Sebelum
menuju kepada pembahasan inti, tidak ada salahnya membahas terlebih dahulu
mengenai apa definisi dari wahyu tersebut. Pengertian wahyu secara bahasa
adalah bisikan, isyarat cepat, bisikan ke dalam hati, isyarat yang sangat
rahasia. Sedangkan menurut istilah wahyu adalah segala sesuatu yang datangnya
dari Allah yang secara langsung dihujamkan kedalam hati seorang hamba pilihan
(nabi dan rasul).
Dikalangan
ulama sampai saat ini sering diperdebatkan bagaimana sebenarnya proses turunnya
wahyu tersebut, apakah turunya seperti batu yang dilempar dengan keras? Apakah seperti
suara yang sangat keras dan dahsyat? Tentu semunya penuh rahasia yang harus
dipecahkan. Tetapi berdasarkan Al-qur’an mengenai proses turunnya wahyu kepada Nabi
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Wahyu
disampaikan melalui mimpi Nabi Muhammad s.a.w.
2. Wahyu
disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w dengan cara dibisikkan ke dalam jiwanya.
(Qs. Asy-Syura: 51-52)
3. Wahyu
disampaikan dengan cara kedatangan malaikat yang menyerupai seorang laki-laki,
sebagaimana Jibril pernah datang kepada Nabi sebagai seorang laki-laki yang
bernama Dihyah Ibn Khalifah, seorang laki-laki yang tampan.
4. Wahyu
datang kepada Nabi s.a.w., melalui Jibril yang memperlihatkan rupanya yang asli
dengan enam ratus sayap yang menutup langit.
5. Wahyu
disampaikan oleh Allah dengan cara membicarakannya secara langsung kepada Nabi
s.a.w., di belakang hijab, baik dalam keadaan Nabi sadar atau sedang terjaga,
sebagaimana di malam Isra’, atau Nabi sedang tidur.
6. Israfil
turun membawa beberapa kalimat dan wahyu sebelum Jibril datang membawa wahyu
Al-qur’an. Menurut ‘Amir Asy-Sya’by, Israfil menyampaikan kalimat dan beberapa
ketetapan kepada Nabi s.a.w., selama tiga tahun, sesudah itu, barulah Jibril
datang membawa wahyu Al-qur’an.
7. Ketika
Nabi Muhammad s.a.w., berada di atas langit pada malam Mi’raj, Allah s.w.t.,
menyampaikan wahyu-Nya kepada beliau tanpa perantara malaikat sebagaimana Allah
pernah berfirman secara langsung kepada Nabi s.a.w.
8. Wahyu
disampaikan dengan menyerupai suara lebah.
9. Wahyu
disampaikan dengan menyerupai suara gemercikan lonceng, yakni Nabi mendengar
suara lonceng sangat keras sehingga beliau tidak kuat menahan gemercingannya. Menurut
riwayat-riwayat yang shahih, Nabi s.a.w., menerima wahyu yang datang dengan
suara keras menyerupai suara lonceng. Dengan sangat berat, ke luar peluh dari
dahi Nabi s.a.w., meskipun ketika itu hari sangat dingin. Bahkan unta yang
sedang ditunggangi beliau menderum ke tanah. Pernah pula Nabi menerima wahyu
dengan cara yang sama, ketika itu karena beratnya, beliau letakkan pahanya di
atas paha Zaid bin Tsabit dan Zaid pun merasakan betapa beratnya paha Nabi
s.a.w. (Subhi Shahih, 1985: 25).
Kritikan
Kaum Oreintalis Terhadap Proses Turunnya Wahyu
Dari
sekian banyak cara wahyu turun separti yang disebutkan di atas, ternyata di
permasalhkan oleh kaum Oreintalis, salah satunya H. A. R. Gibb dalam Muhammedanism
(1989: 28) meraka memandang bahwa cara-cara penyampaian wahyu kepada Nabi
Muhammad s.a.w., merupakan cara-cara yang tidak masuk akal, dan ketika itu
Muhammad adal dalam tidak sadar, bahkan menyatakan Muhammad terkena panyakint
ayan dan “sawan” (lihat dalam Hasbi Ash-Shidieqie, Sejarah Ilmu Tafsir,
hlm 23). Alasan-alasan oreintalis berkaitan dengan hal itu adalah sebagai
berikut:
·
Wahyu yang
disampaikan melalui mimpi. Dalam pandangan ilmu jiwa, orang yang sedang
bermimpi adalah orang yang sedang tidak sadar atau berada di alam bawah sadar. Dengan
demikian, sangat tidak logis jika orang yang sedang tidak sadar menerima
pesan-pesan dari Tuhan dengan baik dan benar. Bahkan dalam hukum Islam sendiri
ditegaskan bahwa orang yang sedang tidur tidak termasuk sebagai orang yang
wajib melaksanakan hukum atau hukum menjadi gugur disebabkan mukallaf sedang
tidur.
·
Wahyu disampaikan
dengan gemercingan lonceng, suara lebah, dan bisikan yang rahasia adalah
kenaifan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Muhammad memahami
bahasa lebah dan bahasa lonceng.
·
Wahyu disampaikan
secara langsung oleh Jibril dengan rupa aslinya, saat itu Muhammad ketakutan
hingga tidak sanggup menerima kalimah wahyu. Dengan demikian, penyampaian wahyu
dengan cara tersebut tidak komonikatif apalagi keadaan psikologis Muhammad
terganggu dengan bentuk dan rupa Jibril yang asli yang menakutkan Muhammad.
·
Wahyu disampaikan
melalui Jibril yang menyerupai seoran laki-laki, hal ini jelas bukan Jibril
yang asli, sebab yang asli bukan manusia. Dengan demikian, wahyu disampaikan
tidak orisinil.
·
Wahyu disampaikan
oleh Tuhan secara langsung ketika Muhammad sedang Isra’ dan Mi’raj. Hal ini
jelas tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan dengan ayat Al-qur’an yang
menyatakan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak sebanding dengan makhluk-Nya yang
tidak akan dapat dilihat dengan kasat mata. Dapat dilihat dalilnya dalam surah Asy-Syura:
51 yang artinya: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat)
lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki.
Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” Dalam surah Asy-Syura
ayat 51 menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa manusia mana pun dan siapa pun
tidak akan dapat berkononikasi secara lansung dengan Allah, sebagaimana halnya
manusia dengan manusia berhadap-hadapan, kecualia melalui perantaraan wahyu
yang disampaikan melalui bisikan manusia, di belakang hijab atau melalui Jibril
yang menyerupai seseorang.
Tuduhan
oreintalis terhadap orisinalitas wahyu Al-qur’an yang disampaikan kepada Nabi
sebagai bualan semata-mata dan suatu kejadian yang tidak normal, tentu
memerlukan jawaban yang rasional dan filosofis. Bahwa wahyu sebagai sumber
hukum Islam adalah benar, tetapi dengan tuduhan di atas pula, kebenaran
statemen itu memerlukan rasionalisasi filosofis sehingga keyakinan terhadap
wahyu bukan semata-mata karena adanya legalitas dari ayat-ayat Al-qur’an,
melainkan dilengakapi dengan argumentasi ontologis yang kuat, bahwa wahyu Allah
itu akurat dan dengan demikia, kitabullah pun senantiasa akurat.
Sumber
Saebani, Ahmad, Beni –Filsafat
Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.