Sebagian orang kurang memahami antara ibadah dan adat sehingga
rancu dalam memahami kaidah para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah hukum asal
adat atau muamalah itu boleh sampai ada dalil yang melarang. Sedangkan untuk
perkara ibadah, hukum asalnya haram sampai ada dalil yang
mendukungnya. Karena kurang paham akan hal ini, jadi ada yang seenaknya
memasukkan suatu amalan yang sebenarnya berisi ibadah para masalah adat, sampai
ia mengatakan, “Kenapa dilarang? Kan asalnya boleh?”.
Beda Antara Adat dan Ibadah
Ibadah kembali pada penjagaan agama dan ingin meraih pahala di sisi
Allah seperti iman dan shalat. Adat kembali pada penjagaan diri, harta atau
kehormatan seperti jual beli dan makanan.
Ibadah adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba seperti
disebutkan dalam hadits Mu’adz, “Hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba
adalah hendaklah meteka menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya
dengan sesuatu apapun” (Muttafaqun’alaihi). Adapun hak adat adalah hak
hamba yang mengandung mashlahat bagi mereka. Ibadah dibagun di atas tawqif (dalil)
dan dicukupkan apa yang ada dalam dalil. Sedangkan adat terdapat kebebasan
untuk melakukannya selama tidak ada dalil yang melarang.
Ibadah tidak mungkin bagi akal memikirkan maksudnya, seperti kita
tidak perlu bertanya mengapa shalat Dhuhur empat raka’at. Sendangkan adat
ditunjukkan oleh akal manakah yang mashlahat. (Diringkas dari penjelasan
Syaikh Dr. Muhammad bin Husain Al-Jizaniy dinukil dari Multaqo Ahli Hadits).
Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tahlilan
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan
Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/ mubaligh yang berjumlah sembilan, yang
popular dengan sebutan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan
sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa
Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam
di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat
kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang
telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menanggulani masalah
adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua
aliran yaitu Aliran Giri dan Aliran Tuban. Aliran Giri adalah
suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung
Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran
ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran
Budha, Hindu, keyakinan Animisme dan Dinamisme. Orang yang dengan suka rela
masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat
lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya
aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM
PUTIH.
Adapun aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M.
Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini moderat, mereka membiarkan dahulu
terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang
sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mareka mau memeluk Islam.
Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari Syari’at Islam. Maka para wali
aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, Animisme dan Dinamisme
diwaranai keIslaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih
banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang radikal. Aliran ini sangat
disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan Syari’at Islam dengan
agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran ISLAM ABANGAN.
Dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana.
Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian
untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati
orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar
dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryajna dan
Somayajna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun
Hafiryajna untuk semua orang. Hafiryajna terbagi menjadi empat bagian yaitu:
Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur Masya, dan Aghrain. Dari empat macam
tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang
sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara
menghormati roh-roh yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia
setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia
ada yang menjadi dewa, manusia, binatang, dan bahkan menjelma menjadi batu,
tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup,
dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada
hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah
keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara
saji-sajian dan bacaaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon
kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang
baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan Aghnideya, yaitu
menyalakan api suci (membakar kemenyan untuk kontak dengan para dewa dan roh si
fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian
berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa,
kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantera-mantera dan nyanyian-nyanyian suci
oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Pada masa para wali di bawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan
musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang
telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kalijaga selaku ketua aliran
Tuban mengusulkan kepada majelis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit
dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur
keIslaman.
Usulan tersebut menjadi masalah serius pada waktu itu sebab para
ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya
sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mendengar usulan Sunan
Kalijaga yang penuh diplomatis itu,
Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi
ketua sidang/ musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
“Apakah tidak dikhawatirkan di kemudian hari, bahwa adat istiadat
lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian
nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”. Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus
sebagai berikut: “Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga”.
Sekalipun Sunan Ampel , Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak
menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan
Kalijaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mualai saat
itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu
yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban
yang kemudian dikenal dengan nama nelung dina, mitung dina, matang puluh,
nyatus dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti
itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan Animisme dan Dinamisme serta
upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran murid
Sunan Kalijaga sendiri yang bernama Sekh Siti Jenar merasa mendapat peluang
yang sangat leluasa untuk mensinkritis-mekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari
hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran klenik/ aliran kepercayaan yang berbau
Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut“Manunggaling Kaula Gusti”
yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri
kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah
dilakukan.
Sekalipun Sekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi
murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka
kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang. Keadaan umat Islam setelah
para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Para
ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam khususnya dan
masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat
kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam
mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak
berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh ulama aliran Giri.
Seiring berjalannya waktu, keadaan Islam pada masa itu semakin
tidak sesuai dengan Islam yang sebenarnya, disamping itu pula tidak ada satu
ulama pun yang muncul untuk mengikis habis adat istiadat lama yang melekat pada
Islam terutama upacara Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul
seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat
kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyarakat Indonesia
telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah, dimana-mana marajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat
Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis segala
adat istiadat Budha, Hindu, Animisme dan Dinamisme yang melekat pada Islama,
akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat
Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin
ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu
sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak
setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah
diwarnai keIslaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban
dahulu, yang antara lain Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang
terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan
nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama di Jawa Timur mendirikan organisasi yang
bernama “Nahdlhotul Ulama” (NU). Pada muktamarnya di Makasar, NU mengeluarkan
suatu keputusan, antara lain: “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus
diawali dengan bacaan tahlil yang sistematikanya seperti dikenal sekarang
dimasyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh warga
Nahdiyyin, sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan
tahlil, termasuk acara kematian. Lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang
diwarnai keIslaman yang pada dizaman para wali dikenal dengan sebutan upacara
nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu berubah nama menjadi TAHLILAN
sampai sekarang.