Renaissance
berarti “lahir kembali”. Pengertian riilnya adalah manusia mulai memiliki
kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia.
Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat
awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan
terhadap kodrat manusia itu sendiri.
Zaman renaissance sering disebut sebagai sebagai zaman
humanisme, sebab pada abad pertengahan manusia kurang dihargai sebagai manusia,
kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja, bukan menurut yang dibuat
oleh manusia. humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia, karena manusia
mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, memilih dan menentukan, maka humanisme
menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri utama
renaissance dengan demikian adalah humanisme, individualisme, lepas dari agama.
Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan pengalaman (empiris) dalam merumuskan
pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa filsafat belum menemukan bentuk pada
zaman renaissance, melainkan pada zaman sesudahnya, yang berkembang pada waktu
itu sains, dan penemuan-penemuan dari hasil pengembangan sains yang kemudian
berimplikasi pada semakin ditinggalkan agama kristen karena semangat humanisme.
Fenomena tersebut cukup tampak pada abad modern.
Filsafat Barat Pada Masa Renaissance
Tidak mudah menentukan batas yang jelas
mengenai akhir zaman pertengahan dan awal yang pasti dari zaman modern. Hal ini
disebabkan perbedaan pandangan para ahli sejarah tentang peralihan zaman
pertengahan ke zaman modern. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa zaman
pertengahan berakhir ketika Konstantinopel ditaklukkan oleh Turki Usmani pada
tahun 1453 M. Peristiwa tersebut dianggap sebagai akhir zaman pertengahan dan
titik awal zaman modern.
Abad Pertengahan adalah abad ketika alam
pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran
amat dibatasi, sehingga perkembangan sains sulit terjadi, demikian pula
filsafat tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak mampu
menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif.
Dalam perenungan mencari alternatif itulah orang teringat pada suatu
zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak dikungkung,
sehingga sains berkembang, yaitu zaman Yunani kuno. Pada zaman Yunani kuno
tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti
itulah yang hendak dihidupkan kembali.
Tidak dapat dinafikan bahwa pada abad
pertengahan orang telah mempelajari karya-karya para filosof Yunani dan Latin,
namun apa yang telah dilakukan oleh orang pada masa itu berbeda dengan apa yang
diinginkan dan dilakukan oleh kaum humanis. Para humanis bermaksud meningkatkan
perkembangan yang harmonis dari kecakapan serta berbagai keahlian dan
sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan adanya kepustakaan yang baik
dan mengikuti kultur klasik Yunani. Para humanis pada umumnya berpendapat bahwa
hal-hal yang alamiah pada diri manusia adalah modal yang cukup untuk meraih
pengetahuan dan menciptakan peradaban manusia. Tanpa wahyu, manusia dapat
menghasilkan karya budaya yang sebenarnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa humanisme telah memberi sumbangannya kepada renaisans untuk menjadikan
kebudayaan bersifat alamiah.
Zaman renaisans banyak
memberikan perhatian pada aspek realitas. Perhatian yang sebenarnya difokuskan
pada hal-hal yang bersifat kongkret dalam lingkup alam semesta, manusia,
kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia
untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Hal ini dibuktikan dengan perang
terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan
menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan adalah, semakin besar kekuasaan
akal, maka akan lahir dunia baru yang dihuni oleh manusia-manusia yang dapat
merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan akal yang sehat.
Zaman ini juga sering disebut sebagai
Zaman Humanisme. Maksud ungkapan tersebut adalah manusia diangkat dari Abad
pertengahan. Pada abad tersebut manusia kurang dihargai kemanusiaannya.
Kebenaran diukur berdasarkan ukuran gereja, bukan menurut ukuran yang dibuat
oleh manusia sendiri. Humanisme menghendaki ukurannya haruslah manusia, karena
manusia mempunyai kemampuan berpikir. Bertolak dari sini, maka humanisme menganggap
manusia mampu mengatur dirinya sendiri dan mengatur dunia. Karena semangat
humanisme tersebut , akhirnya agama Kristen semakin ditinggalkan, sementara
pengetahuan rasional dan sains berkembang pesat terpisah dari agama dan
nilai-nilai spiritual.
Menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, ada
beberapa faktor penting yang mempengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu:
1.
Implikasi yang
sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat. Gerakan
tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam bahasa
latin selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Bahkan sebelumnya telah terjadi
penerjemahan kitab-kitab Arab di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal itu
dilakukan setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki kunci-kunci khazanah turas
klasik Yunani.
2.
Pasca penaklukan
Konstantinopel oleh Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana ke
Italia dan negara-negara Eropa lainnya. Para sarjana tersebut menjadi
pionir-pionir bagi pengembangan ilmu di Eropa. Mereka secara bahu-membahu
menghidupkan turas klasik Yunani di Florensia, dengan membawa teks-teks dan
manuskrip-manuskrip yang belum dikenal sebelumnya.
3.
Pendirian
berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu.
Selain itu,
ada beberapa faktor yang dikemukakan Slamet Santoso seperti yang dikutip Rizal
Mustansyir, yaitu:
1. Hubungan
antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan Prancis membuat para pendeta
mendapat kesempatan belajar di Spanyol kemudian mereka kembali ke Prancis
untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh di lembaga-lembaga
pendidikan di Prancis.
2. Perang
Salib (1100-1300 M) yang terulang enam kali, tidak hanya menjadi ajang
peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang
berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam,
sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di negara-negara
masing-masing.
Pada zaman
renaisans ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di antara
tokoh-tokohnya adalah:
1.
Nicolaus Copernicus
(1473-1543)
Ia dilahirkan
di Torun, Polandia dan belajar di Universitas Cracow. Walaupun ia tidak
mengambil studi astronomi, namun ia mempunyai koleksi buku-buku astronomi dan
matematika. Ia sering disebut sebagai
Founder of Astronomy. Ia
mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat jagad raya dan bumi mempunyai
dua macam gerak, yaitu: perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran
tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut
heliocentric menggeser
teori
Ptolemaic. Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang lebih
penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup penelitian
terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan benda-benda
tersebut.
2.
Galileo Galilei (1564-1642)
Galileo
Galilei adalah salah seorang penemu terbesar di bidang ilmu pengetahuan. Ia
menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu gerak parabola,
bukan gerak horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak vertikal. Ia
menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan teleskopnya,
ia mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti terdiri dari
bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing berdiri sendiri.
Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan menemukan beberapa
satelit Jupiter.
3.
Francis Bacon (1561-1626)
Francis Bacon
adalah seorang filosof dan politikus Inggris. Ia belajar di Cambridge
University dan kemudian menduduki jabatan penting di pemerintahan serta pernah
terpilih menjadi anggota parlemen. Ia adalah pendukung penggunaan
scientific
methods, ia berpendapat bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman
dahulu kebanyakan salah, tetapi ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan
kebenaran dengan
inductive method, tetapi lebih dahulu harus
membersihkan fikiran dari prasangka yang ia namakan
idols (arca).
Bacon telah memberi kita pernyataan yang klasik tentang kesalahan-kesalahan
berpikir dalam
Idols of the Mind.
Bacon menolak
silogisme, sebab dipandang tanpa arti dalam ilmu pengetahuan karena tidak
mengajarkan kebenaran-kebenaran yang baru. Ia juga menekankan bahwa ilmu
pengetahuan hanya dapat dihasilkan melalui pengamatan, eksperimen dan harus
berdasarkan data-data yang tersusun. Dengan demikian Bacon dapat dipandang
sebagai peletak dasar-dasar metode induksi modern dan pelopor dalam usaha
sitematisasi secara logis prosedur ilmiah.
Dalam bidang
filsafat, zaman renaisans tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan
dengan bidang seni dan sains. Filsafat berkembang bukan pada zaman itu,
melainkan kelak pada zaman sesudahnya yaitu zaman modern. Meskipun terdapat
berbagai perubahan mendasar, namun abad-abad renaisans tidaklah secara langsung
menjadi lahan subur bagi pertumbuhan filsafat. Baru pada abad ke-17 dengan
dorongan daya hidup yang kuat sejak era renaisans, filsafat mendapatkan
pengungkapannya yang lebih jelas. Jadi, zaman modern filsafat didahului oleh
zaman renaisans. Ciri-ciri filsafat renaisans dapat ditemukan pada filsafat
modern. Ciri tersebut antara lain, menghidupkan kembali rasionalisme Yunani,
individualisme, humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain.
Pada abad
ke-17 pemikiran renaisans mencapai kesempurnaannya pada diri beberapa tokoh
besar. Pada abad ini tercapai kedewasaan pemikiran, sehingga ada kesatuan yang
memberi semangat yang diperlukan pada abad-abad berikutnya. Pada masa ini, yang
dipandang sebagai sumber pengetahuan hanyalah apa yang secara alamiah dapat
dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri). Sebagai akibat
dari kecenderungan berbeda dalam memberi penekanan kepada salah satu dari
keduanya, maka pada abad ini lahir dua aliran yang saling bertentangan, yaitu
rasionalisme yang memberi penekanan pada rasio dan empirisme yang memberi
penekanan pada empirisme.
Sumber
Bacaan
·
Hadiwijono, Harun, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993.
·
Titus, Harold H,
Living in Philosophy, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984.
·
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Umum, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1998.