Kurikulum adalah jantung pendidikan. Tesis ini menunjukkan betapa
pentingnya keberadaan kurikulum dalam ranah pendidikan nasional. Betapa
pentingnya kurikulum tentu saja sangat mewarnai konstruksi dan wajah pendidikan
suatu masyarakat. Kurikulum bukan sekedar menyangkut substansi dan
instruksional pembelajaran yang bermain di level mikro, tetapi kurikulum
berkaitan dengan relasi-relasi sosial berbagai agen yang terlibat dan
berkepentingan di belakangnya. Kurikulum berkaitan dengan kepentingan dengan
politik penguasa, kurikulum juga berkepentingan dengan relasi antara negara
dengan sekolah (melalui representasi guru dan murid), maupun relasi sosial
antara sekolah dengan masyarakat. Bahkan relasi dengan pasar atau modal sangat
berpengaruh. Aspek kedualah yang mengkonfirmasi bahwa kurikulum menjadi sangat
strategis dalam level makro.
Dengan kata lain, kurikulum tidak dapat dilepaskan dari dunia
sosial kita seharian. Setiap individu yang mengenyam pendidikan pada dasarnya
pernah berada dalam pengaruh dan kontrol kurikulum, meski itu terjadi melalui
alam bawah sadar dirinya. Tanpa disadari, kurikulum sebenarnya menjadi bagian
dari tindakan manusia dalam ranah pendidikan
melalui interaksinya dengan manusia lain. Pada sisi lain, interaksi
antara individu tersebut berlangsung dalam sebuah ruang sosial yang bernama
“masyarakat”. Masyarakat adalah sebuah ruang sosial tempat pertarungan berbagai
arena kepentingan. Ringkasnya, kurikulum menjadi bagian penting dalam
pertarungan di masyarakat.
Begitu pentingnya kurikulum hal itu pula yang menjadi perbincangan
sepanjang negeri ini ada. Diskusi tentang kurikulum selalu menarik dikaji
seiring dengan pergantian kekuasaan. Jauh dari sebelum Indonesia merdeka,
problem kurikulum sudah menjadi hal serius dalam bidang pendidikan dan
pengajaran saat itu. Kolonialisme Belanda juga memberikan pelajaran bagi kita
bahwa semua kurikulum sekolah-sekolah mangacu kepada pola kurikulum di negeri
Belanda. Saat itu, kurikulum diorentasikan pada kebutuhan tenaga untuk
pembangunan sarana produksi atau pelayanan pemerintah bagi kepentingan
pemerintah kolonial (Tilaar, 1995: 252).
Pomeo yang mengatakan “ganti menteri ganti kurikulum”
rasanya tepat untuk menggambarkan perubahan kurikulum di negeri ini. Pepatah
tersebut sebenarnya hendak memberikan penjelasan bagi kita bahwa kurikulum
bukanlah sesuatu yang given alias taken for granted, tetapi dia
adalah hasil dari konstruksi sosial-politik dan ekonomi yang sedang berkuasa.
Ini menunjukkan adanya garis linear antara kurikulum dengan kekuasaan.
Ironisnya, bagi Indonesia, karena kurikulum menjadi komoditas politik yang
dikendalikan rezim maka ini pula yang kian menjadikan pendidikan kita semakin
carut-marut.
Dengan demikian, penjelasan di atas menggambarkan bahwa dibalik
kurikulum selalu terjadi kontestasi kekuasaan (Tilaar, 2003:55). Kontestasi
merupakan sebuah bentuk perjuangan dan pertarungan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan produksi kurikulum. Maka, kontestasi kekuasaan dalam
kurikulum tidak dapat terhindarkan. Dalam kajian sosiologi, tentu saja
kurikulum tidak dipahami sekedar teknis operasional yang implementatif, tetapi
lebih dari itu kurikulum dipahami sebagai social constructed yang
dibentuk oleh berbagai faktor. Dengan demikian kurikulum dapat dipahami sebagai
ruang dimana di dalamnya terjadi kontestasi kekuasaan antara berbagai aktor
yang saling bernegosiasi (yaitu negara, pasar, universitas maupun murid) dalam
proses produksi pengetahuan. Implikasinya, kajian tentang kontestasi kekuasaan
pada dasarnya merupakan kajian sosiologi.
Apabila dianalisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan
sekolah sebagai institusi sosial dalam melaksanakan operasinya, maka dapat
ditentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang sangat penting:
1.
Peranan Konservatif
Salah
satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan
sosial pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga
sosial dapat memengaruhi dan membina tingkah laku siswa sesuai dengan berbagai
nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan
sebagai suatu proses sosial. Romine mengatakan bahwa: “In sense the
conservative role provides what may be called “social coment”. It contributes
to like-mendedness and provides for behavior wich is consistent with valurs
already accepted. It deals with is sometimes know as the core of “relative
universals.”
Dengan
adanya peranan konservatif ini, maka sesungguhnya kurikulum itu berorientasi
pada masa lampau. Meskipun demikian, peranan ini sangat mendasar sifatnya.
2.
Peranan Kritis atau Evaluatif
Kebudayaan
senantiasa berubah dan bertambah. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan
yang ada, melainkan juga menilai dan memilih berbagai unsur kebudayaan yang
akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam
kontrol sosial dan memberi penekanan pada unsur berpikir kritis. Nilai-nilai
sosial yang tidak sesuai dengan dengan keadaan di masa yang akan datang
dihilangkan serta diadakan modifikasi dan perbaikan.
3.
Peranan Kreatif
Kurikulum
berperan dalam melakukan berbagai kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam
artian menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru sesuai kebutuhan masyarakat
di masa sekarang dan masa mendatang. Untuk membantu setiap individu dalam
mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan
pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan, dan ketempilan yang baru, yang
memberikan manfaat bagi masyarakat.
Sumber bacaan:
Hidayat, Rakhmat, PENGANTAR SOSIOLOGI KURIKULUM, Cet. 1,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
Hamlik, Oemar, Dasar-Dasar PENGEMBAGAN KURIKULUM, Cet. 1,
(Bandung: REMAJA ROSDAKARYA, 2007).