Secara
etimologis (lughat), “sholat” doa. Sedangkan secara terminologis, sholat
merupakan suatu bentuk ibadah mahdhah yang terditi dari gerak dan
ucapan diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Dalam kitab Nashoih Dinniyah Habib
Abdullah Alhaddad mengibaratkan shalat sebagaimana kepala pada manusia. Manusia
mustahil dapat hidup tanpa kepala. Demikian halnya semua perbuatan baik manusia
akan sia-sia jika tanpa disertai shalat. Shalat merupakan parameter diterima
atau tidaknya amal perbuatan manusia. Rasul SAW bersabda, ‘Pertama yang
diperhitungkan pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya diterima, maka
seluruh amal sholehnya diterima, namun jika shalatnya ditolak, maka seluruh
amal solehnya ditolak pula.’
Meski semua ibadah kepada Allah adalah baik, tapi shalat adalah ibadah yang
terbaik. Demikian dinyatakan oleh Al-Qur’an. Hadis, dan ungkapan para ulama dan
sufi. Rasulullah bersabda : “Sebaik-baiknya amal adalah shalat pada
waktunya.” Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan : “Sesungguhnya amal
perbuatan yang paling disukai Allah adalah shalat. Bahkan, ia diriwayatkan
melafazkan kata : “Shalat …shalat …” pada detik-detik terakhir sebelum
kematiannya. Sedangkan Imam Ja’far al-Shadiq – seorang pemimpin umat, sufi,
dan filosof, guru Imam Abu Hanifah dan Imam Malik — juga menyeru : “Sesungguhnya
sebaik-baik amal di sisi Allah pada hari kiamat adalah shalat.”
Namun, kita bertanya-tanya, kalau sedemikian penting nilai shalat dalam
keseluruhan ajaran Islam, mengapa kita seolah tak banyak melihat manfaat shalat
bagi orang-orang yang melakukannya? Mengapa negara-negara Muslim, yang di
dalamnya banyak orang melakukan shalat, justru tertinggal dalam hal-hal yang
baik dari negara-negara non-Muslim, dan menjadi “juara” dalam hal-hal yang
buruk, seperti korupsi, misalnya? Mengapa tak jarang kita lihat orang yang
tampak rajin menjalankan shalat, bahkan shalat jama’ah di masjid-masjid, tak
memiliki akhlak yang dapat dicontoh? Apakah Allah Swt., telah melakukan
kekeliruan ketika menyatakan bahwa “Innash-shalata tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal-munkar
(Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”? Apakah salah
Rasul-Nya ketika menyatakan bahwa “jika shalat seseorang baik maka baiklah
semua amalnya?” Shadaqa Allah al-‘Azhim wa shadaqa Rasul Allah (Sungguh benar
Allah Yang Maha Agung dan Rasul-Nya).
Jika ada kekeliruan dan kesalahan, maka itu tentu terletak pada pemahaman
kita tentang firman Allah Swt., dan tentang shalat yang benar. Mari, untuk itu,
kita simak ayat lain dalam Kitab-Suci-Nya : “(Lukman menasihati putranya Hai Anakku, dirikanlah shalat dan
perintahkanlah (kepada manusia) untuk mengerjakan yang makruf dan cegahlah
(mereka) dari berbuat mungkar. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya itu termasuk urusan-urusan yang tegas (diwajibkan oleh Allah)”
(QS. 31 : 17).
Tampak dalam ayat yang barusan dikutip bahwa perintah mendirikan shalat
dipisahkan dari perintah mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
Dengan kata lain, keduanya terpisah. Maknanya akan menjadi jelas ketika kita
simak sabda Rasulullah, yang tampaknya dimaksudkan untuk menafsirkan ayat
tersebut, sebagai berikut : “Laa shalaata li man la tanhaahu shalatahu ‘anil
fakhsyaa’i wal munkar (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak
menghindarkanya dari kekejian dan kemungkaran)” .
Jadi, alih-alih sebagai jaminan bahwa orang yang shalat pasti tercegah dari
perbuatan keji dan mungkar, maka ayat tersebut mesti difahami sebagi definisi
shalat yang sesungguhnya. Bahwa shalat yang benar akan termanifestasikan dalam
kebaikan akhlak. Menjelaskan lebih jauh
pengertian ini, Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat itu merupakan anugerah Allah
untuk manusia sebagai penghalang dan pemisah (dari keburukan). Oleh karena itu,
sesiapa yang ingin mengetahui sejauh mana manfaat shalatnya, hendaklah ia
memperhatikan apakah shalatnya mampu menjadi penghalang dan pemisah dirinya
dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat yang diterima (oleh Allah) adalah hanya
sejauh yang mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar”.
Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak
memiliki nilai sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak, sebagaimana
dinyatakan dalam hadis yang lain : “Adakalanya seseorang shalat terus-menerus selama
50 tahun namun Allah tak menerima satu pun dari shalatnya.”
Nah, pertanyaan yang tidak-bisa-tidak akan muncul adalah : seperti apakah
shalat yang benar, yang diterima oleh Allah, itu? Tidak lain
hanyalah shalat yang Khusyuk, Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk” (QS. Al-Baqarah: 45). Jika ayat ini dibaca dengan
teliti, akan kita dapati bahwa ia memiliki “pemahaman terbalik” (inverse logics
atau mafhum mukhalafah) bahwa shalat hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan
khusyuk.
Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubudiyah) diri
kita sebagai manusia di hadapan keagungan Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk
ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat
Yang Maha Kasih dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki
sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran – seluruh
keberadaannya – kepada Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang
selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti hadirnya hati. Tanpa kehadiran hati,
shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda : “Shalat yang diterima adalah
sekadar hadirnya hati.”
Sumber Bacaan