Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas
persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan
bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang
sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang
sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama).
Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa
bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel bagaimana dalam
perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih", mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula
dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah
menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki
posisi unik dalam Agama Kristiani.
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi
tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan
penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai
senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi).
Sebaliknya, refleksi para bapa
bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5
kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang
oleh kalbu karena merupakan cetusan
penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan
sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu
sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama
dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah
manusia.
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para
tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan
tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit
bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu
sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan
India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang
terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk
jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua
India. Karya-karya sastra itu sering
diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena
diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi
pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya; Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau
Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah
cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8
Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman
untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia
ini. Ramanuja (abad 12 Masehi)
melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati
melalui cinta. Pada masa perjuangan
kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk
ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran
terhadap penjajah yang tak adil. Bagi
Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan
Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui
"perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave,
Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih
sama. Tanpa interpretasi Tilak,
misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat
politis murni (atau kriminal murni), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas
manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan
sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang
utuh, dewasa dan mandiri. Melalui
refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok
manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari
tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan
panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan.