Allah
SWT berfiman:
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي
عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
Artinya: “Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah: 228).
Memang
begitulah sesungguhnya ayat dalam kitab suci AL-Qur’an ini diturunkan dalam
kaitannya dengan hak-hak Wanita selama perceraian. Namun ia juga mengandung
arti yang umum. Salah satu hak dasar bagi setiap manusia yang terikat dalam
perjanjian adalah tidak boleh melakukan hubungan suami istri selain dengan
pasangan yang sah. Dengan demikian masing-masing pihak wajib memberikan
kepuasan bathin kepada pihak lainnya, sebagai bagian dari perjanjian.
Setiap laki-laki
mengetahui bagaimana hubungan imtim itu menyenangkan bagi dirinya. Namun,
sebagian laki-laki, terutama yang belum pernah menikah dan karenanya masih
kurang pengalaman, tidak banyak mengetahui bagaimana memberikan kesenangan yang
sama kepada Wanita. Yang lebih buruk lagi, ada laki-laki yang mengetahui hal
itu tetapi tidak mau bersusah-susah mengupayakannya. Tetapi, jelas merupakan
hal yang vital jika perkawinan diharapkan berhasil dan tidak jadi beban kekecewaan
bagi Wanita. Hubungan intim adalah bagian penting dalam melaksanakan kewajiban
dalam Islam. Laki-laki Muslim tidak boleh hanya memuaskan dirinya sendiri dan mengabaikan
kebutuhan istrinya.
Para ahli sepakat
bahwa kebutuhan psikologis pokok laki-laki adalah penghormatan, sedangkan Wanita
adalah cinta. Baik penghormatan maupun cinta adalah hal yang tidak dapat
dipaksakan, mereka harus mengupayakan untuk diperoleh.
Rasulullah SAW
menyatakan bahwa dalam keintiman antara suami dan istri adalah sedekah, sebagaimana
di dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا
نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ.
قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ
وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ
مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ «
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Artinya: Dari
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak
mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka
berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh dengan kelebihan
harta mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah
telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh? Sesungguhnya tiap-tiap
tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil
adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran
adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya)
adalah shodaqoh“. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah
seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi
syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi
syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no. 2376)
Tidak seorang
pun dari suami istri boleh melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan atau membahayakan
pasangannya dalam kehidupan seksualnya. Pernikahaan adalah ikatan suci bagi
suami dan istri, yaitu cinta yang tulus dan setia yang tanpa itu mereka tidak
akan mencapai kebahagiaan dan ketenangan pikiran.
Setiap Muslim
mengetahui bahwa seorang laki-laki mempunyai hak atas istrinya, akan tetapi,
karena nikah adalah suatu kontrak yang tidak membolehkan mencari kepuasan bathin diluar pernikahan,
maka dalam hal ini Islam tidak hanya memerintahkan kepada Wanita tetapi juga
kepada laki-laki. Islam juga menjelaskan bahwa jika seorang suami tidak menyadari
keinginan dan kebutuhan istrinya, berarti ia berbuat dosa karena mengabaikan
hak-hak istrinya.
Ulama Fiqih
empat madzhab sepakat bahwa, suami diwajibkan memelihara kebahagian dan
kesenangan istri dalam hal ini, demikian pula, penting bagi istri untu
memuaskan keinginan suaminya. Tidak seorang pun boleh menolak pasangannya,
kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh agama. Untuk itu amat sangat penting bagi
pasangan suami istri untuk saling memahami situasi dan kondisi sensitifnya
masing-masing.