A. Paradigma
Behavioristik
Dalam dunia pendidikan selama ini dikenal
paradigma klasik yang disebut paradigma behavioristik. Paradigma ini
muncul terutama pada tahun 1930-an. Paradigma ini dipelopori oleh Pavlov
(1849-1936), Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike
(1874-1949).
Paradigma ini cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan sampai pada tahun
1960-1970-an di barat dan bahkan sampai 1990-an di Indonesia. Paradigma
behavioristik atau perilaku sosial ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk
pengembangan menejemen pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran positivisme,
empirisme, teknokrasi dan manajerialisme. Ia merupakan reaksi terhadap model
pmbelajaran sebelumnya yang menganut perspektif gcstalt yang memfokuskan pada
cara kerja pemikiran kognitif.
Perspektif yang dikembangkam oleh Piaget dan Vygotsky ini dianggap oleh
penganut paradigma behavioristik memiliki kelemahan karena tidak memfokuskan
langsung kepada gerakan-gerakan tubuh dan gejala internal tubuh yang bisa
diamati.
Pavlov
menunjukan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran
untuk membentuk perilaku organisme. Sementara itu Watson (1878-1958) yang
memperkenalkan istilah behaviorisme mengembangkan gagasannya berdasarkan apa
yang di rintis Pavlov. Ia mengembangkan pemikiran bahwa bentuk substitusi satu
stimulus terhadap yang lain. Hal ini di lakukan dengan asumsi bahwa cara
berfikir manusia mekanistik, dan bukan merupakan proses kerja mental.
Thorndike
(1913-1931) banyak memberi sumbangan pengembangan paradigma behavioris dengan
mengeksplorasi dampak perilaku tertentu terhadap perilaku tetentu lainnya.
Temuannya menghasilkan rumus yang berlaku secara umum yang disebut dengan hukum
pengarih (law of effect). Dalam hukum pengaruh ini dikatakan bahwa respon kuat
akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan tetapi respon lemah jika
situasi tidak menyenanglan. Implikasinya tindakan yang menghasilkan hal yang
menyenangkan akan cenderung diulang dengan menggunakan lingkungan dan cara yang
sama. Hukum pengaruh inilah yang dijadikan sebagai batu pijakan dalam tindakan.
Menurut
teori ini lingkungan pembelajaran merupakan faktor yang amat menentukan.
Pembelajaran dilihat sebagai pembentukan respon berdasarkan stimulus dari luar.
Hadiah dan sangsi merupakan cara-cara yang diaggap sangat efektif untuk
membentuk dan mengembangkan bakat.
Paradigma
ini tidak menempatkan segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai
bentuk rasa perorangan yang tak dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang
diperhitungkan. Mereka berpandangan ‘tidak ada hantu dalam sebuah mesin.’
Meskipun mereka mengakui adanya kesadaran dan pemikiran manusia. Namun hal itu
bukan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam menyusun strategi
pembelajaran. Dalam hal menyusun pembelajaran, mereka merasa cukup dengan segala
sesuatu yang dapat diamati (observable). Dari pemikiran ini, maka prestasi
pembelajaran sering diartikan sebagai akumulasi dari berbagai skill, pembuatan
memori terhadap berbagai fakta dalam wilayah dan kerangka pengetahuan tertentu.
Kesemua itu kemudian membentuk kebiasaan yang memungkinkan dapat menampilkan
hasil dengan cepat.
Pemikiran
seperti tergambar diatas, lalu menimbulkan implikasi terhadap berbagai faktor
pemblajaran. Implikasi terhadap peran guru dalam pembelajaran, misalnya, guru
harus bisa melatih skill siswa dengan tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat.
Implikasinya terhadap pengembangan kurikulum, siswa harus diperkenalkan mulai
dari skill dasar terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan kompetensi
yang lebih rumit dan kompleks. Pemblajaran bukan dimulai dari yang sulit,
melainkan dari yang sederhana. Pembelajaran berlangsung dalam proses stimulus
dan respon. Pembetulan sebuah kesalahan dilakukan dengan membangun hubungan
antara stimulus dan respon.
Implikasinya
terhadap peran siswa antara lain dalam pengorganisasian pembelajaran.
Guna mencapai hasil yang optimal, siswa harus diorganisasikan dalam kelompok
yang homogen dilihat dari latar belakang kemampuan dan tingkat skill yang
dimiliki. Disamping pemberian instruksi dan program pembelajaran diatur
secara hirarkis dengan memperhatikan tingkat kemajuan pemilihan, kemampuan dan
skill siswa.
Implikasi
terhadap cara penilain, disini paradigma behavioristiik mengajarkan agar
kemajuan pembelajaran diukur ,melalui test dengan berbagai item yang ditentukan
berdasarkan level atau tingkat hirarki skill siswa. Hasil belajar biasany
dilihat dari sudut benar atau tidak benar, dan bagi mereka yang hasilnya kurang
diberi kesempatan untuk mengulang lebih intensif lagi pada bagian yang di
anggap kurang tersebut. Kalau tidak melakukan latihan ulang secara lebih
intensif, bisa juga dilakukan dengan cara mulai kembali belajar dari skill
dasar.
Guna
menerapkan paradigma behaviouristic yang juga sering disebut sebagai perspektif
Skinnerian ini guru harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu dalam
karangan pembelajaran behaviouristic. Selanjutnya guna menyusun tahapan-tahapan
pembelajaran tersebut secara hirarkis sehingga pada akhirnya sampai pada tujuan
tersebut. Sementara itu siswa ditempatkan pada situasi yang kondusif untuk
mencapai pembentukan perilaku tertentu.
Lingkungan,
situasi atau operant merupakan alat melakukan reinforcement. Alat itu bisa
berupa materi, mainan, perlombaan, kegiatan yang menyenangkan dan dorongn yang
bersifat eksternal lainnya. Oleh karena itu guru harus pandai memilih alat yang
tepat sebagi operant atau pendorong. Hal itu harus dilakukan karena menurut
Skinner pendorong yang baik (positif reinforcement) akan menghasilkan respon
yang baik atau efektif. Sebaliknya pendrong yang jelek (negatif reinforcement)
akan menghasilkan respon yang jelek oleh karena itu tidak efektif.
Untuk
menjalankan paradigma Skinnerian ini, guru memerlukan sejumlah kompetensi yang
harus dikuasai. Kopetensi itu meliputi:
a.
Mengetahui perilaku siswa secara
tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
b.
Menggunakan pendekatan yang dapat
memecahkan perilku yang tidak diinginkan.
c.
Menggunakan berbagai bentuk strategi
mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi, penggunaan sanksi yang efektif.
Guru juga
harus memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu, melalui progam, sasaran tahapan aktifitas, menyediakan contoh,
mengkoreksi praktik agar sesuai dengan rencana, dan tidak melepas siswa belajar
sendiri. Untuk itu guru harus melakukan upaya antara lain:
a. Menghubungkan progam pembelajaran dengan
tujuan dan sasaran pendidikan.
b. Menyusun tujuan yang jelas dalam progam
pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa sebagai mana telah
yang di sepakati sebelumnya.
c. Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar
untuk mencapai tujuan yang telah di rencanakan.
d. Perhatikan tujuan siswa dan segala capaian
yang telah di raih oleh siswa sebelumnya.
e. Susunan strategi pembelajaran behavioristik
dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap demi tahap, serta jamin
tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan koreksi pada praktek yang
salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendri secara langsung,
melainkan bimbing dan kalau hendak melepaskan lakukan sevara bertahap.
f. Hubungan proses penilaian atau evaluasi
dengan strategi, tujuan, isi dan tugas pembelajaran.
B.
Paradigma
Kontruktivistik
Paradigma
konstruktutivistik beakar pada filsafat homanisme dan fenomenologi. Namun dalam
perkembangnanya, paradigma ini juga mengambil sejumlah gagasan yang di kembangkan
oleh filsafat rasionalisme dan bahkan juga positivisme, meskipun tidak
sedominan seperti dalam paradigma behavioristik. Paradigma konstruktivistik ini
di kembangkan oleh Chomsky dalam Linguistik, Sinom dalam computer scientists,
dan Bruner dalam pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan
sosial budaya. Dalam pendidikan dikaitkan dengan nama-nama seperti Piaget dan
Vygotsky. Ahli psikoanalisis juga bergabung denga pradigma ini dan menambah
perspektif ini menjadi lebih kaya, sehingga kemudian popularitas paradigma ini
menggeser popularitas paradigma behaviolistik pada tahun 1960-an.
Paradigma
konstruktivisme merupakan suatu tuntutan baru di tengah terjadinya perubahan
besar dalam mamaknai proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigma
pembelajran yang sebelumnya lebih menitikberatkan pada peran guru, fasilitator,
instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada
pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi
di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme
tidak terlepas dari perubahan pandangan yang cukup lama yang menempatkan pengetahuan
sebagai representasi (gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang terlepas
dari pengamatan (objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan
merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini berkembang pesat pemikiran,
terlebih dalam bidang sains yang menempatkan bahwa pengetahuan tidak terlepas
dari subjek yang sedang belajar mengerti.
Konstruktivisme
dalam hal ini mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ‘pemahaman
siswa’ . Kalau ingin memahami apa yang telah di ketahui siswa dan dapat
memonitor perkembangan prestasi pembelajaran dan pengetahuan siswa maka faktor
pemahaman siswa harus menjadi faktor perhatian guru.
Tugas guru
dengan demikian adalah memahami fakto-faktor instrinik yang ada dalam diri
siswa. Dengan demikian, menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan
kondusif, bukan semata tugas guru. Pada paradima behavioristik, tugas
meciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif adalah tugas guru. Guru harus
bisa menciptakan alat reinforcement yang bagus. Sebaliknya, dalam paradigma
konstruktifistik, siswa juga memiliki potensi intrinsik dalam menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam
pendidikan konstruktivistik, pembelajaran di pandang sebagai proses yang
dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan yang
dimiliki oleh siswa yang dilakukan di tempat dimana siswa sebagai partisipan.
Perspektif ini menekankan pada proses pembelajaran kolaburatif, sehingga proses
pembelajarannya dilakukan bersama, siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi
dengan lingkungannya disertai dengan proses refleksi diri. Dengan pendekatan
seperti ini pendidikan konstruktifisik menegaskan bahwa sumber balajar bukan
hanya ber sumber dari guru, melainkan juga dari kawan sepergaulan dan
orang-orang di sekitarnya.
Paradigma
konstruktivisme mengembagkan inisiatif yang kreatifitasnya individu dan
kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajaran. Sementara dalam paradigma
behavioristik, memberi kesempatan sedikit saja bagi individu dan muncuknya
kreatifitas siswa secara perorangan.
Paradigma
kontruktivistik menekankan kepada pemahaman, serta memecahkan persoalan dalam
konteks pemaknaan yang dimiliki oleh siswa. Proses strategis yang dilakukan
mulai cara pemikiran yang deduktif dan digabung dengan pemikiran induktif. Ada
dua jenis pendidikan kontruktivisme yaitu:
a.
Kontruktivisme Psikologi
Pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu
dan bagaimana mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan dan identitasnya
sendiri selama proses pembelajaran.
b.
Kontruktivisme Sosial
Pendidikan difokuskan kepada peran faktor sosial dan
budaya dalam mengembangkan pembelajaran.
C. Paradigma
Sosial Kognitif
Bredo (1997) mengembangkan paradigma ini
dengan memanfaatkan psikologi fungsional dan filsafat pragmatisme dari karya
James, Deway dan Mead. Ia juga mengaitka dengan nilai-nilai demokratik serta
pemikiran behavioristik. Asumsi dasarnya dibangun berdasarkan prinsip bahwa
individu selalu berdialog dengan lingkungannya.
Dalam
paradigma social kognitif, pembelajaran disetting sedemian rupa sehingga siswa
bisa menggunakan sistem pengetahuan yang dimlikinya dan digunakan untuk
berdialog dengan lingkungan. Pembelajaran atau pemikiran dilakukan melalui
tindakan yang bisa mengubah situasi. Situasi yang berubah mengubah cara
pembelajaran yang dilakukan siswa. Gagasan yang terpenting dalam hal ini adalah
bahwa pembelajaran adalah aktifitas yang difasilitasi yang didalamnya terdapat
bentuk-bentuk ragam budaya yang ada menjadi faktor penting.
Dengan
demikian pembelajaran dalam perspektif ini dapat diartikan sebagai aktifitas
sosial dan kolaborasi. Didalamnya siswa mengembangkan pemikirannya bersama –
sama. Kelompok kerja bukan soal pilihan tambahan. Pembelajaran dilakukan secara
parsipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya yang dimiliki individu namun
sesuatu yang bisa dibagikan dengan orang lain, dan oleh karena itu paradigma
ini disebut dengan ‘distributed cognition’ pemikiran yang terbagikan.
Didalam
praktik di kelas, selanjutnya menyusun strategi pembelajaran yang menurut
Krause ada tiga strategi:
a.
Mendorong pembelajaran terpusat pada
pengalaman dan kegiatan siswa
Pengalaman, pengetahuan, dan minat
siswa harus menjadi titik awal guru mengemas pembelajaran di kelas. Dengan
demikian pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Oleh karena latar belakang pengetahuan
dan minat mereka beragam, maka guru sangat dianjurkan untuk belajar tentang
multikultur.
b.
Memberikan kesempatan siswa belajar
bekerja sama
Kerjasaman adalah kunci dimata
kontruksionis. Strategi pembelajarannya dengan demikian harus didesain dalam
bentuk pembelajaran kelompok sehingga siswa memiliki kesempatan memperoleh
pengalaman bekerja sama, berbagi ide dan belajar satu sama lainnya.
c.
Membantu siswa baru mengembangkan
keahliannya
Pembelajaran merupakan perspektif
kontruksionis, harus bisa membantu siswa baru mengembangkan keahlihan dalam
bidang ilmu tertentu sehingga mereka bisa mandiri, dan mengatur sendiri
kegiatan belajar mereka.
Sumber
bacaan:
Fathoni, Achmad
Pengantar Sosiologi Pendidikan, diktat.
McInerney, Dennis
dan Valentina McInerney, Psychological Education, (NSW: Prentice Hall, 2002).
Moeloek, Farid
Anfasa dkk, Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI, (Jakarta: BSNP, 2010).
Barker, Joel
Arthur, Paradigma Upaya Menemukan Masa Depan.
(Batam: Interajsar,1999).
Echols, M. John
dan Shadily. Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1992).
Suparno, Paul,
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997).
UU RI Nomor
20 Tahun 2003, Sisdiknas, (Jakarta: Depag RI, 2006).
Maliki, Zainuddin, Sosiologi Pendidikan,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010).