Beberapa
waktu yang lalu, sejumlah pendeta Kristen Amerika menyesalkan kecenderungan
media massa Amerika untuk menghubungkan terorisme yang terjadi di Timur Tengah,
atau yang dari Timur Tengah, dengan ajaran Islam. Para pendeta Kristen itu tahu
bahwa tidak ada secuil pun ajaran Islam yang membenarkan teror, sehingga mereka
menganggap media massa Amerika sebagai sangat tendensius, dan telah teperangkap
ke dalam kepentingan politik tertentu. Para pendeta Kristen itu tampaknya
memiliki tanggung jawab moral untuk meluruskan persepsi keliru media massa
Amerika tentang Islam.
Sesungguhnya,
jika kita perhatikan justru ada kecenderungan pelbagi media massa Barat yang
menghubungkan terhadap radikalisme dengan ajaran Islam, seolah-olah Islam
merekomendasikan tindakan-tindakan radikal. Sudah tentu persepsi ini sangat
jauh dari kebenaran, jelas suatu hal yang mustahil bila Islam sebagai agama
wahyu, pedoman hidup manusia sampai mengajarkan tindakan-tindakan yang radikal.
Dalam
hal ini, kita sendiri tetap optimis karena Allah justru akan meyempurnakan
cahaya Islam (cahaya-Nya), walaupun orang-orang kafir mencoba meredupkannya
dengan mulut-mulut mereka, termasuk lewat media massa. Sebagaimana diterangkan
dalam surah Ash-Shaf: 8 yang artinya: ” Mereka ingin memadamkan
cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan
cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya".
Pengertian
Radikalisme
Secara
etemologis, radikalisme berasal dari kara radix, yang berarti akar.
Seorang radikal adalah seseorang yang mengingkari perubahan terhadap situasi
yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. Sebuah kamus menerangkan bahwa
“seorang radikal adalah seseorang yang menyukai perubahan-perubahan cepat dan
mendasar dalam hukum dan metode-metode pemrintahan.” Jadi, radikalisme dapat
difahami sebagai suatu sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap ststus
quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan
menggantinya dengan sesuatu yang baru, yang sama sekali berbeda.
Menurut sebagian ahli, radikalisme ditandai oleh tiga
kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi
yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa
asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan keadaan yang ditolak.
Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari
perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan (Barry, Kamus Ilmiah Populer :
l994). Dan pada dasarnya makna makna posisitf
dari radikalisme adalah spirit perubahan menuju yang lebih baik itu. Dalam
istilah agama disebut ishlah (perbaikan) atau Tajdid (pembaharuan). Dengan
begitu radikalisme bukan sinonimnya ektrimitas, kekerasan. Apa yang disebut
Ghuluw (melampaui batas) dan Ifrath (keterlaluan) kita tolak. Memang ada dua spirit perubahan di situ yaitu positif dan negatif. Kita
mengusung perubahan dalam maknanya yang positif. Keteledoran Sejarah? Secara
demikian gambaran hakikat Islam itu tentu perlu diperjelas. Artinya hakikat
Islam itu adalah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, objektivitas,
fariness. Selanjutnya Islam menginginkan menjadi umataan washataa. “Kami
telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul ( Muhammad) menjadi saksi
atas (pebuatan) kamu.” (Al Baqarah 143).
Asal-usul
Radikalisme
Menurut sebagian kajian, akar dari munculnya radikalisme
ini bermacam-macam, ada yang karena faktor sosial politik, faktor emosi
keagamaan, faktor kultural, faktor ideologis anti-Barat, dan faktor kebijakan
pemerintah.
Terkait dengan akar munculnya radikalisme paham keagamaan tidak terlepas
dari adanya pemahaman keagamaan yang didasarkan atas makna literer dari
dalil-dalil al-Quran dan al-Hadis. Pemahaman terhadap dalil syari hanya
dilakukan dengan menggunakan pendekatan literer ini membahayakan, karena dapat
menggelincirkan seseorang dalam kesalaham pemahaman nash. Karena dalam
pengambilan suatu hukum dari dalil-dalil syari (istinbath al-hukm) harus
melewati seperangkat metodologi yang telah diformulasikan oleh para ulama, baik
dengan cara pemahaman terhadap makna harfiah dari nash (manthuq) ataupun dengan
cara menggali lebih dalam makna tersembunyidari nash (mafhum). Apabila
pemahaman terhadap nash ini dipaksakan hanya dengan mempergunakan cara
pemahaman literer, apalagi kalau tidak diimbangi dengan penguasaan yang
mendalam terhadap nash-nash syari yang ada, karena pemahaman terhadap nash secara
literer dan parsial cenderung bisa menyesatkan, dan dikhawatirkan akan timbul
pemahaman yang ekstrim (tatharruf) dalam menyimpulkan hukum.
Konsekuensi
dari terjadinya radikalisme adalah terbentuknya politisasi di dalam agama, di
mana agama memang sangat sensistif sifatnya, paling mudah membakar fantatisme,
paling mudah juga menjadi “kipas” paling kencang untuk melakukan berbagai
tindakan yang sangat keras, baik di dalam kehidupan sosial antar individu
maupun kelompok. Pembenaran atas nama agama tidak bisa dihindari, oleh karena
itulah ada yang disebut dengan religio political system (Smith) dan religions
mindedness (Geertzz) yang merupakan sebuah proses terbentuknya ideologi
agama. Sehingga kemudian tidak heran bila dalam posisi dan konteks seperti
demikian, agama bisa dikatakan sebagai pembentuk radikalisme dan konflik
kekerasan. Sangat berlawanan jauh dengan konsep keberadaan agama itu sendiri
yang justru mengarahkan manusia untuk memiliki cinta dan kasih sayang terhadap
sesama untuk mewujudkan kebahagian dan kedamaian baik secara individu maupun
kelompok dan bahkan universal.
Adanya
perbedaan ideologis di antara tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok teroris
menimbulkan friksi yang berujung pada perbedaan pemahaman mengenai orientasi,
strategi, dan taktik. Ini juga sebagai salah satu sebab munculnya radikalisme.
Secara
sosiologis, bisa diterangkan bahwa radikalisme kerap muncul bila terjadi banyak
kontradiksi dalam orde sosial yang ada. Bila masyarakat mengalami anomie
atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para warga
masyarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesenjangan itu,
maka radikalisme dapat muncul ke atas permukaan. Dengan kalimat lain, akan
timbul proses radikalisme dalam lapisan-lapisan tertentu masyarakat, terutama
di kalangan muda.
Proses
radikalisasi pada umumnya timbul bila dalam masyarakat memang terdapat
faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab hadirnya radikalisme. Nikaragua di
zaman Somoza, Filipina di masa Marcos, Iran di masa Syah, dan Afrika Selatan di
bawah Botha sekarang ini dapat menjadi contoh di mana kontradiksi-kontradiksi
sosial polotik dan ekonomi terbukti bisa mendorong terbentuknya proses
radikalisasi atau radikalisme.
Masyarakat-Massa
Radikalisme
Dewasa
ini, kita dapat melihat masalah radikalisme dalam konteks masyarakat-massa yang
menjadi ciri dunia saat ini. Tipe masyarakat-massa ini sudah sejak lama dibahas
oleh para sosiologi klasik, termasuk Max Weber. Dalam bukunya yang monumental, The
Protestant Etyhic and thr Spirit of Capitalism, Weber sudah memperhatinkan
bagaimana kapitalisme yang mula-mula begitu optimistis terhadap masa depan
manusia, kemudian menglami rutinisasi-ritualistis, suasana yang sangat monoton
dan fatalisme.
Bila
orang telah kehilangan raison d’etre dan ”tersaing” dari sesama warga
masyarakat akibat rutinisasi-ritualistis kapitalisme dalam suatu eksistensi
industrial, orang cenderung tertarik pada godaan-godaan radikalisme yang
menjanjikan suatu solusi utopian. Godaan-godaan radikalisme ini makin kuat
bersamaan dengan kian merosotnya otoritas-sentral dan wibawa masyarakat. Mundurnya
otoritas-sentral ini berarti ada proses delegitimasi atas kaum elite legal dan
tradisional, yang memperolah legetimasi dari massa masyarakat itu sendiri. Sedangkan
mundurnya wibawa masyarakat berarti makin banyak orang mengalami alienasi
terhadap masyarakat, dan bahkan terhadap dirinya sendiri.
Pada
saat yang bersamaan, mobilitas vertikal dan horizontal serta mobilitas spasial
dan sosial kian intensif, dan menyebabkan setiap orang menjadi sadar akan
statusnya. Situasi masyarakat-masa industrial memorak-porandakan satatus yang
sudah mapan, sehingga setiap orang kehilangan perasaan yang koheran terhadap
dirinya sendiri. Kekhawatiran-kekhawatiran masyarakat terus meningkat, dan
bersamaan dengan itu usaha-usaha mancari keyakinan-keyakinan baru juga
bermunculan.
Dalam
seperti situasi itulah gagasan-gagasan radikal sering dapat memperoleh pengikut
yang bersifat massal. Dengan kalimat lain, radikalisme mampu melakukan
rekrutmen pada kelompok-kelompok masyarakat-massa, sehingga bobot politiknya
tidak bisa diabaikan.
Perubahan
Sosial dalam Islam
Al-qur’an
mengakui bahwa fenomena segala sesuatu di alam semesta terus berubah, termasuk
masyarkat manusia, yang tidak pernah berubah adalah Al-Khaliq sendiri (Qs. Ar-Rahman:
27), dan nilai-nilai ilahiah atau tauhid. Sunnatullah pun akan terus
berlaku sepanjang masa, tanpa mengalami perubahan (Qa. Fathir: 43).
Bila
kita berbicara tentang perubahan sosial, pada umumnya kita akan bertemu dengan
tiga macam pendekatan, yaitu; pendekatan konservatif, radikal atau revolusioner,
dan pendekatan remormis. Dalam peradaban Islam, pendekatan konservatif
jelas tidak diunggulkan. Konservatisme biasanya didukung oleh kaum formalis dan
para pembela-buta terhadap tradisi, serta mereka yang tergolong kaum ulama
obskurantis. Konservatisme mengarah pada pelestarian adat-istiadat yang
sesungguhnya sudah lapuk dan berwatak irasional. Pendekatan konservatisme
meremehkan perlunya perubahan dan “modernisasi”, karena dianggap dapat merusak
tradisi yang sudah berjalan berabad-abad. Pendekatan ini juga mencukupkan diri
dengan apa-apa yang sudah diterima dari para nenek-moyang atau leluhur, tanpa
mau meninjau kembali substansi yang lebih esensial. Sikap konservatisme ini
decela tegas oleh kitab suci (Qs. Al-Maidah: 104).
Pendekatan
radikal-revolusioner mengarah pada pencerabutan tradisi sampai ke akar-akarnya,
dan menganggap pelestarian tradisi sebagai penyebab stagnasi sosial. Padahal,
tidak semua tradisi berkonotasi dan bersubstansi negatif-destruktif. Dalam
bahasa Al-qur’an tradisi yang baik disebut urf (Qs. Al-A’rof: 199) atau ma’rufat,
yakni kualitas-kualitas baik yang sudah dikenal luas, seperti yang tercantum
dalam pelbagi surat Al-qur’an.
Adapun
pendekatan reformis, sebagai jalan-tengah antara konservatisme dan radikalisme,
memang lebih dekat dengan ajaran Islam, tetapi belum sepenuhnya mencerminkan
pendekatan perubahan sosial seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Reformis
menekankan perubahan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, akan tetapi dalam
praktek sering tidak dapat diterapkan, karena ketakutan-ketakutan internal dan
eksternal yang anti terhadap perubahan dan anti kemjuan memperolah waktu
longgar untuk menyusun kekuatan guna menjegal reformis.
Secara
demikian, pendekatan Nabi atau sebutlah pendekatan Islam sudah terbukti teruji
dalam panggung sejarah umat manusia:
·
Peubahan sosial
hanya akan berjalan baik sesuai dengan cita-cita luhur masyarakat jika lebih
dahulu diadakan perubahan mental dan oreintasi manusianya.
·
Nabi telah
memperliatkan bahwa sebagian besar tradisi dapat dilestarikan bentuknya, tetapi
dengan mengubah maknanya secara revolusioner. Nabi melestariakan wadah dan
format tradisi yang sudah berakar berabad-abad dan turun temurun dari generasi ke
generasi, tetapi beliau mengubah isi dan substansinya. Spirit dan arah tradisi
itu diperbaharui dan diluruskan, sehingga tidak perlu membuat shock
masyarakat kebanyakan.
·
Islam sangat
menganjurkan perubahan sosial, bahkan perubahan hukum secara bertahap. Dalam sejarah
hukum Islam sendiri tampak jelas bagaimana Allah menurunkan hukum-Nya secara
perlahan-lahan dan bertahap. Contoh kilise adalah mengenai pelarangan meminum
minuman keras. Mula-mula ditanamkan pengertian bahwa mudharat khamr
labih besar daripada manfa’atnya. Kemudian dikatakan bahwa peminum khamr
adalah teman setan, dan akhirnya khamr dinyatakan haram. Jiwa metode tasyri’
seperti inilah yang perlu dan harus diterapkan.
Sumber
Bacaan
·
Rais, Amien –Cakrawala
Islam, Bandung: Penerbit Mizan.