Proses sejarah
masa lalu tidak dapat dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam
terpengaruhi oleh filsafat Yunani. Para filosof Islam banyak mengambil
Pemikiran Aristoteles dan mereka banyak tertarik terhadap pikiran-pikiran
Platinus. Sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof
Islam.
Kedatangan para
filosof Islam telah banyak terpengaruhi oleh orang-orang sebelumnya dan berguru
kepada filosof Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-21 ini, banyak hal
berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetapi berguru bukan
berarti mengekor atau mengutip, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa filsafat
Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, karena filsafat Islam
telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pemikiran.
Seorang filosof
berhak mengambil sebagian pandangan orang lain, tetapi hal itu tidak
menghalanginya untuk membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Ibnu Sina
misalnya, walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles tetapi ia
mempunyai pandangan tersendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.
Filosof-filosof
Islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan
filosof-filosof lain, sehingga salah jika kita mengabaikan berbagai pengaruh
kondisi ini dalam pemikiran dan teori-teori mereka. Jadi, dunia Islam mampu
menyusun suatu filsafat untuk dirinya sendiri yang berjalan seiring
dengan nilai pokok agama dan kondisi sosialnya, dan tidak ada sesuatu apapun
yang dapat menolong untuk mengenal dan mengetahui hakikat filsafat ini, kecuali
harus mempelajari dan
menjelaskannya.
Oleh karenanya,
dalam hal ini penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana hubungan filsafat Islam
dengan filsafat Yunani, tentunya dilihat dari aspek sejarah hubungan antara
filsafat Islam dengan filsafat Yunani tersebut.
A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam
1.
Pengertian
Filsafat
Istilah
filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
1)
Segi
semantik: Perkataan filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari
bahasa Yunani, Philosophia, yang berarti Philos: cinta, suka (loving), dan
Sophia: pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi Philosophia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang
berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
Philosopher. Dalam bahasa Arabnya Failasuf. Pecinta pengetahuan ialah orang
yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau dengan perkataan
lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2)
Segi
praktis: dillihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam fikiran
atau alam berpikir. Berfilsafat berarti berpikir. Namun tidak semua berpikir
berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa: setiap manusia adalah
filosof. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi
secara umum semboyan ini tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir
adalah filosof.
Filosof hanyalah orang
yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan
memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat
adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala
sesuatu.
Karena luasnya ruang
lingkup pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak diantara
para ahli filsafat memberikan definisinya secara beda-beda. Berikut
definisi-definisi ilmu filsafat dari filosof barat dan timur:
a.
Plato
(427 SM-347 SM) seorang filosof Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru
Aristoteles mengatakan, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang
ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
b.
Aristoteles
(382 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas
segala benda).
c.
Marcus
Tulius Cicero (106 SM-43 SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan
filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha
untuk mencapainya.
d.
Al-Farabi
( Wafat 950 M), Filosof Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan bahwa
filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki
hakikat yang sebenarnya.
e.
Immanuel
Kant (1724-1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan bahwa
filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencangkup di
dalamnya persoalan.
f.
Prof.
Dr. Fuad Hasan, Guru Besar Psikologi UI, menyimpulkan: filsafat adalah suatu
ikhtiar untuk berfikir radikal, artinya mulai dari radiknya suatu gejala, dari
akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajakan yang
radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang
universal.
Dari berbagai definisi tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah ilmu yang menyelidiki secara
mendalam tentang hakikat sesuatu, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu
seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
2.
Pengertian
Filsafat Islam
Perjalanan waktu yang panjang
mengantarkan kepada konvensi antar ilmuwan bahwa filsafat Islam memiliki
pengertian sendiri karena ia memiliki sumber utama, yakni Al-Qur’an. Atas
kenyataan ini, beragam definisipun mengalir dari berbagai tokoh tentang
pengertian filsafat Islam. Disamping penyebutan istilah, filsafat Islam
atau filsafat Arab.
Sebelum sampai kepada definisi filsafat
Islam, terlebih dahulu penulis mencoba untuk menguraikan beberapa makna atau
istilah-istilah filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan Muslim. Banyak
dikalangan para ahli berbeda dalam menamakan filsafat Islam. Apakah itu Filsafat
Islam atau Filsafat Arab, atau ada nama lain dari kedua istilah
tersebut.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut
hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran
filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam
bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan filsafat Arab ialah bahwa filsafat
tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan
menunjukkan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat, dan kesemuanya telah
ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut.
Menurut Mustafa Abdur Razik pemakaian
kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Hal ini
dikuatkan oleh Dr. Fuad Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengarang-pengarang Arab
menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat
hakim di tempat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan
bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada di atas kata filsafat.
Al Farabi berkata: failasuf adalah orang
yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari
umurnya mencari hikmah yaitu mema’rifati Allah yang mengandung pengertian
mema’rifati kebaikan. Ibnu Sina mengatakan hikmah adalah mencari kesempurnaan
diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala
hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kemampuan manusia.
Kemudian ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang
berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh atau rapi, dan bermanfaat dalam
menggerakkan amal pekerjaan.
Demikian pula Nurcholis Madjid
menyatakan bahwa hikmah itu berarti ilmu pengetahuan, filsafat, kebenaran,
bahkan merupakan rahasia Tuhan yang tersembunyi yang hanya biasa diambil
manfaat dan pelajaran pada masa dan waktu yang lain.
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan
dengan filsafat adalah yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang
bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat
praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah pada pengertian filsafat Islam
yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustafa Abdur Razik,
Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan
Negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa pemiliknya. Pengertian ini
diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang
telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh
Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Filsafat Islam adalah filsafat yang
diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan objeknya
tertentu, yaitu hukum Islam. Oleh karena itu, filsafat Islam adalah sifat yang
menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga didapatkan
keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara Islam dan
sebagai alatnya.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat
ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Menyimak dari
berbagai definisi diatas, tampaknya makna filsafat pada filsafat Islam identik
dengan makna al-hikmah yang dikenal dalam Islam. Hal itu tidak bisa dihindari
karena perbedaan istilah, tatapi maknanya tetap sama.
B. Kontak Pertama Kaum
Muslimin dengan Filsafat Yunani
1.
Penaklukan
Alexander dan Perkembangan Pemikiran Yunani di Timur Tengah
Perkembangan pemikiran Yunani di kawasan
Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari penaklukkan yang dilakukan Alexander
yang Agung terhadap kawasan tersebut. Ia dapat menguasai Arbela, sebelah Timur
Tigris pada tahun 331 yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Darius.
Kedatangannya ke daerah tersebut tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan
Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia.
Dari segi kultural, ia sendiri berusaha mengenakan pakaian secara Persia, dan
orang-orang Persia sendiri banyak pula yang diangkat menjadi pengawal-pengawalnya.
Ia kawin dengan Statira, anak Darius.
Setelah Alexander meninggal,
perkembangan selanjutnya terdiri dari Kerajaan Ptolemeus di mesir, dengan
Alexandria sebagai ibukotanya dan kerajaan Seleucid (Seleucus) di Asia dengan
kota-kota pentingnya seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan
Bactra di Persia sebelah Timur. Ptolemus dan Seleucus berusaha meneruskan
politik Alexander untuk menyatukan kedua peradaban Yunani dan Iran. Sungguhpun
usaha itu tidak berhasil, namun kebudayaan dan peradaban Yunani meninggalkan
bekas di daerah-daerah ini. Bahasa administrasi yang dipakai disana ialah
bahasa Yunani. Di Mesir dan Siria bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya
Islam ke dalam kedua daerah itu, dan baru ditukar dengan bahasa Arab pada abad
VII Masehi oleh Khalifah Bani Umayyah A. Malik Ibn Marwan (685-705).
Alexandria, Antioch dan Bactra kemudian menjadi pusat ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani. Pada Abad III Masehi pusat-pusat kebudayaan Yunani ini
ditambah dengan kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad
(didirikan di tahun 762 M). Di sana sewaktu kota itu masuk ke dalam wilayah
kekuasan Islam, telah terdapat suatu akademi dan rumah sakit.
Alexandria merupakan kota yang berfungsi
sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual yang penting dijaman akhir
filsafat Yunani Kuno. Menurut keterangan yang diberikan oleh De Lacy O’leary,
bahwa di kota ini terdapat bangunan musium yang dilengkapi dengan perpustakaan
yang kemudian ia berkembang di zaman Philadelphia (285-247 SM) menjadi
perpustakaan terbesar di dunia dalam bidang pemikiran Yunani.
Dari uraian singkat tersebut dapat
disimpulkan bahwa penaklukkan Alexander yang Agung di kawasan Timur Tengah
ternyata membawa pengaruh terhadap perkembangan pemikiran Yunani di daerah yang
ditaklukkannya itu. Perkembangan pemikiran Yunani tersebut terlihat dari
munculnya berbagai pusat atau lembaga pengkajian filsafat Yunani. Semua
kota yang menjadi tempat perkembangan pemikiran Yunani ini kemudian dikuasai
oleh Islam.
2.
Peranan
Khalifah Abbasiyah dalam Masuknya Pemikiran Yunani ke Dunia Islam
Ketika Khalifah Bani Abbas Al Mansur
sakit di tahun 765 M, dinasehati oleh menterinya Khalid Ibn Barmak (Seorang
Persia), kepala rumah sakit Jundishapur agar memanggil Girgis Ibn Bukhtyishu
untuk mengobatinya. Khalid Ibn Barmak sendiri adalah berasal dari Bactra, dan
dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan serta filsafat, dan
condong pada paham Mu’tazilah.
Selanjutnya Harun Al Rasyid menjadi
Khalifah Abbasiyah pada tahun 786 M. Sebelumnya ia pernah belajar di Persia di
bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak. Dengan demikian ia banyak dipengaruhi
oleh kegemaran keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Pada
zaman pemerintahan Harun Al Rasyid inilah penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan
Yunani ke dalam bahasa Arab mulai dilakukan.
Peranan penerjemahan dalam memasukkan
pemikiran Yunani ke dalam Islam itu telah banyak disebut oleh para ahli
sejarah. De Lacy O’eary misalnya, mengatakan bahwa orang-orang Islam menguasai
filsafat Yunani adalah melalui kegiatan penerjemahan dan pensyarahan bahasa
Yunani, dan kegiatan ini banyak mendapat bantuan dari orang-orang Suryani.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebagian besar karya ilmu-ilmu populer ditemui
oleh orang Islam melalui dorongan dari orang-orang Kristen Nestoria, khususnya
para penerjemah dari Siria. Melalui saluran ini sebagian besar ilmu pengetahuan
Yunani seperti ilmu pengetahuan kealaman, matematika astronomi, geografi dan
kedokteran, dapat dijumpai orang-orang Islam. Khususnya dalam bidang kedokteran,
sumbangan yang besar diberikan oleh Akademi Jundishapur yang dipimpin oleh
dokter-dokter Yahudi dan Kristen.
Melalui kegiatan penerjemahan itu para
cendikiawan Muslim dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengeteahuan dan
filsafat, dan mereka berusaha menambahkan kedalamnya hasil-hasil penyelidikan
yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran
mereka dalam lapangan filsafat. Dengan demikian tidaklah tepat pendapat
sebagian penelitian Barat yang cenderung memperkecil peranan kaum Muslimin,
dimana mereka menganggap bahwa kaum Muslimin hanyalah sebagai penyalin,
penerjemah, atau paling tidak sebagai penyarah dan komentator.
Anggapan ini dibantah oleh George Sarton
yang pendapatnya dikutip oleh Dr. Effat al-Sharqawi. Beliau mengatakan bahwa
pendapat demikian adalah keliru. Tidak ada kretifitas yang lebih besar dari
kehausan yang mendominasi perasaan tokoh-tokoh pemikir Muslim akan ilmu
pengetahun. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kaum muslimin setelah mengenal Khazanah
Yunani segera berusaha mengkaji, memberi komentar dan menjelaskannya. Mereka
mengemukakan analis kritik dan polesan Islami terhadap pemikiran Yunani itu.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa
keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika dijumpai oleh kaum Muslimin tengah
dalam keadaan mundur , bahkan hampir hancur, karena ditekan dan diabaikan oleh
para penguasa saat itu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani menemukan
penyelamatannya yang mampu membangkitkan kembali pokok-pokoknya yang lama dan
mengungkapkan subtansi-subtansinya dengan uraian yang orisinil pada orang
Islam, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd. Selain itu, kaum Muslimin juga
berusaha mengkompromikan antara filsafat dan agama dengan cara yang adil,
seimbang dan rasional. Lebih jauh lagi seringkali sumbangan sumbangan kaum
Muslimin itu lebih mendalam dan lebih tinggi peringkatnya daripada sumbangan
yang diberikan oleh kaum Iskandariah dan lainnya dari filosof Hellennistik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pada masa khalifah Abbasiyah adalah awal mula diterjemahkannya naskah-naskah
ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab. Sehingga lahirlah sejumlah Filosof Muslim
terkemuka dikalangan umat Islam. Kemudian ilmu filsafat dari para Filosof
Muslim inilah yang dikenal dengan Filsafat Islam.
C. Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran
ilmu Filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan
naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak
masa klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar muslim. Dunia
Islam belahan timur yang berpusat di Bagdad, Irak lebih dahulu melahirkan
filosof muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba,
Spanyol.
Memperkuat pernyataan diatas, Ahmad Salabi
dan Louis Ma’luf menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu
filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah
Abbasiyah pertama (132-232 H / 750-847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia Islam
melalui penerjemahan dari buku-buku Filsafat Yunani yang telah tersebar di
daerah-daerah Laut Putih seperti Iskandariah, Anthakian, dan Harran. Terlebih
pada masa Al-Makmun yang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir,
yang berkuasa antara 198-218 H / 813-833 M dan mengadakan hubungan kenegaraan
dengan raja-raja Romawi, Bezantium yang beribu kota di Konstantinopel, yang
juga dikenal dengan sebagai kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota
ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa
Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan uraian dan penjelasan
seperlunya. Para cendikiawan ketika itu berusaha memasukkan Filsafat Yunani
sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk
melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.
Tentu saja, aktifitas para filosof di
atas bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, kecenderungan menafsirkan
Al-Qur’an secara filosofis besar sekali. Al-Kindi Misalnya, yang dikenal
sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk memahami
Al-Qur’an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan
filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang
mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan
makna yang lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari,
berkembang-menyusutnya bulan, pasang-surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan
ini merupakan seruan untuk berfilsafat. Seperti halnya Al Kindi, Ibn Rusyd pun
berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibn Rusyd menyatakan bahwa tujuan dasar
filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal
ini filsafat sesuai dengan agama, sebab tujuan agama pun tidak lain adalah
menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang
benar bagi kehidupan yang praktis.
Itulah sebabnya, Nurcholis Madjid
menyatakan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran
Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun
mempunyai dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat
banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia
pemikiran Yunani.
Uraian di atas terlihat jelas bahwa di
satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan
interaksi dengan dunia Yunani, seperti yang telah disebutkan oleh Nurcholis
Madjid, yang menyatakan bahwa pemakaian kata “filsafat” di dunia Islam
digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-teks keagamaan
Islam, seperti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh
Nurcholis Madjid bahwa orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles
dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan
itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Cukup menarik bahwa sebagian
orang Islam begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai
ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar atau sedikit sekali mengetahui
adanya unsur-unsur Neoplatonis di dalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan
antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap falsafah Islam
itu karena memang terkait satu sama lainnya.
Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan
melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti
yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham tasawuf. Ibnu Sina
misalnya, dapat dikatakan sebagai seorang Neo-platonis disebabkan ajarannya
tentang mistik perjalanan rohani manuju Tuhan seperti yang dumuat dalam
kitabnya, Isharat. Memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak
mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi, dan yang paling banyak
menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan
diri mereka Ikhwan Ash-Shafa.
Demikian pula kita sepenuhnya dapat berbicara
tentang pengaruh besar Aristoteles, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum
Muslim banyak memanfaatkan metode berfikir logis menurut logika formal
(silogisme) Aristoteles ini, yaitu yang lebih dikenal dengan ilmu mantiq
dikalangan umat Islam.
Akan tetapi mustahil melihat filsafat
Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat
variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu
pengetahuan, dan karena itu mereka juga membangun berbagai teori tentang
kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat
An-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan
sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanya dalam Hellenisme, kecuali
dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para Filosof Muslim juga membahas
masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan
Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan,
dan seterusnya yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan
sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya
hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar
dalam penelusuran berfikir yang ditopang sejatinya oleh Al-Qur’an sejak dulu.
Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur’an secara Azali
telah ada, maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya
sudah ada di dalam Al-Qur’an sebagai desain besar Allah Swt. Akan tetapi,
persoalan yang muncul adalah Orisinilitas filsafat Islam, apakah ia mengekor
atau pelopor.
Tidak adanya orisinilitas yang
mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik tidak perlu mengherankan.
Sebab para filosof klasik Islam, betapapun pengembaraan intelektualnya adalah
orang-orang yang relegius. Mungkin tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran
agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan
rekan-rekan mereka di Eropa pada masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern,
yang umumnya justru menolak atau meragukan agama. Para filosof muslim klasik
ini berfilsafat tetap karena dorongan keagamaan, malahan seringkali justru
untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena relegiusitas mereka,
pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-batas yang masih
dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri bagi mereka telah cukup rasional
sebagaimana dituntut oleh filsafat.
Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan
pula oleh Abdul Mun’im bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam
membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian orang
Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan
menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray,
“Sekarang, kita mengikuti jalannya filsafat Hellenis. Dari Yunani ia mengalir
ke dalam pengetahuan Syria Lama. Kemudian, ia berjalan dari orang-orang Syria
ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian
memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah dunia Barat”.
Sampai disini, dapat dinyatakan bahwa
hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan
penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan ke
berbagai dunia Barat.
D. Orisinilitas dan Otentisitas Filsafat Islam
Sejarawan Islam abad
pertengahan, Ibnu Khladun (w.708 H/1406 m), mengakui adanya unsur Yunani dalam
filsfat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia Arab dengan pendekatan
sosiologis. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab
sebenarnya tidak memiliki kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka
disibukkan dengan urusan pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke
dalam Islam di Barat (Andalusia), Abu Said al-Andalusi dalam kitabnya Thabaqatul
umam, ia mangatakan masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak
mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis
dalam menganalisa permasalahan. Said menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab
hanya dikenal dua orang filosof, yaitu Al-Kindi dan al-hamdani, sementara
filosof lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis said inilah yang tampaknya
di kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia
berdsarkan ras.
Dalam ranah pemikiran
kontemporer, hampir semua ajaran Islam yang menekuni bidang filsafat juga
mengakui bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban luar,
tidak saja dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa
keterpengaruhan adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun. Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban
tidak luput dari pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga
didalamnya peradaban Yunani. Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada
bentuk metode orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut.
Mustafa Abdul Raziq membuat pendekatan baru dalam meneliti orisinilitas
filasfat dalam peradaban Islam. Untuk menghasilkan konklusi yang lebih
berkesesuaian dengan realitas, ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk
terlebih dahulu meneliti sejarah tasyri’ Islam.
Pemikiran filosofis (al nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya
dimulai dalam sejarah tasyri’ tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini,
maka geneologi filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dumulai sejak munculnya
ijtihad fiqih. Ijtihad merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam
bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode
Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.
Pemikiran filosofis didunia
Arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi
sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan
banyak dukungan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur’an banyak
ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran
dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran.
Al-qur’an dan Sunnah juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk
mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah itu
sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ushul
fiqih dan Ilmu kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang
merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur’an daaaaan as-Sunnah yang
dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian ilmu
filsafat dalam Islam.
Ibrahim Madkour juga memulai
kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa
filsafat adalah fenomena generik (al-zhahirah al-insaniyyah) di mana
keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban.
Setelah itu Ibrahim Madkour juga mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing
melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat
ciri yang khas dan independen.
Secara umum ada tiga metode
yang digunakan oleh Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan otoritas
filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutaba’atu sair)
yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa
teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan
komparasi (muqaranah) antara pemikiran Islam dengan pemikiran lainnya,
baik sebelum ataupun sesudah Islam. Ketiga,
dengan membuat teori ketersambungan filsafat, dimana Islam adalah salah satu
mata rantai dari sejarah panjang filsafat.
Ibrahim Makour mengaplikasikan
tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah (teori) yang pernah
muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang kebahagiaan. Teori
kedua, tentang kenabian. Teori ketiga tentang nafs. Teori keempat, tentang
ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak.
Penelitian Ibarahim Madkour
terhadap lima teori ini mengahasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah
filsafat yang ekletis (al-tawfiq) dan sinkretis (al-ikhtiar).
Filsafat Islam bisa melakuka harmonisasi antara akal (aql) dan
periwayatan (naql), dan juga antara filsafat dengan agama. Filsafat
Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan
ruh islami. Filsafat Islam juga mampu memadukan antara karya filosof Barat
(Yunani) dengan Filsafat Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan
perhitungan. filsafat Islam juga mampu memadukan antara Aristoteles dan plato.
Filsafat Islam menurut Ibrahim
Madkour adalah filsafat yang progresif dan mampu melampaui para periode
sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu
memanfaatkan warisan (legacy) peradaban-peradaban kuno, Islam mampu
membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya.
Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad)
mereka masing-masing.
Dalam karyanya The
Rocontruction of Religion Thought in Islam Muhamamad iqbal juga
berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran filsfat
abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah contoh
filosof Barat yang terpengaruh dengan Manhaj Tajribiy (metode impiris)
yang dikembangkan di dunia Islam.
Masalah orisinilitas filsafat
Islam juga dikaji oleh tokoh Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya adalah
dipergunakan untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah berhutang
dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogi Nasyatul Fikril Falsafi fil
Islam yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud filsafat
Islam. Menurut Ali Sami an-Nasyar, filosof Islam adalah mereka yang menjadikan
al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan dari karya
bangsa Yunani. Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah Fuqaha,
mutashawwifun, dan Mutakallimun.
Jika megacu kepada al-Qur’an,
jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan
mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an
telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang
sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak
benar juga jika Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan
seperangkat sistem berfikir yang filosofis, sebab Islam adalah agama yang
menghormati akal. Sebegaimana disebutkan dalam surat al-Jatsiyah ayat 13, yang
artinya:
“Dan dia Telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Dari beberapa uraian dan
pendapat para pakar filsafat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Islam mempunyai orisinilitas
dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani. Memang betul
dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani
dan peradaban lainnya, namun itu tidak menghilangkan ciri keislamannya, yaitu
berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dari berbagai uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat Islam adalah suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam
membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang
diterapkan berdasarkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan
objeknya tertentu, yaitu hukum Islam.
Adapun
hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang,
penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam. Filsafat Islam itu
lahir karena dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik
Islam, yakni pada masa Khalifah Abbasiyah.
Filsafat
Islam mempunyai orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan
filsafat Yunani. Memang betul dalam beberapa hal filsafat Islam ada yang
terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban lainnya, namun itu tidak
menghilangkan ciri keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber
dari al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jika megacu kepada al-Qur’an, jelas tidak benar jika
Islam dituduh tidak mampu membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan
konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab al-Qur’an telah banyak berbicara tentang
Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan yang
pernah difikirkan oleh bangsa Yunani.
Sumber Bacaan
- Mustofa,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2009).
- Dedi
Supriyadi, Filsafat Islam; Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009).
- Nurcholish
Madjid, “Memahami Hikmah dalam Agama” dalam Kehampaan Spiritual
Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000).
- Harun
Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
- Abudin
Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994).
- Effat
al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986).
- Moh Ridwan Assegaf, Antara
Kebudayaan Timur Islam dan Barat, (Jakarta: Yayasan Obor, 1989).
- Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995).