Masa
disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah
mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai
menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah
kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin
roda pemerintahan. Berakhirnya kekuasaan
dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode
kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah
kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri.
Ada diantaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil.
Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di
Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang
Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang
berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru
dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana
terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama,
hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila
khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping
kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan antar Bangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah
berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut
Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia
daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan
Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan).
Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah
tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab
beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras)
istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam. Selain
itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki
dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia
atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan
mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena
jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik
mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah
orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana
diuraikan terdahulu.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh
antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah
khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat
melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian
negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan
politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para
khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa
perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik
tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di
kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada
saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran
Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.
Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan
penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela
dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah
berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus
tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua
dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Konflik yang
dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq
atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam.
Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan
salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah
ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai
mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861),
aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali
naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah
yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran
Mu'tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun pada masa dinasti
Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai
dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh
subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi
ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang
tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon
sampai sekarang.
4. Ancaman dari Luar
Apa
yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode
dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan
Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk
ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan
melibatkan diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh Salib juga terlihat dalam
penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara
Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang
Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan
orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl
al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki Yerussalem.