Sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak
menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren
(“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang
(2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus
dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang
seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat
adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
(realitas). Filsafat
merupakan refleksi rasional (fikir)
atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat
(kebenaran) dan memperoleh hikmat
(kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang bertingkat
tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat
segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Bagian filsafat yang paling mulia
adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan
sebab dari segala kebenaran".
Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan
ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan
"secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju
akhirat. Disebut "secara
mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari
sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab
terdalam dari obyek yang dipelajari
("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara
menuju akhirat". Itulah scientia
rerum per causas ultimas pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan
sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902) menulis "semua orang adalah filsuf,
karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa
harga, karena hidup itu akan berakhir.
Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat
dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah
tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu
hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut
menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup". Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang
hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken"
(Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir"
sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) =
"danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah
kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa
Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau
"wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa
Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa
Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya".
Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan.
Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea",
yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh
para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis
abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis
ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut
filsafat:
Aras
abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita
“melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi
yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata,
ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual.
Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu
pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras
abstraksi kedua - matesis. Dalam proses
abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang
kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi
melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi
dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis =
pengetahuan, ilmu).
Aras
abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat
meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh
kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah
kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini
menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau
“filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah”
fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang
sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu
pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah”
karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas
dari kekhususannya.