Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik
untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa
yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus
diajar dan dididik untuk membenci serta menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih
dari itu, diharapkan dapat turut aktif memeranginya.
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan
mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan
kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang
mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri,
Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda
Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan
praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif.
Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor
yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan
seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan
berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan
implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau
diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan
agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa
konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks
pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku
teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan
muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya
besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila
dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka
sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi,
kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan
mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk
korupsi.
Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa
guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan
mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan memahami apa yang akan
diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar
dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu
dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan
evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan
ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika
penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak
terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan
pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan
baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari
nilai-nilai tersebut.
Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek
(psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi. Alat atau
instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam menerapkan
nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan berbeda dari tes
pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.
Selain itu, proses pengajaran
antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah
di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus
dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi model
bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya tidak
demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu tempat
tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya pungutan yang
dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah, pegawai tata
usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar belakang
penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut
menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah
mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis,
setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar
dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana
korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat
oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam
keseharian guru atau kepala sekolah.
Karena itu, kurikulum antikorupsi
tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti sekolah yang akan
mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi. Upaya untuk
membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum antikorupsi.
Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari
minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.
Berharap banyak pada peranan
birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek
korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti
dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa
tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai
korupsi di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi
diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi
ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain
itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan
dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di
institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai
benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi
tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah
dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya
sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena
memang itu khitahnya.