction, writing a
courrse of study become but small prt of curriculum program”.
Kurikulum adalah semua pengalaman aktual
yang dimiliki siswa di bawah pengaruh sekolah, sementara bidang studi adalah
bagian kecil dari program kurikulum secara keseluruhan. Rumusan ini
dijustifikasi oleh sejumlah pakar lain seperti Saylor dan Alexander yang menyebutkan “The curriculum is the sum total
of the school’s effort to influence learning whether in the calssroom, on the playground,
or out of shoo” kurikulum adalah keseluruhan usaha sekolah dalam
mempengaruhi belajar anak yang berlangsung di dalam kelas, di sekolah, maupun
di luar sekolah. Melampaui pembagian diatas, saat ini ada juga beberapa pakar
seperti Lee and Lee ( 1940 : 211) yang menyebutkan bahwa “Curricuum is the strategy which we use in adapting this cultural
geritage to the purpose of the shoo “ Kurikulum adalah strategi yang
digunakan untuk mengadaptasikan pewarisan kultural dalam mencapai tujuan
sekolah.
Berbicara tentang pengembangan kurikulum, dalam konteks tulisan ini lebih
menekankan pada model pengembangannya yang setidaknya dapat diklasifikasi
menjadi empat aspek, yaitu tujuan pendidikan, bahan pembelajaran, proses
pembelajaran, dan penilaian. Oleh karena
itu, bermuara dari empat hal ini akan diurai bahasannya yang dapat
dipertimbangkan implementasinya di dunia pendidikan pesantren.
B. Tujuan Kurikulum Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren pada umumnya diserahkan kepada proses
improvisasi menurut perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh Kiai atau
bersama-sama pembantunya secara intuitif.
Pemilihan secara intuitif bukanlah hal yang aneh, hal ini disebabkan oleh
kapasitas seorang kiai yang melebihi manusia biasa pada umumnya dalam hal ilmu
dan amal. Ilmu dan amal akan mendekatkan manusia kepada penciptanya. Jika hamba
tersebut telah dekat kepada penciptanya, maka Dia akan menjadi pendengaran yang
ia pakai mendengar, menjadi penglihatan yang ia pakai melihat dan seterusnya.
Di sisi lain, kiai mendirikan pesantren dengan segala upaya dan jerih
payahnya sendiri. Sehingga jika dalam penentuan tujuan kurikulum secara
intuitif adalah kekhasan tersendiri dalam dunia pesantren.
Secara rinci tujuan pendidikan pesantren meliputi meninggikan moral,
melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan
mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Dan hal yang
perlu ditegaskan bahwa tujuan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan
kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, melainkan ditanamkan bahwa belajar
semata-mata adalah kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Memperhatikan pendapat tersebut, tampaknya tujuan umum pesantren adalah
untuk mendidik dan meningkatkan ketakwaan dan keimanan seseorang sehingga dapat
mencapai manusia insan kamil. Hal ini akan lebih laras apabila aspek humanistik
berusaha memberikan pengalaman yang memuaskan secara pribadi bagi setiap
santri, dan aspek teknologi yang memanfaatkan proses teknologi untuk
menghasilkan calon ulama yang kaffah dapat direalisasikan sebagai tambahan
tujuan pendidikan pesantren. Di samping yang umum, perlu adanya tujuan khusus
yang justru mengarah pada tujuan lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi
pesantren berada.
C. Materi Kurikulum Pesantren
Materi yang diajarkan di pesantren adalah materi yang bersumber pada kitab
klasik. Kitab klasik yang diajarkan pesantren digolongkan ke dalam delapan
kelompok, yaitu:
1. Nahwu (syintak) dan sharaf (morfologi)
2. Fiqh
3. Ushul Fiqh
4. Hadits
5. Tafsir
6. Tauhid
7. Tasawuf dan Akhlak
8. Cabang lain seperti Sejarah ( Tarikh ) dan Balaghah.
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek, menengah sampai
dengan teks terdiri dari berjilid-jilid tebal. Semuanya dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok, yaitu kitab dasar, kitab menengah dan kitab besar.
Pelajaran di atas, tampak bobotnya pada bidang ilmu agama. Dengan pendek
kata, kajian teologi, fiqh, dan etika dengan sedikit ilmu sejarah dan logika.
Mengingat Kiai adalah tokoh anutan ulama dalam setiap pesantren, maka
masing-masing pesantren memiliki keistimewaan masing-masing dan vak tertentu
sesuai dengan keahlian masing-masing kiai.
Guna mengembangkan sumber daya manusia, untuk saat ini, pesantren mulai mau
mengembangkan materi kurikulum melalui jalur aplikasi teknologi, sehingga
kurikulumnya tidak terlalu bersifat subyek akademik. Dengan demikian, pesantren
sebagai basis kekuatan Islam diharapkan memiliki relevansi dengan tuntutan
dunia modern, baik untuk masa kini maupun masa mendatang. Jauh sebelumnya,
al-Zarnuji mengatakan: “ Ilmu yang paling utama adalah ilmu hal ( yang sesuai dengan konteks ),
dan amal yang paling utama adalah menjaga hal ( tingkah laku ). “
Ada tiga tawaran yang mungkin dapat ditambahkan sebagai bahan pengajaran
yang banyak menonjolkan pemikiran, yaitu ushul fiqh, mantiq (logika) dan
tajribah (eksperimen). Logika
dan ushul fiqh amat penting lantaran keduanya termasuk cabang dari filsafat
yang nota bene mengutamakan pemikiran yang mendasar dan mendalam.
Dengan ilmu logika, santri akan lebih tajam analisisnya, sedangkan dalam
ilmu ushul fiqh dapat diharapkan santri menjadi mujtahid, minimal murajjih,
bukan semata-mata menjadi muqallid yang pasif. Orang yang mempelajari dan
mendalami ushul fiqh akan menjadi mujtahid, dan orang yang hanya menghapal fiqh
akan menjadi pendukung fanatisme madzhab ( ta’asshub al-Madzhab ).
D. Pelaksanaan Kurikulum Pesantren
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu
model sorogan dan model bandongan. Kedua model ini Kiai aktif dan santri pasif.
Secara teknis model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari, sedangkan model
bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti
pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiai menerangkan pelajaran secara kuliah
dengan terjadwal.
Baik dengan model sorogan maupun bandongan dilakukan dengan pembacaan kitab
yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatikal,
peninjauan morfologi dan uraian semantik. Kiai sebagai pembaca dan penerjemah,
bukanlah sekadar membaca teks, melainkan juga memberikan pandangan-pandangan
(interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasanya. Kedua model
pengajaran ini oleh sementara pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional.
Meskipun sorogan dan bandongan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti
tidak menerima inovasi. Metode ini sebenarnya konsekuensi dari layanan yang
ingin diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi
dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik.
Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan
seseorang.
Sorogan adalah metode mengajar secara indivividual langsung dan intensif.
Dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode ini adalah metode yang modern
karena antara kiai dan santri saling mengenal secara erat, dan guru menguasai
benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dan membuat
persiapan sebelumnya. Demikian guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat
murid dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya. Di
samping itu, metode sorogan juga dilakukan secara bebas ( tidak ada paksaan ),
dan bebas dari hambatan formalitas.
Dengan demikian, yang dipertimbangkan bukan upaya untuk mengganti metode
sorogan menjadi model perkuliahan sebagaimana sistem pendidikan modern, melainkan
merenovasi sorogan menjadi sorogan yang mutakhir ( gaya baru ). Santri diberi
tugas satu persatu pada waktu tatap muka yang terjadwal, setelah membaca
diadakan pembahasan dengan cara berdialog dan berdiskusi sampai mendapatkan
pemahaman yang jelas pada pokok bahasan.
Sejalan dengan itu, tampaknya perlu dikembangkan di pesantren model sorogan
gaya mutakhir ini sebagai upaya pengembangan model pengajaran. Sudah barang
tentu akan lebih lengkap apabila beberapa usulan metode sebagai alternatif
perlu dipertimbangkan, seperti metode ceramah, kelompok kerja, tanya-jawab,
diskusi, demonstrasi, eksperimen, widya wisata, dan simulasi.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru atau ustadz biasanya melakukan
tahap persiapan yang meliputi : menelaah materi dari kitab tertentu yang akan
diajarkan, menelaah kitab-kitab lain yang memiliki relevansi dengan materi yang
akan disampaikan, membuat catatn khusus tentang hal yang dianggap penting dari
penelaahan kitab-kitab tersebut, merancang dan mempersiapkan alat bantu yang
dibutuhkan dalam mengajarkan materi.
Dalam tahap pemeriksaan atau penilaian guru atau ustadz memiliki langkah
yang diantaranya: menunjuk salah seorang santri membaca teks yang diajarkan,
memeriksa kitab pegangan santri serta melihat praktek ibadah santri. Dan pada
tahap penutupan diakhiri dengan pemberian kesempatan kepada santri untuk
bertanya mengenai hal-hal yang belum jelas.
E. Evaluasi Kurikulum Pesantren
Pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem pendidikan modern belum
mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan
bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai,
apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian
kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran
pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang
telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat; dan kalau santri belum
puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami
ilmunya.
Penilaian kemampuan akademik seorang santri tentang kompetensi hasil
pendidikan tidak ditentukan berdasarkan angka-angka yang diberikan oleh guru
dan secara formal diakui oleh institusi pendidikan yang bersangkutan, tetapi
ditentukan oleh kemampuannya mengajar kitab-kitab atau ilmu-ilmu yang telah
diperolehnya kepada orang lain. Dengan kata lain, potensi lulusan pondok
pesantren langsung ditentukan oleh masyarakat konsumen.
Namun demikian, tampaknya penilaian akademik semacam itu sulit dikembangkan
dan dibudayakan dalam dunia modern ini mengingat akan produk pendidikan yang
semakin massif dan formal. Dalam situasi demikian, dunia pesantren menjadi amat
penting untuk membuktikan dan mengembangkan sistem penilaian yang komprehensif,
baik yang menyangkut domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Tentu saja perlu menentukan kriteria penilaian, penyusunan program
penilaian, pengumpulan data nilai, menentukan penilaian ke dalam kurikulum. Hal
ini perlu waktu yang cukup lama, meng-ingat banyak faktor, terutama tenaga ahli
teknik evaluasi maupun hambatan dari lingkungan masyarakat pesantren itu
sendiri. Lepas dari pro dan kontra, pengembangan sistem penilaian tidak harus
mengikuti model penilaian pendidikan umum, melainkan dikembangkan sistem
penilaian yang komprehensif sesuai dengan tenaga pendidikan yang ada di
pesantren. Oleh karena itu, ijasah sebagai pengakuan bahwa santri telah
menguasai matapelajaran/kitab perlu diberikan, meskipun itu bukan maksud utama
bagi santri dan bagi lembaga pesantren.
Sumber Bacaan:
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991).
Madjid, Nurcholish, “Merumuskan Kembali
Tujuan Pendidikan Pesantren, dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia
Pesanten: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985).
Dhofier, Zamakhsyari , Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES).
Al-Zarnuji, Ta’lim al-Mutaallim, (
Indonesia : Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah ).
Chirzin, M. Habib, “Agama dan Ilmu dalam
Pesantren”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan
(Jakarta: LP3ES, 1986).
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Pengantar Hukum
Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
Suyoto, “Pesantren dalam Alam Pendidikan
Nasional”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan,
(Jakarta: LP3ES, 1988).
Mastuhu, Prinsip Pendidikan Pesantren,
(Jakarta: P3M, 1988).
Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP
Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993).
http://blog.re.or.id/kurikulum-pendidikan-pondok-pesantren-tradisional.htm