Sebelas
November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku
Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya.
Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya,
akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.
Antawirya
dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar
mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih
dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya
berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat
Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan
sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya.
Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun.
Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".
Antawirya
kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat
disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak
dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih
Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.
Pada
1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13
tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai
Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda.
Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro.
Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif
Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi
raja. Makin berkuasalah Danurejo.
Saran-saran
Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah
berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa
pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro
mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga
untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan
Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat
ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.
Pertempuran
pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran
Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah
berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur
Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang
tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara
Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.
Dalam
pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak
pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan
bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir
mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di
pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang
menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.
Markas
Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah
Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati
pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang
Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van
Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso,
Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius
serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.
Murdoningrat
dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di
Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan
Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng
Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826.
Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot
Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur.
Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur
sesama warga.
Belanda
mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk
sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi
mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua
orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten
pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di
Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro
lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro
disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah
Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu
di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan
upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar
mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka
bersendikan agama Islam."
De
Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro
dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia
diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun
1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro
menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357
halaman.
Pergolakan
rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik
warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian
mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak
pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro
seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara
terbatas.