Masuknya dunia filsafat
dalam dunia islam sebenarnya telah ada pada abad pertengahan hijriah, yaitu
melalui dua madzhab, Neo Platonisme yang masuk kepada dunia tasawuf, dan
madzhab Paripatetik yang kelihatan lebih banyak masuk kedalam bentuk
skalastisisme ortodoks (kalam).
Akan tetapi yang lebih ditekankan adalah masuknya
filsafat melalui jalur Ilmu Kalam. Yaitu ketika Ilmu Kalam menjadi persoalan
yang sangat pelik antara beberapa kelompok, seperti Mu’tazilah ataupun Ibnu
Hambal dan Asy’aryiah. Kendatipun demikian Ilmu Kalam tetap menjadi nash-nash
agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam penggunaanya dalil-dalil akal melebihi penggunaan dalil naqli yang nampak pada perbincangan
Mutakallimin. Atas dasar itulah para pakar memasukan Ilmu Kalam dalam lingkup
Filsafat.
Walaupun obyek dan metode
kedua ilmu tersebut (Fisafat dan Ilmu Kalam) berbeda, tapi keduanya saling
melengkapi dalam memahami islam dan pembentukan aqidah muslim. Filsafat
mengawali pembuktiannya dengan argumen akal, kemudian pembenarannya melalui
wahyu, sedangkan Ilmu Kalam mengawali pembicaraan dengan wahyu, barulah
kemudian didukung oleh argumen akal.
Adapun pada
perkembangannya, perhatian terhadap filsafat sudah dimulai dengan penterjamahan
buku-buku kedalam bahasa Arab pada masa permulaan Daulah Umayah, yang kemudian
jaman keemasannya terjadi pada masa Daulah Abbasiyah yan berpusat di Baghdad,
terutama pada masa Al-ma’mun (813-833 M), putra Harun al-Rasyid, yang dikenal
dengan jaman penterjemahan.
Walau sebenarnya, pada masa
Abbasiyah kegiatan penterjemahan dimulai oleh Khalifah Al-Mansur, akan tetapi
kemajuan yang lebih nyata dapat dicapai pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia
termasuk seorang intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan
filsafat. Ia mendirikan Bait al-Hikmah, yaitu sebuah akademi yang tidak hanya
berfungsi sebagi wadah penterjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan
filsafat dan sains. Yang dipimpin oleh seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani,
Hurain ibnu Ishak (809-873 M.). Selain itu khalifah Al-Ma’mun juga mengirimkan
utusan ke seluruh kerajaan Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang
berbagai sobyek. Dan membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa asing
ke bahasa Arab dengan emas seberat buku yang diterjemahkan, diantara buku-buku
itu adalah Thaetitus, Cratylus, Parmenides, dan lain-lain sebagainya.
Di samping kota Baghdad,
juga ada kota-kota lain yang dijadikan sebagai pusat pengembangan Sains dan
Filsafat yaitu kota Marwa (Persia tengah), Jundishyapur dan Harran. Dengan adanya
penterjemahan itu, umat Islam secara singkat dapat menguasai keintelektualan
dari ketiga kebudayaan yang sangat maju pada waktu itu yaitu Yunani, Persia,
India. Yang kemudian dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi kebudayaan
yang lebih maju yang tergambarkan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab
filsafat yang bermacam-macam. Namun sayangnya, kejayaan filsafat dan ilmu
tersebut hanya dapat berlangsung sampai abad XIII M. Kemudian orang-orang Barat
memindahkan pusat ilmu pengetahuan tersebut ke negaranya.
Hubungan Filsafat dan
Dunia Islam
Hubungan filsafat dan
dunia Islam sesungguhnya terjadi permasalahan-permasalahan dengan tanggapan
yang berbeda pula, karena pertanyaan yang timbul adalah ’’bagaimana agama
sebagai wahyu Tuhan, sumber perintah-perintah dan larangan-larangan dapat
bertemu dengan filsafat yang hanya didasarkan atas alasan-alasan pikiran?’’
Dengan adanya pertanyaan
tersebut, akhirnya ada tiga pengelompokan yang memberi tanggapan akan hal
tersebut. Pertama, kelompok yang
memegang teguh agama dan menolak
filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua,
kelompok yang menerima filsafat secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam).
Ketiga, kelompok yang berusaha
memadukan antara filsafat dan agama menurut cara tertentu dan cara inilah yang
ditempuh oleh para filosof yang mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.
Akhirnya dengan adanya
filsafat dalam dunia Islam atau yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa
memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara
agama dan filsafat, dan berupaya menjelaskan bahwa:
·
Wahyu tidak bertentangan dengan akal.
·
Akidah dengan diterangi dengan sinar filsafat akan
menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan.
·
Agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi
filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.
Untuk lebih mensistematiskan
dalam pembahasan ini, maka tema hubungan filsafat dan dunia Islam lebih
menekankan pada perpaduan antara filsafat dan agama Islam. Yaitu persamaan
antara filsafat dan dunia Islam (Agama Islam), apa saja konstribusi filsafat
terhadap dunia Islam? Serta bagaimana tanggapan sebagian filosof yang mengambil
jalan tengah untuk memadukan antara filsafat dan agama Isalam?, dan apa
faktor-faktor yang mendorong ke arah pemaduan filsafat dan agama?
Persamaan Antara Filsafat
Dan Dunia Islam (Agama Islam)
Pada hakikatnya terdapat
persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam
berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui
kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun menurut mereka pembahasan
agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan
prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini seperti dalam
pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang
jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada sebab-sebabnya sesuatu.
Diantara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh
besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama,
yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil
yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara
Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan
kepada semua orang, bangsa dan negara.
Selain itu menurut beliau,
bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan.
Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua
yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.
Konstribusi Filsafat Terhadap
Dunia Islam
Walau filsafat
diperselisihkan dalam dunia Islam, akan tetapi filsafat memberikan sumbangan
yang tidak bisa diremehkan dalam kerja pikiran kemanusiaan dan mempunyai tempat
sendiri dalam dunia Islam.
Sebagai mana arti dalam
filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu
secara sistematis, radikal dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu
yang membicarakan keberadaan Tuhan, maka filsafat sangat dibutuhkan dalam dunia
Islam karena kebanyakan filsafat
menggunakan argumentasi akal yang tentunya bisa diterima oleh banyak kalangan.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama
dan filsafat dapat dikerjakan dengan dua cara: Pertama, dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan
pikiran-pikiran filsafat yang telah terurai. Contohnya dapat didapati dalam buku Fushus-Ul-hikam (permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan
kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan agama) dengan takwilan yang sesuai dengan
pikiran-pikiran filsafat, atau dengan perkataan lain penundukan ketentuan agama
kepada pikiran-pikiran filsafat.
Karena filsafat ini adalah
ilmu yang lahir di dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi
ajaran Islam sendiri telah memberikan motivasi yang kuat terhadap perkembangan
filsafat. Maka ilmu disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain dapat
melahirkan filsafat Islam di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga
melahirkan filosof-filosof besar Islam,
seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang dapat mengembangkan keintelektualan
di Dunia Islam.
Akan tetapi, walau
konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak bisa diremehkan. Agama yang
akhirnya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari
kebenaran.
Pendapat Sebagian Filosof
Yang Menyetujuai Pemaduan Agama Dan Filsafat
Semangat pemaduan sebagai
jalan tengah yang dilakukan oleh filosof-filosof Islam dalam
mempertemukan antara agama yang dipercayai kebenarannya, dengan filsafat
yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran semata. Hal seperti ini
dapat diwakili oleh pandangan Al-Kindi dan Ibnu Rusyd sebagaimana berikut:
1.
Al-Kindi
Al-kindi mempertemukan
agama dan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu tentang
kebenaran dan agama juga adalah ilmu tentang kebenaran pula, oleh kerana itu
maka tidak ada perbedaan antara keduanya.
Menurutnya, kita tidak
boleh malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari manapun datangnya, meskipun
datang dari bangsa lain. Karena tidak ada yang lebih utama bagi orang yang
mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Memang kadang-kadang
terdapat perlawanan dalam lahirnya, antara hasil-hasil pemikiran filsafat
dengan ayat-ayat Al-Qur’an, yang menyebabkan filsafat ditentang. Pemecahan
Al-Kindi dalam soal ini adalah bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai
arti yang sebenarnya (hakiki) dan arti mazasi (kiasan) yang dilakukan dengan
jalan takwil (penafsiran) dengan syarat dilakukan oleh ahli agama dan ahli
pikir.
Sesuai dengan pendiriannya
bahwa filsafat harus dimiliki, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan
menguraikan dengan sebaik-baiknya.
2.
Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mengadakan pemaduan
antara agama dan filsafat, karena sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi
Aristoteles, ia harus membalas serangan yang dilakukan oleh Al-Ghozali dalam
bukunya Tahafuth Al-Falasifah. Yang
berisi serangan pedas terhadap para filsafat dan filosof sebelumnya.
Dalam menguraikan perlunya
pemaduan tersebut, ia menguraikan empat persoalan. Pertama, keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengerian bathin, serta keharusan
takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil.
Keempat, pertalian akal dan wahyu.
a.
Pertama,
Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, fungsi
filsafat tidak lebih daripada mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan
memandangnya sebagai jalan untuk menemukan zat yang membuatnya. Al-Qur’an
berkali-kali memerintahkan demikian, antara lain dalam surah Al-A’raf, ayat
185: ”Apakah mereka tidak memikirkan tentang (Yandhuru Fi) alam langit dan bumi
dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?”.
Juga dalam surah Al-Hasjr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: ”Hendaknya kamu mengambil ibarat (I’tibar,
mengadakan qias = sillogisme), wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Ayat terakhir ini dengan
jelas mengharuskan kita untuk mengambil qias-aqli (silogisme) yaitu pengambilan
suatu hukum yang belum diketahui dari sesuatu hukum yang sudah diketahui
(maklum) yang intinya harus mengarahkan pandangan pada alam wujud ini dengan
qias-aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosofis menjadi suatu
kewajiban.
b.
Kedua,
Keharusan Takwil
Filosof-filosof Islam
sepakat bahwa akal dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat
untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi dalam Qur’an maupun Hadits banyak
nash-nash yang menurut lahirnya berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd,
nash-nash itu bisa ditakwilkan sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa
Arab, seperti halnya kata-kata dari syara’ bisa ditakwilkan pula dari segi
aturan fiqih. Penafsiran (penakwilan) semacam ini dipakai juga oleh ulama-ulama
fiqih dan ulama-ulama filsafat.
c.
Ketiga,
Aturan-aturan Takwil.
Setelah menjelaskan
tentang keharusan takwil di atas Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai
pegangan dalam melakukan takwil, yaitu: pertama,
setiap orang harus menerima dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan
mengikutinya. Kedua, yang berhak
melakukan takwil hanya golongan filosof semata, bahkan filosof-filosof tertentu
saja yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ketiga,
hasil penakwilan hanya bisa dikemukakan pada golongan pemakai qias Burhani,
jelasnya filosof-filosof, bukan kepada orang awam, karena orang awam tidak
memahami penakwilan tersebut. Keempat,
diperbolehkannya Menjelaskan hasil penakwilan kepada orang-orang awam, karena
adanya keadaan yang memaksa yaitu dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan pada
penyebaran hasil-hasil penakwilan sebelumnya.
Kelima, kedudukan wahyu dan
pertalian dengan akal
Ibnu Rusyd menganggap
bahwa wahyu sebagai suatu keharusan untuk semua orang dan kekuatan akal dalam
mencari kebenaran yang berada di bawah kekuatan wahyu.
Faktor-Faktor Pendorong
Pemaduan Filsafat Dan Dunia Islam
Selain tanggapan yang
diberikan oleh Al-Kindi dan Ibnu Rusyd dalam masalah pemaduan filsafat dan
dunia Islam, ada beberapa faktor yang mendorong filosof Islam untuk memadukan
keduanya yaitu:
a.
adanya jurang pemisah antara Islam dengan Filsafat Aristoteles
dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya,tentang
persoalan baru atau khodimnya alam, hubungan alam dan Tuhan dan lain-lain.
b.
Banyaknya serangan yang dilakukan oleh tokoh agama
terhadap pikiran-pikiran filsafat, yang kadangkala menimbulkan tekanan-tekanan
oleh rakyat dan penguasa pada ahli-ahli pikir, yang sebenarnya tidak membawa
hasil yang sesuai dengan akidah agama.
c.
Adanya hasrat para filosof untuk menyelamatkan diri dari
tekanan-tekanan itu agar bisa hidup tenang dan tidak terlalu nampak
perlawanannya kepada agama.