Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association
pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan
pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial
dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya
kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi
memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih
bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial
yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia
mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu
dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior
High School (Rochman Natawidjaja, et. al., 2007: 78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational
Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal
abad ke-20. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman
Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah
penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat untuk memecahkan permasalahan
social dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung perkembangan
pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas
dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang
menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun
1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National
Society for the Study of Educational
Sociology dan menerbitkan Journal of educational Sociology.
Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam
seksi pendidikan dari American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational
Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology
of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi
hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa menjadi
sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan
mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang
memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog untuk melakukan
penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational
Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal
of Educational Sociology menjadi Journal
of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational
Sociology dalam American Sociological Society pun
berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku
sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology
of Education sejak pasca Perang Dunia II.
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan
masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda.
Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan
kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan
politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan
emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama
kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan
wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van
Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.