Perang
Salib (perang suci) ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru
kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh
kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa
Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen
yang hendak berziarah ke sana. Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa
penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa
Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan
15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr,
Perancis dan Armenia.
Peristiwa
besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen
terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu
bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H
dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk
menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana.
Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali
keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI.
Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga
periode.
1. Periode Pertama
Pada
musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis
dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara
Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh
kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea
dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan
Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat
menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond
dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15
Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey.
Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.
Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124
M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
2. Periode Kedua
Imaduddin
Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah,
dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan
oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea
pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan
Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus
Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis
Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk
merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh
Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad
II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil
mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan
Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M.
Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun
berakhir.
Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib.
Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh
Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan
Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M.
Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil
merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi
mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M,
dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan
Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang
pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode Ketiga
Tentara
Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka
berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil
menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik
al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina,
Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim
bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat
direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik
al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti
Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang
oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.
Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari
sana.
Walaupun
umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun
kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam
menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi
malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.