“Perdebatan tentang aktivitas ritual tidak akan menemukan kebenaran
yang pasti.”
Sebagai makhluk yang suka berpikir dan merasionalkan sesuatu,
kiranya wajar ketika seseorang juga ingin memahami secara logis kegiatan ritual
yang dijalankannya. Mungkin sebagian usaha itu akan berhasil, sekalipun belum
tentu tapat sebagaimana adanya. Ritual puasa, misalnya, dicari aspek logisnya
mengapa disyariatkannya di bulan Ramadhan.
Rasionalitas kegiatan di atas, pada batas-batas tertentu sebagian
berhasl ditangkap. Akan tetapi, kiranya masih perlu dipertanyakan, apakah yang
dihasilkan itu memang benar-benar sesuai dengan maksud puasa, hal ini tidak ada
yang mengetahuinya secara pasti.
Demikian pula dengan shalat wajib yang dilakukan sehari semalam.
Sebagian orang mungkin merasa berhasil mengaikan secara logika serangkaian
kegiatan tersebut. Seperti bahwa shalat itu harus dilakukan dengan cara
berdiri, ruku’, sujud, dan duduk.
Begitu pula berkaitan dengan bacaan di dalam shalat, tidak mudah
mencari aspek rasionalnya, apalagi sampat mendapatkan penjelasan perihala
mengapa kalimat-kalimat itu yang diucapkan. Pertanyaan tentang mengapa kata
atau kalimat tertentu itu harus diucapkan hingga tiga kali, sedangkan yang
lainnya tidak, dan seterusnya. Hal demikian tidak mudah dicari jawabannya.
Saat ini umat Islam sedang melangsungkan kegiatan ibadah haji.
Dalam berhaji atau umarah, seseorang harus mengenakan pakaian ihram bagi
laki-laki, melakukan thawaf atau mengelilingi Ka’bah hingga tujuh kali.
Demikian pula harus sa’i, yaitu berlari-lari kecil dari bukit
shafa dan marwa sebanyak tujuh kali. Ketentuan tersebut diberlakukan secara
sama, baik jamaah yang masih muda dan kuat, maupun jamaah yang sudah tua,
bahkan sudah tidak mampu berjalan.
Ritual ini diberlakukan kepada semua orang-orang secara sama,
kecuali dalam hal-hal tertentu seperti kewajiban haji. Selain itu, jenis
kegiatan tersebut juga tidak diberikan secara jelas makna atau fungsinya.
Dalam rangkaian kegiatan haji, melempar jumrah atau beru kerikil ke
tempat yang telah ditentukan, tidak ditunjukkan fungsinya atau
rasionalisasinya. Untu apa dan kenapa harus melempar jumrah.
Masih dalam rangkaian kegiatan haji, mengapa dalam perjalanan dari
Arafah ke Mina dianjurkan mabit di Muzhalifah. Sekedar alasan agar mereka yang
menjalankannya tidak capek, hal ini tentu tidak relevan dengan kondisi
sekarang. Sebab, tidak sedikit orang yang telah menggunakan fasilitas
kendaraan, namun toh masih harus mabit di tempat itu.
Demikian pula tidak mudah merasionalkan, mengapa jamaah haji harus
mabit di Mina hingga dua malam atau tiga malam. Jamaah haji diperbolehkan
melempar jumrah hanya tiga hari berturut-turut, yaitu setelah dari Muzhalifah
segera ke Mina, lalu melempar jumrah aqabah. Kemudian dilanjutkan tahallul awal,
dan selanjutnya diteruskan selama dua hari berikutnya berturut-turut, melempar
jumrah, lalu harus meninggalkan Mina sebelem matahari terbenam.
Jamaah haji yang memilih alternatif seperti itu disebut nafar
awwal. Lain halnya dengan jamaah yang memilih alternatif menabah sehari lagi
mabit di daerah itu, dan masih harus melempar jumrah sekali lagi, sebagaimana
yang dilakukan pada hari sebelumnya.
Kegitan seperti itu tidak mungkin dirasionalkan. Sikap yang tepat
adalah melakukan semua ketentuan tersebut, sekalipun terkadang tidak mudah
memahaminya. Mislanya, seseorang yang akan meninggalkan Mina pada malam hari ke
dua maka sore harinya yang bersangkutan harus meninggalkan wilayah itu. Makala
tidak meninggalkannya, yang bersangkutan akan dianggap mengambil nafar tsani.
Selanjutnya besok harinya, mereka harus melempar jumrah lagi. Hal
demikian itu harus dilakukan apa adanya sesuai dengan petunjuknya. Ketika
muncul pertanyaan terkait dengan itu, jawabanny selalu merujuk pada riwayat
nabi yang menjelaskan tentang hal itu. Usaha merasionalkan kegiatan ritual
sekalipun berhasil tidak akan memuaskan.
Atas dasar itulah maka kegiatan ritual memang tidak perlu dirasionalkan,
apalagi diperdebatkan. Diskusi atau perdebatan tentang kegiatan ritual
tidak akan menemukan kebenaran yang pasti. Hasil perdebatan itu hanya akan
bersifat spekulatif, dalam arti kesimpulan yang dirumuskan belum tentu yang
paling benar.
Oleh karena itu, menyikapi kewajiban yang terkait dengan
kegiatan ritual akan lebih tepat untuk segera menjalankan yang diketahui dan
yang dianggap benar. Sedangkan menunggu alternatif yang paling tepat, atau mencari
rasionalitas yang paling sempurna justru akan menghambat proses penghambaan.
Karena hal ini akan memakan waktu lama dan tidak akan memperoleh jawaban yang
memuasakan.
Memang, kegiatan ritual termasuk rangkaian ibadah haji, bukan berada
pada wilayah rasional. Oleh karenanya, hal itu tidak perlu diperdebatkan. Perdebatan
hanya akan melahirkan perpecahan umat yang berkepanjangan. Kalaupun harus
direnungkan, maka hal itu sebatas menggali hikmah yang tersembunyi di dalam
ritual tersebut.