Sebagai
akibat dari penaklukan-penaklukan awal dalam Islam, terutama penaklukan atas
Iraq, umat Islam sejak pertengahan abad ke delapan, adalah adanya kontak dengan
tradisi pemikiran Yunani. Di Iraq ada sekolah-sekolah Kristen atau
perguruan-perguruan tinggi Kristen. Lembaga-lembaga pendidikan ini menggunakan
bahasa Syria sebagai bahasa pengantar belajar, disana dipelajari ilmu
kedokteran, filsafat Yunani, dan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani yang lain. Para
penguasa dan raja Islam, segera tertarik dengan ilmu kedokteran Yunani dan
terutama ilmu astronomi, yang berguna untuk menentukan arah kota Mekah yang
harus dihadapi ketika mendirikan ibadah salat. Sampai tahun 870 Masehi, ahli
fisika pada masa kekhalifahan Bani Abbasiah adalah orang yang beragama Kristen.
Di awal abad ke sembilan, khalifah Al-Ma'mun mendirikan laboratorium dan pusat
penterjemahan buku-buku Yunani, dan pada gilirannya buku-buku dari delapan
puluh penulis Yunani itu sudah tersedia dalam sajian bahasa Arab.
Satu
atau dua dekade terdahulu, sebagian kecil ahli teologi Islam tertarik kepada
konsep-konsep filsafat Yunani dan konsep-konsep ilmiah Yunani. Para ahli ilmu
Kalam ini pada gilirannya mulai menggunakan konsep-konsep filsafat maupun
ilmiah Yunani dalam argumennya menentang para pemeluk kepercayaan non-muslim
yang lain, dan menentang umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat yang
mereka kemukakan. Penggunaan konsepsi Yunani ini juga memperlihatkan
kegunaannya kepada murid-murid yang sekolah di lembaga-lembaga pendidikan
Kristen tadi, yang telah beragama Islam. Dua ahli ilmu Kalam terdahulu yang
tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam dan Dirar Ibn
Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800 Masehi.
Penggunaan
konsepsi-konsepsi Yunani oleh para ahli kalam terdahulu ini membawa
perkembangan ilmu baru, Ilmu Kalam, teologi falsafi atau teologi rasional. Di
antara lawan ilmu Kalam ini adalah aliran mazhab Mu'tazilah. Golongan mazhab
ini mendiskusikan semua problem yang memperhatikan isu-isu teologis
kontemporer. Namun berbeda dengan mainstream teologi Sunni yang berbicara
tentang sejumlah masalah yang dikembangkan, misalnya, kepercayaan akan
kebebasan kehendak manusia yang bertentangan dengan kehendak mutlak Tuhan.
Akibatnya, golongan Sunni menghukumi bid'ah kepada golongan Mu'tazilah. Sekitar
tahun 900 Masehi, Al-Asy'ari (873-935 Masehi) yang terdidik dengan Kalam
Mu'tazilah, meninggalkan mazhab Mu'tazilah ini, dan lalu kembali ke mainstream
awalnya. Namun demikian, Al-Asy'ari terus menggunakan metode Ilmu Kalam yang
dipelajarinya dalam rangka mempertahankan dan melindungi ajaran-ajaran tradisional. Al-Asy'ari bukan saja pemikir dalam Ilmu Kalam ini,
namun setelah kira-kira tahun 1000 Masehi, diberikan kepada mazhab utama Kalam
Sunni di wilayah-wilayah pusat pemerintahan khalifah. Satu mazhab yang dapat
diperbandingkan di Timur, Maturidiyah, tidak mencapai prominensi yang
sesungguhnya sampai abad-abad berikutnya. Para pelaksana Kalam yang awal, diisi
dengan sejumlah ide-ide keilmuan dan ide-ide filsafat Yunani, dan rupanya kecil
tambahan ide-ide yang dikembangkan oleh para ahli Kalam sampai zaman
Al-Ghazali.
Kendatipun
demikian, ada pula sejumlah umat Islam yang hendak merumuskan pemikiran yang
lebih jauh dari mazhab Mu'tazilah dalam hal pengakuannya terhadap pemikiran
Yunani. Mereka dikenal sebagai falasifah (jama' bahasa Arab dari faylasuf atau
dalam bahasa Yunani philosophos, para filosuf). Salah seorang pendahulu yang
terjun di bidang filsafat ini adalah Al-Kindi (800-868 Masehi). Al-Kindi adalah
orang keturunan Arab asli, yang sayang sekali pemikiran-pemikirannya tidak
banyak dikenal. Filsuf lain adalah orang berkebangsaan
Persia, Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (meninggal 923 Masehi/32
Hijrah). Al-Razi menulis bukunya yang berjudul The Spiritual Phisick yang telah
diuraikan oleh penterjemah ke dalam bahasa Inggris, sebagai eksplorasi dari
sikap 'hedonisme intelektual." Filsuf yang lebih
penting lagi adalah Al-Farabi (875-950 Masehi). Al-Farabi ini membela apa yang
dianggapnya sebagai standar pandangan Islam atas dasar Neoplatonik.
Posisi
filsafatnya lebih lanjut didefinisikan kembali oleh Ibnu Sina atau Avicenna
(meninggal 1037 Masehi). Ibnu Sina ini adalah salah seorang filsuf besar dunia.
Walaupun karyanya dalam Falasifah-nya mempunyai tempat yang penting dalam
sejarah umum filsafat, agaknya pemikiran falsafahnya berpengaruh kecil di dunia
Islam pada zaman para filsuf muslim itu masih hidup. Standar para ulama Ahli
Kalam di kalangan umat Islam kala itu tidak membahas pandangan para filsuf
muslim tersebut, sebaliknya mereka malah sampai ada yang menolak pandangan
mereka. Boleh dikatakan, karya-karya para filsuf muslim ini hanya baru-baru ini
saja dimiliki di tengah para pengikutnya secara langsung. Kendatipun demikian,
sesungguhnya sebagian ide-ide falsafahnya agaknya telah merasuk ke
golongan-golongan masyarakat terpelajar dan mungkin telah mernperoleh
pijakannya di sana.
Situasi
di atas merupakan posisi yang terjadi ketika Al-Ghazali (1058-1111 Masehi)
sebagai seorang tokoh yang masih relatif muda, berusia 33 tahun. Pada usia ini
Al- Ghazali telah mencapai gelar professor (al-Shaykh) di perguruan Nizamiyah
yang prestisius di Baghdad pada waktu itu. Guru Al-Ghazali ini bernama
Al-Juwaini (meninggal 1085 Masehi), yang telah mempersiapkannya menghadapi
mainstream teologi dari para filsuf (falasifah). Baginya tidak mungkin pergi ke
guru fiIsafat, melainkan dia cukup menyalin dari karya-karya para filsuf
seperti Ibnu Sina, dan lain-lain, dan melalui kajiannya yang mendalam secara
otodidak, agaknya memberikan pemikiran-pemikiran filsafat yang cerdas. Sampai-
sampai Al-Ghazali ini dapat menghasilkan telaah filsafat Ibnu Sina dalam
karyanya yang berjudul Maqasid al-Falasifah. Dalam karyanya ini Al-Ghazali
mempertimbangkan sesuatu yang lebih jelas ketimbang yang diperkembangkan oleh
Ibnu Sina sendiri. Sungguhpun demikian, setelah menuliskan karya yang, dia juga
menulis penolakannya terhadap ajaran-ajaran filsafat itu dalam Tahafut
al-Falasifah.
Dalam
buku yang terakhir ini dia menyatakan bahwa ada tiga pendapat para filsuf yang
menjadikan mereka kafir dan tidak muslim lagi. Tiga pendapat para filsuf ini
adalah penolakan mereka terhadap adanya kebangkitan jasmani karena yang ada
hanyalah kebangkitan ruhani di akhirat nanti; pandangan bahwa Allah hanya
mengetahui hal-hal besar yang bersifat universal dan tidak mengetahui fenomena
kejadian-kejadian alam yang kecil-kecil; dan pendirian bahwa alam ini kekal
adanya karena berasal dari yang kekal abadi. Masih ada lagi tujuh pandangan
para filsuf yang dapat dikatakan sebagai bid'ah. Al-Ghazali juga tertarik
kepada petunjuk yang luas sampai ke ilmu-ilmu falasifah, seperti Matematika,
yang menurutnya para filsuf tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan
dapat diakui kebenaran ilmu matematika ini. Secara khusus dia menuliskan
pendahuluan buku-buku teksnya tentang logika Aristotelian, dengan contoh-contoh
yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ulama Kalam dalam Islam.
Salah
satu akibat dari karya Al-Ghazali ini adalah adanya beberapa risalah ilmu Kalam
pada bagian-bagian yang ekstensif sifatnya berkenaan dengan
pendahuluan-pendahuluan filsafi terkemudian. Akibat pandangan ini dapat
diilustrasikan pada kontribusi kandungan-kandungan isinya pada salah satu
risalah yang paling masyhur dalam bukunya yang berjudul Mawaqif buah pena
Al-Iji (meninggal 1355 Masehi). Lalu didapati pula komentarnya yang ditulis
oleh Al-Jurjani (meninggal 1413 Masehi) yang terdiri dari 4 jilid besar- besar
dari masing-masing jilidnya. Bagian karyanya dibagi
sebagai berikut: obyek dan metodologi Ilmu Kalam; wujud dan non-wujud (makhluk
dan bukan makhluk), wujud yang mungkin dan wujud yang wajib, sebab dan akibat,
dan lain-lain; aksiden, kualitas, kuantitas, hubungan-hubungan, dan lain- lain;
substansi, tubuh, jasmani, jiwa, ruh; makhluk, unitas, sifat dan perbuatan
mutlak Tuhan; kenabian; alam akhirat dan materi-materi "tradisional"
yang lain. Kalau demikian, hampir dua-tiga risalah dan komentar yang
membicarakan tentang pengenalan filsafat menuju teologi yang tepat. Sesuatu hal
yang mirip segera nampak pada buku Muhassal karya Fakhr al-Din al-Razi (meninggal
1210 Masehi) ,walaupun dalam kasus ini pengenalan-pengenalan tersebut hanya
menduduki tempat sekitar separuh bukunya. Beberapa
risalah yang lain yang hampir mirip adalah yang diuraikan oleh Louis Gardet dan
Pere Anawati dalam pengenalannya terhadap teologi Islam.
Terhadap contoh-contoh karya tersebut, timbul masalah penting: apakah benar
penolakan kepada falasifah itu sebagai penolakan paripurna terhadap pemikiran
Yunani oleh para ulama Kalam? Ataukah kita tidak boleh mengatakan bahwa mereka
sebenarnya mengakui pemikiran Yunani dan mengadaptasikan dengan
kebutuhan-kebutuhannya sendiri? Kendatipun demikian, sebelum memutuskan masalah
ini yang akan membantu untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada umat
Kristen barat.
Kritik
Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibnu Sina ini bukannya menghentikan
pemikiran filsafat di tengah kaum muslimin sama sekali. Di timur ada nama yang
tidak semasyhur Ibnu Sina yang meninggal pada tahun 1037 Masehi lebih tua dua
puluh tahun sebelum Al-Ghazali lahir, melainkan teosofi filsafat terus mengembangkan
dirinya sampai masa kini. Di pihak lain, Islam di barat abad kedua puluh ini
dapat melahirkan falasifah Arab terbesar, Ibnu Rushd atau Averroes (meninggal
1198 Masehi). Ibnu Rushd ini adalah seorang ahli hukum Islam terpelajar dan
sebagian besar hidupnya diabdikannya sebagai seorang hakim. Akan tetapi, Ibnu
Rushd juga adalah seorang yang amat mendalami ilmu-ilmu pengetahuan Yunani.
Ibnu Rushd terutama mempelajari karya pemikiran Aristotle dan komentar-komentar
atas sebagian karya-karya Aristotle. Ibnu Rushd juga mengoreksi beberapa
kesalahan interpretasi Neoplatonik di antara para filsuf belakangan. Dia juga
menulis penolakannya kepada buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah
yang ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam bukunya Tahafut al- Tahafut. Selain kemasyhurannya, Ibnu Rushd tidak mempunyai
pengganti-penggantinya dalam Islam di barat dan secara tegas sedemikian dikenal
di timur. Sekalipun Ibnu Rushd ini adalah seorang hakim, dia mendapat tekanan
dari para ulama ahli Hadits pada masa hidupnya. Barangkali prestasi paling
besar yang pernah dicapainya adalah pengenalan kembali pemikiran Aristoteles yang
asli ke bangsa Eropa barat.