Manusia
selalu mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya. Dia tidak
pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud dengan sendirinya secara
kebetulan saja, tanpa sebab. Seorang sopir yang mobilnya mogok akan turun dari
kendaraannya dan memeriksa kemungkinan sebab-sebab mogoknya mobil itu. Tidak
akan pernah terpikir olehnya bahwa mobilnya akan bisa mogok manakala segala
sesuatu berada dalam kondisi yang prima. Untuk membuat mobilnya bisa berjalan
lagi, dia akan menggunakan cara apa pun yang bisa dilakukannya. Dia tidak akan
pernah duduk-duduk saja menunggu mobilnya bisa berjalan lagi.
Hasrat ingin
tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap sebab-sebab ini memaksa
kita menyelidiki bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki
ketertibannya yang mengagumkan. Kita dipaksa untuk bertanya “ Apakah alam
semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar
membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya,
ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?”
Jawaban
terhadap pertanyaan ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh
penjuru semesta ini, ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu
Pencipta dan Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan
itu menikmati anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti
jalan yang tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain.
Makhluk-makhluk ini tidak pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah
perkembangannya sendiri, ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam
menciptakan atau mengorganisasi eksistensi mereka.
Sekilas
Filsafat Islam
Filsafat Islam
muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku
peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah
Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh
terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk
melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban
Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini
adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi
maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles,
maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa
Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan
buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani,
akan tetapi para Ahli
Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218
H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan
saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat
lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H)
seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti
matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping
nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428
H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Kondisi Politik
Pada abad
ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum
muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu
dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil
ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah
timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah
barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai
Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam
dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum
pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya.”
Kondisi Masyarakat
Sejak perang
salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan
peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan
dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan
beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan
membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut
mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan
kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya
gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk
daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke
Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus,
yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang
mengungsi sampai ke Maroko. Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau
tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan
kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini
munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai
pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik,
yaitu Mesir.
Kondisi Pemikiran
Sebelum masa
Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu
dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini
menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang
lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad
ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut
mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah
keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara
filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa,
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha
menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin
Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha
menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian
berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian
disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak
bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat",
masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap
kuburan. Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat
sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak
dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan
golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian
bersama.
Sumber