A. Mulla Shadra
1. Biografi Mulla Sadra
Shadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami
al-Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz
pada tahun 1572 M. Pendidikan dasarnya dijalani dikotanya dalam bidang
al-Qur'an, Hadis, Bahasa Arab dan Bahasa Persia kemudian dilanjutkan di Isfahan
sebuah kota pusat studi yang penting pada masa itu. Di sana, Mulla Shadra
berguru kepada Baha' al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad (w. 1631) dan Mir
Abu Al-Qasim Findereski (w. 1640).
Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji
dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Basrah sekembalinya dari
menunaikan ibadah haji yang ketujuh pada 1641.
2. Karya-Karya Mulla Sadra
Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak
diantaranya; Al- Suhrawadi, Hikmah Al-Isyraq, Al-Abhari, Al-Hidayah fi
Al-Hikmah, dan Ibn sina, Al-Syifa bersanding dengan risalah-risalahnya tentang
organization, Resurraction (Awal Penciptaan dan Hari Akhir), Predicating
Essence of Existence, dan beberapa makalah singkatnya dalam tema-tema serupa.
Namun, karya filsafatnya yang berpengaruh adalah Al-Masya'ir (Keprihatinan),
Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-Arca Paganisme), dan "Hikmah
Transedental", yang lebih dikenal sebagai "Empat Pengembaraan"
(Al-Asfar Al-Arba'ah).
3. Filsafat Mulla Sadra
Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla
Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat.
Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi
adalah cermin nilai kebenaran tertinggi.
Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran
tunggal yang dibawa
oleh
Adam. Dari Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof
Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-orang Yunani,
tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya,
mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.
Dalm konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua
kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir
pada Socrates dan Plato. Dan kategori kedua dimulai oleh Pythagoras yang
menerima filsafat dari sulaiman dan para rahib Mesir-seperti yang terungkap
dari banyak catatan sejarah filsafat Arab. Di antara "tiang-tiang
filsafat", Mulla Shadra menyebut nama Empedocles, Pythagoras, Socrates, Plato,
dan Aristoteles, sedangkan mengenai hubungan Plotinus-yang dijulukinya dengan
guru Yunani dan acp disebutnya dengan rasa hormat dengan Plato dan Aristoteles,
Mulla Shadra, seperti kebanyakan filosof Muslim lainnya, samasekali berskap
diam. Semua "tiang filsafat" Yunani yang disebutkan di atas, menurut Mulla Shadra,
menerima "cahaya Hikmah" dari "mercusuar kenabian".
Inilah sebabnya, para filosof itu secara keseluruhan
bersesuaian dengan para nabi dalam persoalan-persoalan menyangkut keesaan
Tuhan, penciptaan alam, dan hari kebangkitan. Terlepas dari pandangannya
tentang sejarah filsafat ini, sosok metodologi
Mulla
Shadra yang mesti diperhatikan adalah penerapan kategori-kategori filsafat dan tasawuf
pada ajaran-ajaran Syi'ah. Dia berpendapat bahwa tahapan kenabian dalam sejarah
dunia berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw., "pamungkas para nabi".
Tahapan selanjutnya ialah imamah (wilayah/wishayah) yang terdiri dari dua belas
imam Syi'ah. Imamah akan terus berlanjut hingga kembalinya imam kedua belas yang
saat ini masih gaib menurut doktrin Syi'ah.
Empat perjalanan jiwa, seperti yang dikemukakan
dalam Al-Asfar Al-Arba'ah,
adalah
sebagai berikut:
·
Perjalanan dari
makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
·
Perjalanan
menuju Tuha melalui (bimbingan )Tuhan.
·
Perjalanan dari
Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
·
Perjalanan di
dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk
lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dan kegelapan. Karena itulah ada
keterkaitan antara alam akal, atau "alam perintah", demikian para
sufi menyebutnya, dan alam materiil, atau "alam ciptaan". Yang
terakhir dimulai dengan garis lintas universal-yang memisahkan "alam
akal" atau alam jiwa dengan alam materiil atau alam entitas-entitas
indriawi.
Diagram berikut akan melukiskan hierarki atau
"mata rantai wujud" dalam konsep
Mulla
Shadra yang pada dasarnya mirip konsep Neoplatinos:
Cahaya
Tertinggi
(Wajib
Al Wujud)
Alam
Perintah atau Entitas-Entitas Tunak
(Alam Kawruhan)
Bentuk-Bentuk
Kawruhan
(Jiwa Manusia)
Falak
Universal
(Falak Luar)
Alam
Ciptaan
(Alam
Materiil)
Dari diagram ini dapat kita lihat bagaimana Mulla
Shadra seperti halnya para filosof Isyraqi lain melanjutkan tradisi Ibn Sina
dan neo Platonisme dengan variasivariasi yang lebih bersifat verbal atau
semantic.
Pandangan yang sempurna yang diperkaya oleh Mulla
Shadra dengan kutipan ekstensif dari Al-Qur'an, Hadits, dan ucapan-ucapan Imam
Syi'ah, memiliki tujuan melindungi keyakinan tentang kebangkitan kembali.
Melalui penyulingan subtil ini, status raga yang tadinya kabur itu kini
diasumsikan memiliki bentuk etereal. Dan dalam kondisi seperti ini, raga
dinyatakan identik dengan jiwa. Etereal berasal dari bahasa Inggris ethereal,
yaitu unsur sangat halus yang memenuhi lapisan teratas luar angkasa.
B. Al-Razi
1. Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakaria
bin Yahya Al-Razi. Dia lahir di Ray, dekat Teheran, Iran, pada 865 M/251 H.
Al-Razi hidup di bawah pemerintahan Dinasti Saman. Di kota Ray, Al-Razi belajar
ilmu kedokteran pada Ali bin Rabban al-Thabari, belajar ilmu filsafat pada
al-Balkhi. Di samping itu, Al-Razi juga belajar matematika, astronomi, sastra,
dan kimia. Di masa mudanya, Al-Razi hidup sebagai tukang intan, penukar mata
uang, dan sebagai pemusik/pemetik kecapi. Al-Razi menulis hampir semua karyanya
kecuali matematika
Al-Razi dikenal sebagai seorang pemberani dan
pengeritik dogma-dogma Islam yang fundamental, seperti soal Al-Qur`an,
kenabian, dan takdir. Buku Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwah yang diduga
kuat sebagai karyanya, menjadi sasaran kritik dari lawan-lawannya, seperti: 1)
Abu Hatim Al-Razi (seorang teolog, ahli hadis, dan da’i beraliran Syi’ah
Ismailiyah); 2) Abu Qasim al-Balkhi (seorang Mu’tazilah yang berbeda soal waktu
dan zaman); dan 3) Ibnu Tammar yang menolak tulisan Al-Razi berjudul Al-Thibb Al-Ruhani.
Al-Razi meninggal pada 5 Sya’ban 313 H bertepatan
dengan 27 Oktober 925 M karena menderita penyakit semacam katarak. Beberapa
dokter menawarkannya untuk mengobati kebutaan matanya, tetapi Al-Razi
menolaknya dengan berkata, “Sudah banyak dunia yang aku lihat, dan aku tidak
ingin melihatnya kembali”.
2. Filsafat Ar-Razi
Al-Razi dikenal dengan ajaran “Lima Kekal”, yaitu:
·
al-Bari Ta’ala (Allah):
hidup dan aktif (dengan sifat independent).
·
al-Nafs
al-Kulliyyah (jiwa universal): hidup dan aktif dan
menjadi al-mabda` alqadim al-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifnya
bersifat dependent. Al-Nafs al-Kulliyyah tidak berbentuk. Namun karena
punya naluri untuk bersatu dengan al-Hayula al-Ula, maka al-Nafs
al-Kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima
sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan
manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan ruh untuk menempati
benda-benda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan
kesenangannya. Oleh karena semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah
kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik
tersebut.
·
al-Hayula al-Ula
(materi
pertama): tidak hidup dan pasif. Al-Hayula al-Ula adalah substansi
(jauhar) yang kekal yang terdiri dari dzarrah, dzarat (atom-atom). Materi yang
sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air,
yang renggang menjadi substansi udara, dan yang lebih renggang menjadi api. Al-Hayula
al-Ula: kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua
ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejab
yg sangat sederhana dan mudah.
·
al-Makan
al-Muthlaq (ruang absolut) ? tidak aktif dan tidak
pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ‘tempat’
yang sesuai. Ada dua macam ruang: ruang partikular (relatif) dan ruang
universal. Yang partikular terbatas sesuai keterbatasan maujud yang
menempatinya. Sementara ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada
maujud, karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa maujud.
·
al-Zaman
al-Muthlaq (zaman absolut) ? tidak aktif dan tidak
pasif. Zaman atau masa ada dua: relatif/terbatas yang bisaa disebut al-waqt dan
zaman universal yang bisa disebut al-dahr. Yang terakhir ini (al-dahr)
tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa
raya.
3. Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang Kenabian
Sebagian dari penjelasan al-Razi yang menunjukkan
pengingkarannya pada kenabian dan cenderung merendahkan posisi para nabi adalah
dapat dilihat dalam dua buah karyanya, Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal
al-Mutanabbi`in? (Kehebatan Para Nabi atau Tipu Muslihat Orang-Orang yang
Mengaku Nabi?) dan Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwah? (Kritik atas
Agama-Ag/ama atau Kenabian?). Karya yang pertama mendapat sambutan cukup sukses
di kalangan kelompok yang menyebarkan ajaran zindiq dan ateis, khususnya kaum
Qaramithah (salah satu dari sekte-keagamaan Syi’ah–pen).
Abu Hatim menyebut bahwa al-Razi berkata, “Yang
lebih utama bagi hikmah
dan
kasih sayang Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada seluruh hamba-Nya
untuk mengetahui, baik cepat atau lambat, beberapa manfaat dan kemudharatan,
dan tidak boleh melebihkan sebagian mereka dari yang lain serta tidak boleh
terdapat pertentangan dan pertikaian di antara mereka sehingga menyebabkan kebinasaan.
Hal ini lebih hati-hati dari pada Dia menjadikan sebagian dari mereka beberapa
pemimpin, lalu pengikut-pengikutnya membenarkan sang imam (pemimpin) dan
mengingkari pemimpin lainnya sehingga terjadi peperangan di antara mereka dan menimbulkan
bencana. Keba-nyakan manusia binasa karena hal ini”. Disebutkan pula bahwa Al-Razi
mengatakan, “Para nabi tidak berhak mengaku diri mereka sebagai manusia yang
istimewa, baik secara akal maupun spiritual, karena seluruh manusia adalah sama
dan bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Swt. adalah tidak boleh memberi
keistimewaan seseorang atas lainnya”.
C. Al-Farabi
1. Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin
Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari
Farab, yang termasuk bagian dari wilayah Mā Warā`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang
berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah
pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi
dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia
(Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya
berasal dari Turki.
2. Filsafat al-Farabi
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang
disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami
hubungan antara Tuhan danalam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi
dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin
al-wujud (disebut alam) dari
pancaran Wājib
al-Wujud (Tuhan). Proses
terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang
diri-Nya, sehingga Wājib
al-Wujūd juga diartikan
sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya
sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang
disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari
akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya
akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai
obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai
berikut:
·
Tuhan sebagai
al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir
tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit
pertama).
·
Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
·
Wujud III itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
·
Wujud IV itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
·
Wujud V itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
·
Wujud VI itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
·
Wujud VII itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal
VII → Venus.
·
Wujud VIII itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII
→ Mercury.
·
Wujud IX itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
·
Wujud X itu
berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi
pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan
tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql alfa’āl (akal aktif) yang bisaanya disebut
Jibril yang berperan sebagai wāhib
alsuwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua
kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik (yaitu
Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet) maupun yang menempati fisik (yaitu jiwa,
bentuk, dan materi). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia,
hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api,
udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya,
jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad
hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak
ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang
berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq
yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi. Jiwa manusia, menurut
al-Farabi, memiliki 3 daya:
·
Daya gerak
(quwwah muharrikah), berupa: makan (ghadiyah, nutrition), memelihara
(murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction).
·
Daya mengetahui
(quwwah mudrikah), berupa: merasa (hassah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah,
imagination).
·
Daya berpikir
(al-quwwah al-nathiqah,
intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amali) dan akal teoretis (‘aql nazhari).
Menurut Al-Farabi, Nabi dan filosof sama-sama mampu
berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl
(akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat
‘aql mustafād.
Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa
melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau
daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar bisaa, berupa
al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang
serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada
filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi
setiap filosof belum tentu seorang nabi.
D. Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota
Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat
sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-Ghazzali,
karena dinisbatkan kepada mata pencaharian ayahnya, tetapi ayah mempunyai
semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat ada simpatiknya pada ulama, dan
mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat pada uamaqt.
Sebelum ayahnya wafat, ayahnya menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya,
Ahmad yang pada itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan
didikan dan bimbingan.
2. Karya-Karya al-Ghazali
Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah,
diantaranya adalah:
·
Maqashid-Al-Falasifah
(Tujuan-tujuan
Para Filsuf), sebagai karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah
filsafat.
·
Tahafut
Al-Filasafah (Kekacuaan Pikiran Para Filsuf),
dikarang sewaktu berada di Bagdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
·
Mi’yar Al-‘Ilm (Kriteria-Kriteria
/ Standar Keilmuan).
·
Ihya ‘Ulum
Al-Din (Menghidupkan Kembali Agama-Agama), merupakan karya terbesar
Al-Ghazali.
·
Al-Munqidz Min
Al-Dhalal (Penyelamatan dari Kesehatan), merupakan sejarah alam
pikiran Al-Ghazali sendiri dan mereflesikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan mencapai Tuhan.
·
Al-Ma’arif
Al-‘Aqliah (Pengatahuan Yang Rasional).
·
Misyakat
Al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), berisi pembahasan
tentang akhlak dan tasawuf.
·
Minhaj
Al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
·
Al-Iqtishad fi
al-‘Itiqad (moderasi dalam akidah).Al-Mustadzhir
Qisthasul Mustaqim (Nerca Yang Lurus).
3. Filsafat al-Ghazali
a. Epistimologi
Sebagaimana
dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari
kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan
kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. “sekiranya ada
orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa
tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia laksanakan, saya
akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa
sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah”. Seperti inilah menurut
Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Pada
mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal yang dapat
yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya bahwa
panca indera juga berdusta. Seumpama: “bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak,
tetapi berpindah tempat,” atau seperti “bintang-bintang dilangit, kelihatannya
kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari
bumi”.
Karena
tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan kepercayaannya
kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, demikian
menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun
setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah
benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai
sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan,
yang sulit diselesaikan dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan
pandangan-pandangan yang bertentangan itu. Seperti yang disebut diatas
bahwasannya Al-Ghazali mencari ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandung
pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen dalam menguji
kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia menggunakan
argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber
pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi)
saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang
lebih tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak
kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang
disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifat- ke dalam hatinya, sehingga
ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat
aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih
tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi
tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu
dan ada manusia bisaa berbentuk ilham.
Pengetahuan
yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi pengetahuan.
Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan
diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs). Lapangan
filsafat menurut Al-Ghazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika,
politik, etika, dan metafisika.
Logika
menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi
penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian,
definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika
sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika), sedangkan
sebenarnya tidak demikian.
Al-Ghazali
membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun),
naturalis (thabi’iyyun), dan theis (ilahiyun). Kelompok pertama materialis,
terdiri dari para filsuf awal, seperti Emepodokles (490-430 SM) dan Demokritus
(460-360 SM), mereka pencipta dan pengatur dunia, dan yakin bahwa dunia ini
telah ada dengan sendirinya sejak dahulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak
beragama.
Kelompok
kedua naturalis,terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud
yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mengakui
eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan sifat immateriality
jiwa manusia mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah naturalis sebagai
sautu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematiaan jasad menyebabkan jiwa tak
berwujud sama sekali.
Kelompok
ketiga theis, tergolong para filsuf lebih modern, meski mereka menyerang
menyerang kaum materialis dan naturalis Al-Ghazali berpendapat kaum theis
ini masih menyimpan sisa kekafiran dan paham bi’ah. Sebab itu dia
menilai mereka maupun para filsuf muslim yang mengikutinya sebagai kaum
kafir. Menurut pendaatnya diantara pengukut mereka, Al-Farabi dan Ibn
Sina adalah penerus terbaik filsafat Aristoteles ke dalam dunia islam.
b. Metafisika
Dalam
lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap
Neo-Platonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan
logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh
Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka.
Menurut
Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut
ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasardasar pemujaan
ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual
mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas
dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka
harus dinyatakan sebagai ah-bida’ , sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka
dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut
berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimn.
Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud
adalah:
·
Alam qadim
(tidak bermula).
·
Keabadian
(abadiah) alam, masa, dan gerak.
·
Konsep tuhan
sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-Nya,ungkapan ini
bersifat metaforis.
·
Demonstrasi/pembuktian
eksistensi penciptaan alam.
·
Penolakan akan
sifat-sifat tuhan.
·
Argumen rasional
bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud.
·
Kemustahilan
konsep genus (jins) kepada Tuhan.
·
wujud tuhan
dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
·
Argumen rasional
tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah).
·
Argumen rasional
bahwa tuhan bukan tubuh (jism).
·
Pengetahuan
tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara
universal.
·
Pembuktian bahwa
tuhan mengetahui diri-Nya sendiri.
·
Tuhan tidak
mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum.
·
Langit adalah
makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya.
·
Tujuan yang
menggerakkan langit.
·
Jiwa-jiwa langit
mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah).
·
Kemustahilan
perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa.
·
Jiwa manusia
adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang,
tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh.
·
Jiwa manusia
setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil
bagi kita membayangakan kehancurannya.
·
Penolakan
terhadap kebangkitan jasmani.
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf
dipandang kafir adalah:
·
Alam kekal (qadim)
atau abadi dalam arti tidak berawal.
·
Tuhan tidak
mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang
terjadi di dalam.
·
Pengingkaran
terhadap kebangkitan jasmani (hasry al-ajsad) di akhirat.
Dalam
persoalan ini, terlepas dari besarnya pengaruh dan jasa Al-Ghazali, setidaknya
ada tiga hal yang patut dicermati, yaitu: Pertama: bahwa ia sesungguhnya
hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya Al-Farabi dan Ibn Sina dan
tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan. sebab Al-Ghazali tetap
mengakui pentingnya logika atau epistimologi dalam penjabaran ajaran-ajaran
agama. Kedua: dalam bukunya Al-Ghazali menilai Al-Farabi dan Ibn Sina
serta filsuf yang lainnya telah kufur karena mengajarkan tentang keqodiman
alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan tuhan terhadap hal-hal yang
partikular. Ketiga: tentang pembagian filsafat yunani dalam tiga bagian
materalisme (Dahriyun), naturalisme (Thabi’iyyun), dan
theisme (Ilahiyyun) bahwa betul Al-Farabi adalah Aristoteles tapi
ia hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya belaka seperti yang
kita lihat pada bagian epistimologi burhani.
Al-Ghazali
juga membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu: (1) kaum awam, yang
cara berpikirnya sederhan sekali, (2) kaum pilihan (elect) yang
akalnya tajam dan berpikir secara mendalam, dan (3) kaum penengkar. Sebagai
filosof-filosof dan ulama-ulama lain, Al-Ghazali dalam hal ini, membagi manusia
kedalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya
tidak sama, dan oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas
tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya
pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak
selamanya sama, tetapi acap kali berbeda, dan berbeda menurut daya berfikir
masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya,
membaca apa yang tersirat.
c. Moral
Ada
tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu:
·
Mempelajari akhlak
sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri
kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang
mempelajarinya.
·
Mempelajari akhlak
sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari.
·
Karena akhlak
terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan
kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus terdapat
kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak
menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.
Prinsip-prinsip
moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih dari
pada kebodohan. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis (ada
tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Suatu derat
baik atau buruk berbagai amal berbada oleh sebab perbedaan dalam hal pengaruh
yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya.
Masalah
kebahagian, menurut Al-Ghazali kebahagian yang menjadi tujuan manusia adalah
kebahagian ukhrawi. Kebahagian ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan
tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa kebodohan,dan
kecukupan (ghina), yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang
sempurna. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian yang sesuai Al-qur’an dan
Hadits adalah surga.
d. Jiwa
Manusia
diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari
jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual rabbani
yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang
digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa
bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya
sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa
berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal
sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai
kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia,
dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam kehidupan manusia.
Mengenai
kekekalan jiwa Al-Ghazali menegaskan bahwa tuhan sesungguhnya dapat
menghancurkan jiwa (al-nafs), tetapi ia tidak melakukannya. Disini Al-Ghazali berada
dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa
apabiala dikehendaki tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sifat
substanai kekla). Dengan demikin bantahan Al-Ghzali terhadap filsuf dalam
bukunya Tahafut al-Falasafah, bukan ditekankan pada kekalnya jiwa, yang
dibantahnya dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk memebuktikan
jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan
di akhirat).
Adapun
hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi
jasad, sehingga dengan bantuanya iwa bisa mendatapkan bekal bagi hidup kekal.
Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Meskipun jiwa dan jasad
merupakan wujud yang berbeda tetapi kedunya mempengruhi dan menentukan jalannya
masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan
pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu
dilakukan secara sadar.
E. Ibnu Maskawaih
1. Biografi Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosuf muslim yang
memusatkan perhatiannya pada etika islam. Ia seorang sejarawan tabib, ilmuan
dan sastrawan. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin
Maskawaih. Namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih.dari
gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong menganut
aliran syi’ah. Maskawaih dilahirkan di Ray (Iran), pada 320H (932M) dan wafat
di Asfahan pada 9 Safar 421H (16 Pebruari 1030M).
2. Karya-Karya Ibnu Maskawaih
Maskawaih dikenal terutama dalam keahliannya sebagai
sejarawan dan filosuf, Maskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena
Maskawaih-lah yang pertama mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku
tentang etika.
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh
para penulis (sejarahwan) diantaranya adalah sebagai berikut:
·
Kitab Al-Fauz
Al-Ashgar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
·
Kitab Al-Fauz
Al-Akbar, tentang etika.
·
Kitab Thabarat
Al-Nafs, tentang etika.
·
Kitab Tadzhib
Al-Akhlaq Wa Rath-hir Al-‘Araq, tentang etika.
·
Kitab Tartib
As-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani
Abbas dan Bani Buwaih
·
Kitab Tajarib
Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak
setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369H.
·
Kitab Al-Jami’,
tentang ketabiban.
·
Kitab Al-Adawiyah,
tentang obat-obatan.
·
Kitab Al-Asyribah,
tentang minuman.
Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka
ketokohannya sebagai ahli filsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Ide dan
pandangannya jelas mendahului zaman menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan
sarjana Islam yang tiada tolak bandingan pada zamannya.
3. Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Hikmah dan Falsafah
Maskawaih
membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan , wisdom) dan falsafah
(filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah)
yang mampu membeda-bedakan (Mumayyis). Hikmah adalah bahwa engkau mengetahui
segala yang ada (Al-Maujudat) atau engkau mengetahui perkara-perkara ilahiah
(ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan
engkau mengetahui kebenaran-kebenaran sepiritual (ma’qulat) dapat membedakan
mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Maskawaih
membagi filsafat menjadi dua bagian : bagian teori dan bagian praktis. Bagian
teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui
segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar.
Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya
untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Jika manusia memiliki dua
bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka ia telah
memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
b. Metafisika
Metafisika
Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan pencipta, jiwa
dan kenabian (nubuwah). Sejarah lengkap metafisika Maskawaih dituangkan
dalam kitabnya Al-Fauz Al Ashghar.
·
Bukti-bukti
adanya Tuhan pencipta
Membuktikan
adanya Tuhan Pencipta, dari satu segi dapat dikatakan mudah, karena
kebenaran ada-Nya telah terbukti pada dirinya sendiri dengan amat jelas. Adapun
segi kesukarannya ialah karena keterbatasan akal manusia. Maskawaih berusaha
membuktikan bahwa Tuhan Pencipta itu Esa, azali (tanpa awal) dan bukannya
materi (jism). Tuhan dapat diketahui dengan cara menidakkan (negative),
bukan dengan cara positif. Pembuktian secara positif berarti pembuktian secara
langsung, sedang pembuktian secara negative adalah secara tidak
langsung, Tuhan adalah bergerak, Tuhan adalah tidak Esa, Tuhan adalah diciptakan
dan sebagainya.
Maskawaih
menggunakan berbagai macam argument untuk menetapkan adanya Tuhan. Yang penting
ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam.
Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau berubah
sesuai dengan watak pembawa masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda), maka
adanya gerak yang berbeda-beda itu membuktikan adanya yang menjadi sumber
gerak, Penggerak pertama yang tidak bergerak yaitu Tuhan.
·
Jiwa
(an-Nafs)
Maskawaih
mengatakan bahwa jiwa berasal dari limpahan Akal Aktif. Jiwa bersifat rohani,
suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu
pancaindera. Kesatuan aqliah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa
itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya,
dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur
akal, subyek yang berfikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiganya
merupakan sesuatu yang satu.
Menurut
Maskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkattingkat. Dari
tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
o
An-Nafs
al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
o
An-Nafs
al-sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
o
An-Nafs
an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia
menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa
yang cerdas utuh, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat dan dengan
jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling
mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu
cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu.
·
Kenabian
(An-Nubuwah)
Dalam
membicarakan hal kenabian, Maskawaih menyajikan banyak hal yang sepintas lalu
tidak lazim digolongkan sebagai topik kenabian:
o
Maskawaih membicarakan
masalah-masalah tingkatan wujud dalam alam dan hubungannya satu sama lain.
o
Dibicarakannya pula
manusia yang merupakan mikrokosmos dibandingkan dengan alam semesta yang
merupakan mikrokosmos.
o
Dibicarakannya juga
macam-macam kapasitas dan daya manusia yang mengalami perkembangan pancaindera
meningkat menjadi kekuatan bersama.
o
Dibicarakan pula
perihal wahyu dan cara diperolehnya.
o
Tentang perbedaan
antara nabi yang diutus dan nabi yang tidak diutus akhirnya tentang perbedaan
antara nabi yang sungguh-sungguh dan orang yang mengaku sebagai nabi (mutanabbi).
c. Teori evolusi
Maskawaih
berpendapat bahwa segala yang ada di alam mengalami proses evolusi, dilaluinya
rentetan proses kejadian yang nyata rantainya tidak terputus. Dikatakannya
bahwa segala sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana. Kemudian
mengalami evolusi menjadi benda-benda yang lebih tinggi.
Maskawaih
mengemukakan betapa tinggi kedudukan para Nabi dibanding dengan manusia
lainnya, dengan jalan terlebih dulu mengungkapkan proses evolusi. Maskawaih
menetapkan adanya tipe manusia yang memang sanggup sampai ke tingkat
kemanusiaan yang paling tinggi, yang memperoleh kebenaran-kebenaran yang hakiki
tidak dengan jalan berpikir, tetapi dengan jalan wahyu, yaitu para nabi. Nabi
tingkatnya lebih tinggi dari filosof.
d. Dasar-dasar Etika
Sebagai
bapak etika Islam, Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (Al Mu’allim
Al-Tsalits), setelah Al-Farabi, yang digelari Guru Kedua (Al-Mu’allim
Al-Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (Al-Mu.allim
Al-Awwal) adalah Aristoteles. Teorinya tentang etika secara runic ditulis
dalam kitab Tahzib Al-Akhlaq wa That-hir Al-‘arq (pendidikan budi dan
pembersihan watak). Mengenai teori etika Maskawaih, dalam kesempatan
ini hanya akan disajikan dasar-dasarnya saja, yaitu:
·
Unsur-Unsur
Etika Maskawaih
Teori
Etika Maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia ajaran syariat
Islam, dan pengalaman pribadi. Usaha Maskawaih adalah mempertemukan ajaran
syariat Islam dengan teori-teori etika dalam filsafat, setelah berusaha
mempertemukan antara berbagai macam teori etika dalam filsafat.
·
Pengertian
Akhlak
Kata
akhlaq adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Maskawaih memberikan
pengertian khuluq sebagai peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan kata
lain khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan
secara spontan . Perikeadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak kecil, dan
dapat pula merupakan hasil latihan membisaakan diri. Hal ini dapat dibuktikan
pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu
keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan
macam pendidikan yang diperolehnya. Dari sini pula Maskawaih memandang penting
arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan
akhlak.
·
Keutamaan
(fadhilah)
Maskawaih
menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu bahimiyah atau syahwiyah
, (kebinatangan atau nafsu syahwat) yang mengejar kelezatan-kelezatan
jasmani, sabu’iyah (binatang buas) yang bertumpuh pada kemarahan dan
keberanian, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat segala
sesuatu.
Keselarasan
antara tiga keutamaan dasar itu menimbulkan keutamaan lain, yang merupakan
kesempurnaan ketiga keutamaan dasar tersebut. Dengan demikian keutamaan-keutamaan
jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom), ’iffah (kesucian),
syaja’ah (keberanian) dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan
adalah keutamaan jiwa cerdas, kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat;
keutamaan lahir jika manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan
pertimbangan akal yang sehat, hingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya.
Keberanian adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (shabu’iyah”). Keadilan
adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan tiga macam keutamaan tersebut
diatas:
o
Kebahagiaan (sa’adah)
o Cinta
( mahabbah)
o
Pendidikan
Akhlak Pada Anak-Anak
·
Perihal
Kematian
Adanya
kematian itu merupakan bukti keadilan tuhan terhadap hamba-Nya, tidak ada
alasan untuk takut mati. Rasa takut semacam itu akan mengganggu ketentraman dan
kebahagiaan hidup. Takut mati yang merupakan penyakit jiwa itu dapat terjadi
karena adanya sebab-sebab sebagai berikut:
o
Tidak mengetahui
hakikat kematian.
o
Tidak mengetahui
kesudahan jiwa.
o
Tidak mengetahui
kekekalan jiwa.
o
Mempunyai sangkaan
bahwa kematian itu merupakan sakit yang amat berat, melebihi pedihnya sakit
yang mendahuluinya.
o
Adanya kebingungan,
karena tidak tahu apa yang akan dialaminya setelah mati.
o
Karena adanya
rasa berat untuk bercerai dengan yang disenanginya, yaitu keluarga, anak, harta
benda dan kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya.
Agar
orang jangan sampai takut mati harus diatasi dengan rasa sebagai berikut:
o
Orang harus
mengetahui bahwa mati itu hakikatnya tidak lebih daripada jiwa yang
menghentikan penggunaan alatnya.
o
Orang harus
mengetahui bahwa sebenarnya mati itu ada dua macam: mati iradi dan mati alami.
Mati iradi adalah mematikan keinginan-keinginan (syahwat) dan meninggalkan
usaha memenuhi tuntutan-tuntutannya sedang mati alami adalah terpisahnya jiwa
dari badan.
o
Orang harus
mengetahui benar bahwa mati hanyalah peristiwa badaniah yang menjadi jalan pelepasan jiwa dan
penghormatan bagi jiwa.
o
Orang harus
menyadari bahwa rasa sakit itu hanya berada pada orang hidup dan orang hidup
itulah yang menerima bekas jiwa yang ada pada badannya.
o
Orang yang
merasa takut mati karena takut akan tertimpa hukuman setelah mati harus
menyadari bahwa yang ditakuti itu sebenarnya bukan matinya tetapi siksanya yang
mungkin diderita setelah mati.
o
Pengalaman manusia
setelah mati patut ditakuti.
o
Orang tidak boleh
kuatir akan berpisah dengan keluarganya, anak dan harta benda, sebab semuanya
tidak akan kekal.
F. Ibnu Rusyd
1. Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad
Ibnu Ahmad lahir di Kardova pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling
agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam. Pengaruhnya bukan sahaja
berkembang luas didunia Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat di Eropah. Di
Barat, beliau dikenal sebagai Averroes. Keturunannya terdiri daripada golongan
yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya merupakan kadi di Kardova.
Pada lewat penghujung usianya, kedudukan Ibnu Rusyd
dipulihkan semula apabila Khalifah Al-Mansor Al-Muwahhidi menyadari kesilapan
yang dilakukannya. Namun, segala kurniaan dan penghormatan yang diberikan
kepadanya tidak sempat dikecapi karena beliau menghembuskan nafas terakhirnya
pada tahun 1198.
Kematiannya merupakan kehilangan yang cukup besar
kepada kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang
harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah,
perubatan, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahwu.
Antara karya besar yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Rusyd termasuklah
"Kulliyah fit-Thibb" yang mengandungi jilid, mengenai perubatan
secara umum, MabadilFalsafah (Pengantar Ilmu Falsafah), Tafsir Urjuza yang
membicarakan perubatan dan tauhid, Taslul, buku mengenai ilmu kalam, Kasyful
Adillah, yang mengungkap persoalan falsafah dan agama, Tahafatul Tahafut,
ulasannya terhadap buku Imam Al-Ghazali yang berjudul Tahafatul Falaisafah, dan
Muwafaqatil Hikmah Wal Syari'a yang menyentuh persamaan antara falsafah dengan
agama.
2. Filsafat Ibnu Rusyd
Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada
persoalan yang berkaitan dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah
mengemukakan idea yang bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa
membuat huraianya mengenai perkara tersebut. Pembaharuan ini dapat dilihat juga
dalam bidang perubatan apabila Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan
menjaga kesihatan.
Beberapa pandangan yang dikemukakan dalam bidang
perubatan juga didapati mendahului zamannya. Beliau pernah menyatakan bahawa
demam campak hanya akan dialami oleh setiap orang sekali sahaja. Kehebatannya
dalam bidang perubahan tidak berlegar di sekitar perubatan umum, tetapi juga
merangkum pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia. Ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan
apabila beliau cuba membuat pembahagian masyarakat itu kepada dua golongan
iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam.
Pembahagian strata sosial ini merupakan asas
pengenalan pembahagian masyarakat berdasarkan kelas seperti yang dilakukan oleh
ahli falsafah terkemudian, seperti Karl Max dan mereka yang sealiran dengannya.
Apabila melihat keterampilan Ibnu Rusyd dalam pelbagai bidang ini, maka tidak
syak lagi beliau merupakan tokoh ilmuwan Islam yang tiada tolok bandingannya.
Malahan dalam banyak perkara, pemikiran Ibnu Rusyd jauh lebih besar dan
berpengaruh jika dibandingkan dengan ahli falsafah yang pernah hidup sebelum
zamannya ataupun selepas kematiannya.
G. Ibnu Sina
1. Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali
al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara (Asia Tengah) pada
tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menguasai dengan baik studi
tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika, dipelajarinya dari Abu
Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu. Filsafatnya meliputi
buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam.
Kemampuannya dalam bidang pengobatan sudah begitu
mumpuni di usianya yang masih belia. Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas
tahun, dia sudah berhasil menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur.
Padahal sebelumnya para pakar kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun
yang mampu mengatasi penyakit sang raja. Atas jasanya itu, Manshur bermaksud
memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru lebih memilih izin dari sang raja
untuk diperkenankan meggunakan perpustakaan kerajaan yang dikenal memiliki
koleksi buku-buku yang unik.
2. Filsafat Ibnu Sina
Karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal
adalah Al-Najat, Isyarat, dan al-Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan
penyakit) merupakan ensiklopedi filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan
pengetahuan yang luas, dari filsafat hingga ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu
Sina merupakan penggabungan tradisi Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan
teologi Islam. Ibnu Sina mengelompokkan seluruh bidang ilmu ke dalam dua
kategori besar, yakni: pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis.
Pengetahuan teoritis meliputi fisika, matematika, dan metafisika, sedangkan
pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik.
Jenius yang satu ini tidak pernah berhenti
mengembara, baik secara fisik maupun secara batin. Secara fisik, dia terus
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk memuaskan rasa ingin
tahunya terhadap segala hal, serta untuk dapat belajar, belajar, dan belajar.
Karena terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh gejolak politik pada
masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1037 dia kembali
ke Hamadan, dan meninggal di sana.
Sumber Bacaan
·
Jamaluddin
al-Qafthi, Akhbar al-‘Ulama bi Akhbar al-Hukama’, Kairo: Maktabah al-Mutanabbi,
t.t.
·
Naiati M Ustman.
2002. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Bandung: Pustaka Hidayah
·
Nasition Harun.
1973. Filsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
·
Soleh A Khudri.
2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·
Fakhry Majid.
2001. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan
·
Hanafi Ahmad.
1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
·
http://Halid.nurislami.com
·
http://www.nlm.nih.gov/hmd/arabic/E8.html