Tahukah
Anda apa perintah Tuhan yang pertama kali kepada umat Islam melalui Nabi
Muhammad? Perintah itu diulangi oleh Jibril Sang Pembawa Perintah sampai 3
(tiga) kali karena begitu pentingya. Ya, Anda benar. Perintah tersebut adalah
untuk MEMBACA. Jadi perintah Tuhan
pada umat Islam yang pertama kali itu adalah MEMBACA (yang sampai diulangi tiga
kali) dan bukan mengucapkan syahadat, sholat, ngaji, apalagi naik haji! Tapi
tahukah Anda perintah Tuhan yang manakah yang paling ditinggalkan oleh umat
Islam saat ini? Ya perintah MEMBACA itu! Jadi tidak salah kalau saat ini umat
Islam menjadi umat yang paling tertinggal dibandingkan umat lain lha wong
mereka tidak melaksanakan pernitah Tuhan yang pertama kok! Mbandel kok pingin
disayang! Seandainya saja umat Islam melaksanakan perintah Tuhan yang begitu
penting ini maka sebenarnya umat Islam adalah umat yang paling literate, atau
yang paling melek huruf dan yang paling berilmu dibandingkan umat-umat lain.
Ajaran
Islam penuh dengan anjuran untuk belajar…belajar… dan belajar dan
berpikir…berpikir…berpikir. Bahkan dalam suasana perang dimana dibutuhkan semua
tenaga laki-laki yang sehat untuk ikut berperang Rasulullah masih juga
menyatakan agar tidak semua orang ikut berperang tapi ada sebagian orang BELAJAR
memperdalam ilmu. Bahkan Rasulullah yang tidak pernah pergi ke Cina menyatakan
dalam hadistnya yang tersohor (meski ada yang menganggapnya sebagai hadist yang
lemah) agar umatnya menuntut ilmu sampai ke China. Belajar sebenarnya merupakan
NAFAS dari ajaran Islam.
Meski
hafal surat Iqra’ dan membacanya setiap hari dalam sholat tapi umat Islam tidak
menjadikan MEMBACA sebagai aktivitas sehari-hari yang harus diperlakukan
sebagai IBADAH sebagaimana kita memperlakukan SHOLAT, ZAKAT, DZIKIR, dll
Membaca tidak pernah dianggap sebagai suatu IBADAH. Membaca bahkan tidak
dianggap sebagai PERINTAH atau AJARAN Islam. Ironis sekali.
Coba
perhatikan negara kita yang penduduknya mayoritas muslim ini. Berapa banyak
kota besar di Indonesia yang memiliki perpustakaan besar dan modern yang
merupakan cirri sebuah kota modern? Tidak banyak. Bahkan Jakarta sebagai
ibukota negara dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta orang perpustakaannya
tidak mencerminkan sebagai perpustakaan sebuah negara besar. Perpustakaan Kota
Kinabalu di Malaysia jauh lebih besar, modern dan lengkap koleksinya. Jumlah
kunjungan ke perpustakaan pusat di Jakarta hanya dikunjungi oleh rata-rata 200
orang sehari dan hanya 20% yang meminjam buku. Ini artinya MASYARAKAT KITA
TIDAK MEMBACA.
Sekarang
coba perhatikan apa yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Berapa banyak sekolah
yang punya perpustakaan? Dari 250.000 sekolah yang ada di Indonesia mungkin
hanya 5 % yang punya perpustakaan yang layak disebut sebagai perpustakaan. Dari
yang punya perpustakaan, berapa banyak yang punya buku-buku bacaan selain buku
paket? Dari sedikit sekolah yang punya perpustakaan dan buku-buku bacaan,
berapa banyak yang punya program rutin MEMBACA DI KELAS? Hampir tidak ada. Ini
artinya ANAK-ANAK KITA TIDAK MEMBACA DI SEKOLAH. Lantas bagaimana kita bisa
mengaku sebagai umat Islam terbesar di dunia tapi tidak melaksanakan perintah
Tuhan yang pertama tersebut? Dimana impelementasi IQRA’nya?
Untuk
menjadi bangsa yang ‘literate’ idealnya 1 koran dibaca 10 orang tapi di
Indonesia 1 koran dibaca oleh 45 orang. Kita bahkan kalah dengan Srilanka
dimana 1 koran dibaca oleh 38 orang dan di Filipina 1 koran dibaca oleh 30
orang. Sekarang coba perhatikan apa yang terjadi di rumah-rumah kita. Berapa
banyak keluarga muslim yang telah menjadikan MEMBACA sebagai kegiatan IBADAH
yang sama pentingnya dengan sholat, mengaji, sedekah, puasa, dll.di rumah-rumah
mereka? Sekarang kegiatan utama keluarga muslim di rumah adalah menonton TV,
dan bukannya membaca seperti yang diperintahkan oleh Allah. Budaya menonton
telah membius keluarga kita. Statistik menunjukkan bahwa jumlah waktu yang
dipakai oleh anak-anak Indonesia menonton TV adalah 300 menit/hari. Bandingkan
dengan anak-anak di Australia 150 mnt/hari, Amerika 100 mnt/hari, dan Kanada 60
mnt/hari.
Apa
akibatnya jika bangsa kita tidak membaca? Kemunduran dan kemerosotan tentu
saja. Berdasarkan hasil studi Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank
dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Crisis to
Recovery“ tahun 1998, menunjukkan kemampuan membaca siswa kelas VI Sekolah
Dasar di Indonesia hanya 51,7. Jauh dibandingkan dengan Hongkong (75,5),
Singapura (74,0), Thailand (65,1) dan Filipina (52,6). Hasil studi ini
membuktikan kepada kita bahwa membaca belum –kalau tidak mau dikatakan bukan–
menjadi program yang integral dengan kurikulum sekolah. Apalagi menjadi budaya.
Hal
ini juga bisa dilihat dari berbagai statistik tentang negara kita. Dalam world
Competitiveness Scoreboard 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 59 dari 60
negara yang diteliti. Padalah Malaysia sudah berada di perinkat 28 dan India
39. Hal ini juga bisa dilihat dari catatan Human Development Index (HDI) kita
yang terus merosot dari peringkat 104 (1995), ke 109 (2000), 110 (2002, dan 112
(2003). Belum cukupkah semua ini membuat kita sadar bahwa ada yang salah dari
sistem pendidikan kita yang tidak memberi perhatian besar pada kegiatan membaca
yang merupakan inti dari pendidikan?
Jika
kita mau melihat kebelakang pada masa Krisis Moneter Juli 1997 yang lalu. Korea
Selatan, Thailand, Malaysia dan Singapura, mampu mengatasi krisis ekonomi
bangsanya relatif dalam waktu pendek hanya sekitar 2 – 3 tahun saja. Hal ini
disebabkan karena mereka telah mempunyai SDM yang kompetitif, unggul, kreatif,
dan siap menghadapi segala bentuk perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya
dan lainnya. Bangsa Indonesia sampai saat ini belum juga bisa bangkit.
Menurut
para ahli, membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup
(itu sebabnya Allah menjadikannya sebagai Perintah Pertama, First Commandment,
bagi umat Islam). Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.
Dengan kemampuan membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat
keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan membuka peluang
kesuksesan hidup yang lebih baik. Farr (1984) menyebutkan “Reading is the heart
of education”. Seharusnya dalam Islam membudayakan membaca adalah sebuah
‘fardhu kifayah’ atau ‘social responsibility’ yang apabila tidak dilakukan akan
menjadi dosa bersama.
Berdasarkan
penelitian Baldridge (1987), manusia modern dituntut untuk membaca tidak kurang
dari 840.000 kata per minggu. Kurang dari itu dianggap belum modern tentunya.
Bayangkan jika umat Islam sama sekali tidak punya kegiatan membaca baik di rumah,
di sekolah, maupun di lingkungan.. Umat Islam jelas akan menjadi umat yang
paling tertinggal dibandingkan umat-umat lain. Dan itu telah terjadi saat ini.
Padahal Tuhan telah memerintahkan mereka untuk MEMBACA sejak pertama kali. Tak
heran jika daya saing siswa dan bangsa kita selalu terpuruk karena ketrampilan
dasar bagi peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan tidak kita miliki.
Apa
sebab bangsa kita tidak mampu menguasai ilmu dan teknologi yang akan dapat
membuat bangsa kita kompetitif, unggul dan kreatif? Itu karena Membaca belum
menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Membaca harus
dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita barulah kita bisa menapak ke
tingkat yang lebih tinggi yaitu menjadi bangsa yang terpelajar, berilmu, kompetitif
dan kreatif. Mengapa hal ini saya anggap sebagai ancaman global yang sangat
kritis? Karena untuk mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu
proses dan waktu panjang sekitar 1 atau 2 generasi, tergantung dari “political
will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah
berkisar sekitar 15 – 25 tahun. Apakah kita punya keinginan untuk berubah dan
waktu untuk itu? Jika kita gagal menjawab tantangan ini maka bangsa kita akan
terus terpuruk menjadi negara dunia ketiga yang tidak akan mampu untuk bangkit.
Bangsa
kita telah gagal menjadikan membaca sebagai budaya sebagaimana bangsa-bangsa
maju lainnya. Dan ini merupakan ancaman yang serius. Ini sudah merupakan
‘global threat’. Rendahnya Reading Literacy bangsa kita saat ini dan di masa
depan akan membuat rendahnya daya saing bangsa dalam persaingan global. Hal ini
akan menyebabkan tidak kompetitifnya SDM bangsa kita karena kurangnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini adalah akibat lemahnya minat dan
kemampuan membaca.
Hal
lain yang menyebabkan umat Islam mundur dan terkebelakang adalah karena
ketidakmampuannya dalam menerjemahkan anjuran Rasul untuk belajar meski ke
negeri China. Banyak umat Islam fanatik yang menganggap belajar pada umat
non-muslim adalah terlarang dan buruk bagi umat Islam. Padahal jelas-jelas
bahwa Rasul tidak menyatakan demikian.
Sebuah
SDIT yang maju dan dikelola oleh para muslim kelas menengah dan rata-rata
sarjana juga menolak ide untuk mengangkat seorang guru native speaker bahasa
Inggris untuk mengajar bahasa Inggris di sekolah tersebut dengan alasan bahwa
mengangkat guru non-muslim untuk mengajar mata pelajaran apa pun di sekolah
Islam adalah ‘tidak sesuai’ dengan ajaran Islam! Anehnya, di luaran mereka
mengursuskan anak-anak mereka di kursus yang ada native speakernya! Belajar
dari non-muslim bukan hanya boleh tapi bahkan DIANJURKAN. Siapa yang mengatakan
demikian? Ya, Rasul sendiri. Jadi sebetulnya belajar Matematika, Fisika, bahasa
Inggris, dll. pada guru non-muslim itu (meski sekolahnya adalah pesantren)
adalah sesuai dengan semangat pendidikan dalam Islam yang diajarkan oleh Rasul
sendiri. Bahkan dulu Rasulullah melepaskan tawanan perang dengan kompensasi
bahwa mereka harus mau mengajari umat Islam untuk membaca dalam jangka waktu tertentu.
Yang absurd adalah jika memanggil guru non-muslim untuk mengajarkan mengaji,
tata-cara sholat, dasar-dasar iman, dan sejenisnya kepada siswa-siswa Islam.
Melalui
tulisan ini saya hendak kembali mensosialisasikan dan menggemakan kembali
perintah tuhan kepada Rasulullah Muhammad SAW agar kita pahami dan amalkan
dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari kita membaca setiap hari dan mari kita
wajibkan anak-anak kita untuk membaca setiap hari sebagaimana kita
memerintahkan mereka melakukan sholat lima waktu. Jadikan itu sebagai perintah
Tuhan yang harus kita laksanakan setiap hari karena membaca memang perintah
Tuhan (sebagaimana sholat, puasa, zakat, dan naik haji).
Karena
demikian pentingnya posisi ‘Membaca’ ini bagi kemajuan bangsa kita, dimana jika
kita tidak melakukannya maka kita akan kembali dalam posisi ‘terjajah’, maka
semestinya kita harus berusaha untuk melaksanakannya dengan semangat juang yang
sama dengan yang kita lakukan dulu ketika kita merebut kemerdekaan. Merdeka
atau Mati! Tapi untuk kali ini tekad tersebut kita ubah menjadi : ‘Membaca atau
Mati!