Utsman
bin Affan wafat. Warga Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Basrah dan Kaufah
bersepakat memilih Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah baru. Menurut riwayat,
Ali sempat menolak penunjukan itu . Namun semua mendesak untuk memimpin umat.
Pembaitan Ali pun berlangsung di masjid Nabawi. Ali adalah salah seorang
sahabat paling dekat dengan Rasul. Sewaktu kecil, Muhammad diasuh oleh Abu
Thalib -pamannya yang juga ayah Ali. Setelah berumah tangga dan melihat Abu
Thalib hidup kekurangan, Muhammad memelihara Ali di rumahnya. Ali dan Zaid bin
Haritsah -anak angkat Muhammad-adalah orang pertama yang memeluk Islam, setelah
Khadijah. Mereka selalu salat berjamaah. Kecerdasan dan keberanian Ali sangat
menonjol di lingkungan Qurais. Saat anak-anak, ia telah menantang tokoh-tokoh
Qurais yang mencemooh Muhammad. Ketika Muhammad hijrah dan kaum Qurais telah
menghunus pedang untuk membunuhnya, Ali tidur di tempat tidur Muhammad serta
mengenakan mantel yang dipakai Rasul itu.
Di
medan perang, dia adalah petempur yang sangat disegani. Baik di perang Badar,
Uhud hingga Khandaq. Namanya semakin sering dipuji setelah ia berhasil menjebol
gerbang benteng Khaibar yang menjadi pertahanan terakhir Yahudi. Menjelang
Rasul menunaikan ibadah haji, Ali ditugasi untuk melaksanakan misi militer ke
Yaman dan dilakukannya dengan baik. Mengenai kecerdasannya, Muhammad pernah
memuji Ali dengan kata-kata: "Saya adalah ibukota ilmu dan Ali adalah
gerbangnya." Kefasihan bicara Ali dipuji oleh banyak kalangan. Rasul
kemudian menikahkan Ali dengan putri bungsunya, Fatimah. Setelah Fatimah wafat,
Ali menikah dengan Asmak -janda yang dua kali ditinggal mati suaminya, yakni
Ja'far (saudara Ali) dan khalifah Abu Bakar. Sebagai khalifah ia mewarisi
pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan politik akibat pembunuhan
Utsman. Keluarga Umayah menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20
gubernur yang ada, hanya Gubernur Irak -Abu Musa Al-Asyari-yang bukan keluarga
Umayah. Mereka menuntut Ali untuk mengadili pembunuh Utsman. Tuntutan demikian
juga banyak diajukan tokoh netral seperti janda Rasulullah -Aisyah, juga Zubair
dan Thalhah -dua orang pertama yang masuk Islam seperti Ali.
Beberapa
orang menuding Ali terlalu dekat dengan para pembunuh itu. Ali menyebut
pengadilan sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. Ia bermaksud
menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu, ia mendesak Muawiyah bin Abu Sofyan
-Gubernur Syam yang juga pimpinan keluarga Umayah-untuk segera berbaiat
kepadanya. Muawiyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Ustman dihukum. Ali siap
menggempur Muawiyah. Sejumlah sahabat penting seperti Mughairah, Saad bin Abi
Waqas, Abdullah anak Umar menyarankan Ali menunda serangan itu. Begitu juga
sepupu Ali, Ibnu Abbas. Tapi Ali berkeras, sehingga Ibnu Abbas mengeritiknya:
"Anda ini benar-benar panglima perang, bukan negarawan."
Ali
segera menyusun pasukan. Ia berangkat ke Kufah, wilayah yang masyarakatnya
mendukung Ali. Ia tinggalkan ibukota Madinah sepenuhnya, bahkan seterusnya,
untuk langsung memimpin perang. Hal yang tak lazim dilakukan para pemimpin
negara. Setahun sudah berlalu, pembunuh Ustman belum ditindak. Langkah ini
makin mengundang kritik dari kelompok Aisyah. Aisyah, Thalhah dan Zubair lalu
memimpin 30 ribu pasukan dari Mekah. Pasukan Ali -yang semula diarahkan ke
Syam- terpaksa dibelokkan untuk menghadapi Aisyah. Terjadilah peristiwa
menyedihkan itu: perang antar Muslim.
Aisyah
memimpin pasukannya dalam tandu tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga
mengendarai unta. Maka perang itu disebut Perang Unta. Sekitar 10 ribu orang
tewas dalam perang sesama Muslim ini. Aisyah tertawan setelah tandunya penuh
anak panah. Zubair tewas dibunuh di waha Al-Sibak. Thalhah terluka di kaki dan
meninggal di Basra. Kesempatan pun
dimanfaatkan oleh Muawiyah. Ia menggantungkan jubah Ustman yang berlumur darah,
serta potongan jari istri Ustman, di masjid Damaskus untuk menyudutkan Ali.
Pihaknya bahkan menuding Ali sebagai otak pembunuhan Ustman. Muawiyah berhasil
menarik Amru bin Ash ke pihaknya.
Amru
seorang politisi ulung yang sangat disegani. Ia diiming-imingi menjadi Gubernur
Mesir. Abdullah, anak Amru yang saleh, menyarankan ayahnya untuk menolak ajakan
Muawiyah. Namun Muhammad -anaknya yang suka politik-menyarankan Amru mengambil
kesempatan. Amru tergoda. Ia mendukung Muawiyah untuk menjadi khalifah
tandingan. Kedua pihak bertempur di Shiffin, hulu Sungai Eufrat di perbatasan
Irak-Syria. Puluhan ribu Muslim tewas. Di pihak Ali, korban sebanyak 35 ribu di
pihak Muawiyah 45 ribu. Dalam keadaan terdesak, pihak Muawiyah bersiasat. Atas
usulkan Amru, mereka mengikat Quran di ujung tombak dan mengajak untuk
"berhukum pada Quran."
Pihak
Ali terbelah. Sebagian berpendapat, seruan itu harus dihormati. Yang lain
menyebut itu hanya cara Muawiyah untuk menipu menghindari kalah. Ali mengalah.
Kedua pihak berunding. Amru bin Ash di pihak Muawiyah, Abu Musa -yang dikenal
sebagai seorang saleh dan tak suka politik- di pihak Ali. Keduanya sepakat
untuk "menurunkan" Ali dan Muawiyah. Namun Amru kembali mengingkari
kesepakatannya. Situasi yang tak menentu itu membuat marah Hurkus -komandan
pasukan Ali yang berasal dari keluarga Tamim. Hurkus adalah seorang yang lurus
dan keras. Caranya memandang masalah selalu "hitam putih". Karena
cara berpikirnya yang sempit, ia pernah menggugat Rasulullah. Sekarang ia
menganggap Muawiyah maupun Ali melanggar hukum Allah. "Laa hukma illallah
(tiada hukum selain Allah)," serunya. Pelanggar hukum Allah boleh dibunuh,
demikian pendapatnya. Kelompok Hurkus segera menguat. Orang-orang menyebut
kelompok radikal ini sebagai "khawarij" (barisan yang keluar). Mereka
menyerang dan bahkan membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya.
Pembunuhan berlangsung di beberapa tempat. Mereka berpikir, negara baru akan
dapat ditegakkan jika tiga orang yang dianggap penyebab masalah, yakni Ali,
Muawiyah dan Amru dibunuh.
Hujaj
bertugas membunuh Muwawiyah di Damaskus, Amru bin Abu Bakar membunuh Ambru bin
Ash di Mesir dan Abdurrahman membunuh Ali di Kufah. Muawiyah yang kini hidup
dengan pengawalan ketat bagai raja hanya terluka. Amru bin Abu Bakar salah
bunuh orang imam yang menggantikan Amru bin Ash. Di Kaufah, Ali tengah
berangkat ke masjid ketika diserang dengan pedang. Dua hari kemudian ia wafat.
Peristiwa itu terjadi pada Ramadhan 40 Hijriah atau 661 Masehi. Berakhirlah
model kepemimpinan Islam untuk negara yang dicontohkan Rasulullah. Muawiyah
lalu menggunakan model "kerajaan" pemerintahan negara Islam. Ibukota
pun dipindah dari Madinah ke Damaskus.