Salah satu kewajiban
setiap orang adalah merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik. Nabi
Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama
saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk
dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik
dari hari ini.
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ١٨
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Qs. Al-Hasyr: 18).
Membangun hari
esok yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai dengan
perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini
mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk
mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa. Semestinya orang Mukmin punya
langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan
kelalaian hari ini. Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari
esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini.
Simpulannya,
mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa
depan dalam kehidupan pendek di dunia ini. Hari esok juga berarti pula hari
esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak. Hari esok mesti dirancang
harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah,
Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.
1.
Mu’ahadah
Mu’ahadah
adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia,
masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak”
tauhid dengan ruh. Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam
keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika
manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah
konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke
dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali
dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana
tertera di dalam surat Al-Fatihah ayat 5 yang berbunyi:
إِيَّاكَ
نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥
Artinya: “Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.
(Qs. Al-Fatihah: 5).
Ikrar
janji ini mengandung ketinggian dan
kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai
pertolongan, kecuali hanya Allah semata. Tidak ada satupun bentuk ibadah dan
isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah
SWT.
Mu’ahadah
yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi
Allah SWT, Tuhan semesta alam.”
2.
Mujahadah
Mujahadah
berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh,
sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi
amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, manusia menjadikan
dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah
Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti
(beribadah).
Mujahadah
adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud
keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia
adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal. Hal ini dijelaskan
di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 105, Allah SWT berfirman:
وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ
فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ
إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ
تَعۡمَلُونَ ١٠٥
Artinya: “Dan
Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qs. At-Taubah: 105).
Orang-orang
yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal
shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju
(ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada
yang terus bermujahadah dengan istiqamah.
Kecerdasan
dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau
oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda. Situasi batin dari
orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang, sehingga
tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang
dilanggar.
Mujahadah
adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin
kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ
حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ ١٦ إِذۡ يَتَلَقَّى ٱلۡمُتَلَقِّيَانِ عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ
قَعِيدٞ ١٧ مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ
إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨
Artinya: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri, Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(Qs. Qaaf: 16-18)
3.
Muraqabah
Muraqabah
artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran
ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan
menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang
melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini
makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah
SWT senantiasa melihat dirinya. Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain
Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama,
hendaknya engkau memaksa jiwamu
muraqabah (merasa diawasi)
oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau
miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.”
Syeikh Abu
Utsman Al Maghriby
mengatakan,
“Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar
orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan
jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu.”
Dalam setiap
keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus
disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah
adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti
dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari. Muraqabah dapat membentuk
mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur. Allah
SWT berfirman:
وَأَن
لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ٣٩ وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ
٤٠ ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ
٤١ وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلۡمُنتَهَىٰ
٤٢ وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضۡحَكَ وَأَبۡكَىٰ ٤٣
وَأَنَّهُۥ هُوَ أَمَاتَ وَأَحۡيَا ٤٤
Artinya: “dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan
diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya
kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya Dialah yang
menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan
menghidupkan.” (Qs. An-Najm: 39-44).
4.
Muhasabah
Muhasabah
berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan.
Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan
diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.
Dengan
melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu mengguunakan waktu dan jatah
hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah
mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT
memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan
ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Diriwayatkan
bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat
shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati.
Dia
merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata: “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat
(Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai
mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam
hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan
bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka apabila
menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata
mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang
seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Muhasabah
dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu
dengan sebaik-baiknya.
Berbicara
tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata: “Tidak terbit
fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru
yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi
sampai hari kiamat.”
Waktu
terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak
menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan
berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wal-Lail (demi malam), Wan-Nahari
(demi siang), dan lain-lain. Waktu adalah modal utama manusia, apabila tidak
dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu.
Rasulullah
SAW bersabda:
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya: “Dua
nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu
luang.” (HR. Al-Bukhari).
5.
Mu’aqabah
Muaqabah
artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan
atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih
utama meskipun terasa
berat, seperti berinfaq dan
sebagainya.
Kesalahan
maupun dosa adalah kesesatan. Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat
hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan
norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah.
Berkubang
dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib
ditinggalkan. Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala
berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti
kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah
mengulanginya untuk kedua kalinya.