Kerap terdengar sergahan, “laksana anak TK”. Ucapan
itu biasanya kita tujukan kepada orang dewasa yang dianggap suka rebut dan
kekanak-kanakan. Tanpa disadari, sebenarnya itu ungkapan bernada merendahkan
anak-anak pra-SD. Sebab, tingkah lucu mereka menjadi julukan tingkah buruk
orang tua.
Padalah, kalau berkonflik, kadang kala orang tua
sama sekali tidak mirip anak TK. Kalau anak TK mudah sekali berbaikan setelah
bertengkar, orang tua bahkan bisa amat alam saling berdiaman. Bisa melampaui
batas bahkan dua pemilu. Ketika salah satu pihak mengalah dengan mengajak
mencairkan komunikasi lagi, yang lain bisa makin jual mahal.
Kita kembali disuguhi drama kecut betapa sulitnya
menyambung kesenjangan hubungan antara Presiden Susilo bambang Yudhoyono dan
mantan Presiden Megawati Soekarno Putri. Ketika SBY menyatakan keinginannya
untuk menjalin komunikasi lagi dengan Mega, tidak ada tanggapan antusias.
Bahkan, lewat orang-orang dekatnya, Mega terkesan menampik.
Konflik ini jelas tidak kekanak-kanakan. Ini konflik
orang dewasa yang lebih dalam daripada
konflik polos anak-anak. Ini semacam konflik “oplosan” politik dan pribadi.
Padahal, alangkah fasih pembesar kita bicara pengalaman Pancasila (ada sila
Persatuan Indonesia di dalamnya, ada Bhinneka Tunggal Ika di cengkraman
kakinya), dan NKRI (ada kata “kesatuan” di dalamnya).
Kita pantas bersyukur karena pemilu kali ini
berlangsung damai. Kalaupun ada konflik, itu lebih ke soal teknis dan perebutan
suara. Bukan lagi konflik yang sifatnya perluasan ideology, aliran, agama,
etnis, dan juga bukan konflik perluasan ego pemimpin yang bisa memecahkan belah
persatuan. Rakyat kita lebih matang. Mareka bisa berdamai dengan masa lalu saat
pemilu masih berarti pembelahan garis primordial.
Semuga kematangan rakyat itu menular kepada elite.
Semuga mereka kembali ke kepolosan anak TK, ketika bertengkar cepat berdamai,
melupakan perbedaan, serta riang bermain kembali. Alangkah indahnya. (Karena
itulah, anak-anak lebih bisa dipahamkan tentang NKRI dan Pancasila yang luhur).
Alangkah periang rakyat kita. Mereka merasa “akrab”
dengan pemimpinnya, sehingga suka mencandai mereka. Kita tentu lega bila antar
pemimpin bangsa punya relasi yang riang dan penuh jiwa besar. Tanpa dikatakan
pun anak bangsa tahu, itulah pengejawantahan keluhuran Pancasila.