Jika
berbicara mengenai filsafat ilmu, kita sulit memberikan suatu batasan yang
positif. Banyak pendapat yang memiliki makna serta penekanan (emphasis) yang
berbeda tentang filsafat ilmu.
Sebagai
contoh ialah perbedaan pendapat antara Stephen Toulmin dengan Ernest Nagel
tentang apakah filsafat ilmu merupakan suatu studi scientific achievement in
vivo atau studi tentang masalah-masalah mengenai penjelasan (problem of
explanation). Untuk menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu sangat
bermanfa’at untuk menyimak empat titik pandang (view point) yang lebih luas
dari ilmu.
Pandangan
pertama menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan worl-views yang
konsisten dengan, dan pada beberapa pengertian didasarkan atas, teori-teori
ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, merupakan tugas para filsuf ilmu
(philosopher of science) untuk mengelaborasikan implikasi yang lebih luas dari
ilmu.
Pandangan
kedua mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presupposition
dan predisposition dari para ilmuan. Filsuf ilmu mungkin
mengemukakan bahwa para ilmuwan menduga (presuppose) alam tidak berubah-ubah,
dan terdapat suatu keteraturan di alam sehingga gejala-gejala alam yang tidak
begitu komleks cukup didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin
tidak menutup keinginan-keinginan deterministik para ilmuwan lebih dari
pada hukum-hukum statistik, atau pandang
mekanistik lebih dari pada penjelasan teologis. Pandangan ini cenderung
mengasimilasikan filsafat ilmu dengan sosiologi.
Pandangan
ketiga mengemukakan bahwa filsafat ilmu itu adalah suatu disiplin yang di
dalamnya konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan
diklasifikasi. Hal ini berarti memebeikan kejelasan tentang makna dari berbagai
konsep seperti partikel, gelombang, potensial, dan kompleks di dalam
pemanfa’atan ilmiahnya. Akan tetapi, Gilbert Ryle telah menunjukkan terdapat
suatu yang pretensius tentang pandangan ini mengenai filsafat ilmu sehingga
para ilmuwan memerlukan filsafat ilmu untuk menjelaskan kepada mereka makna
dari konsep-konsep ilmiah. Oleh karena itu, ada dua kemungkinan. Apakah para
ilmuwan benar-benar mengerti suatu konsep yang digunakannya sehingga dalam
kasus ini tidak lagi memerlukan klasifikasi, atau ilmuwan itu tidak tahu makna
konsep tersebut sehingga mereka harus mencaari (inquiry) hubungan konsep itu
dengan konsep-konsep lain dan dengan operasi pengukurannya. Inquiry tersebut
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang tipikal. Tak seorang pun akan menuntut
bahwa setiap kali seorang ilmuwan melakukan inquiry itu, ia sedang
mempraktekkan filsafat ilmu.
Pandangan
keempat menyebutkan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu patoka tingkat tingkat
kedua (second-order criteriology). Filsuf ilmu menuntut jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.
Karakteristik-karakteristik apa yang
membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain?
2.
Prosedur yang bagaimana yang patut
dituruti oleh para ilmuwan dalam menyelidiki alam?
3.
Kondisi yang bagaimana yang harus
dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi benar?
4.
Status kognitif yang bagaimana dari
prinsip-prinsip dan hukum-hukum ilmiah?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan itu terdapat perbedaan
yang dapat dirumuskan antara doing science dan thinking tentang
bagaimana ilmu harus dilakukan.
Analisis dari metode ilmiah
merupakan suatu disiplin ilmu tingkat kedua (second-order discipline). Mata
ajaran dari analisasi ini tersebut adalah prosedur dan sruktur dari berbagai
ilmu yang tampak pada ilustrasi berikut:
Level
|
Discipline
|
Subject-Matter
|
2
|
Philosophy of Science
|
Analysis of the Procedures and Logic of Scientific
Eksplanation
|
1
|
Science
|
Eksplanation of Facts
|
0
|
–
|
Facts
|
|
|
|
|
Refrensi
·
Conny R. Semiawan., Made Putrawan., dan
Th. I. Setiawan, Demensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Badung: PT Remaja
Rosdakarya.
”