Teori konflik yang berakar dari Marx dibangun atas dasar
asumsi-asumsi bahwa:
a.
Perubahan
merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat.
b.
Konflik
adalah gejala yang selalu melakat di dalam setiap masyarakat.
c.
Setiap
unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disentegrasi dan
perubahan sosial.
d.
Setiap
masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi yang dilakukan oleh
sejumlah orang terhadap sejumlah orang lainnya.
Dari asumsi dasar itu teori konflik kemudian mengajukan proposisi
yang dapat dielaborasi menjadi sebuah strategi konflik yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
1)
Kehidupan
sosial pada dasarnya merupakan arena konflik di antara dan di dalam
kelompok-kelompok yang bertentangan.
2)
Sumber-sumber
daya ekonomi dan kekuasaan politik merupakan hal yang penting yang diperebutkan
oleh sebagai kelompok.
3)
Akibat
tipikal dari konflik itu memunculkan pembagian masyarakat menjadi kelompok
determinan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi.
4)
Pola-pola
sosial dasar suatu masyarakat sangat ditentukan oleh pengaruh sosial dari
kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok determinan.
5)
Kelompok
dan konflik sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan
kekuatan-kekuatan yang menggerakkan perubahan sosial.
6)
Karena
konflik merupakan ciri dasar sosial, maka perupahan sosial menjadi hal yang
umum dan sering terjadi.
Masyarakat, menurut Marx, terdiri atas kekuatan yang mendorong
perubahan sosial sebagai konsekuensi dari ketegangan dan perjuangan hidup.
Perjuangan dan bukannya perkembangan damai merupakan mesin perubaha ke arah
kemajuan; konflik adalah induk segala-galanya; oleh karenanya konflik sosial
merupakan inti dari proses sejarah. Menuru Marx, kekuatan motivasi dalam
sejarah adalah hal-hal yang menempatkan manusia berhubungan dengan orang lain
dalam perjuangan terus-menerus untuk memenangkan pertarungannya dengan alam.
Awal gerakan sejarah itu sendiri adalah produksi material, sebagai
tindakan sejarah yang senyatanya dan merupakan landasan utama dari seluruh
proses sejarah. Persoalan pemenuhan hajat makan dan minum, tempat tinggal dan
pakaian merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Akan tetapi perjuangan
manusia menundukkan alam bukan berhenti ketika kebutuhan itu sudah terpenuhi. Manusia
merupakan binatang yang tidak pernah puas. Ketika kebutuhan primer telah
tercukupi, maka manusia kemudian mendorong untuk memunculkan kebutuhan baru,
dan pemenuhan kebutuhan baru itu kemudian menjadi titik awal gerakan sejarah.
Kebutuhan baru terus berkembanga, ketika sarana-sarananya terpenuhi dan
memungkinkannya untuk menutup kebutuhan-kebutuhan yang terdahulu.
Dalam rangka memenuhi kepentingannya, baik dalam kaitannya dengan
kebutuhan primer maupun sekunder, manusia berhadapan dengan antagonisme begitu
ia meninggalkan pola hidup primitif dan komunalnya. Segera setelah muncul
pembagian kerja dalam masyarakat manusia ke dalam formasi antagonisme kelas,
sebagai aktor utama dalam drama kehidupan menyejarah. Manusia terlempar dalam
relativitas sejarah. Dalam peiode sejarah tertentu manusia pekerja berhadapan
dengan pemilik tanah, tetapi di dalam episode lain bisa berhadapan dengan
pemilik modal. Manusia adalah produk sejarah yang terus berubah.
Perubahan sistem sosial tidak bisa dijelaskan atas dasar faktor-faktor
ekstra sosial seperti geografis atau cuaca, karena faktor-faktor itu bersifat
konstan dalam proses perubahan sejarah. Perubahan itu juga tidak bisa
dijelaskan dengan mengacu pada munculnya serangkain ide. Penerimaan genesis
dan ide amat tergantung kepada sesuatu yang bukan ide. Ide bukan pendorong
utama. Ide tidak lebih sebagai refleksi, langsung atau sublimasi dari
kepentingan material yang menyebabkan manusia mesti berhubungan dan berhadapan
dengan orang lain.
Marx mengikuti Montesquieu dan juga Hegel, yang membawanya untuk
peduli terhadap pandangan bahwa masyarakat merupakan satu kesatuan menyeluruh.
Pendekatan holistik inilah seperti yang dikemukakan Rizter (1983) menjadikan
pikiran yang mendasarkan kepada aliran Marxian ini masuk menjadi bagian dari
paradigma fakta sosial bersama-sama dengan aliran fungsional struktural.
Paradigma fakta sosial, sebuah perspektif yang menaruh perhatian kepada
pandangan masyarakat bukan sebagai agregat individu melainkan sebagai sebuah
keseluruhan, dan ia adalah sebuah realitas yang dapat diobservasi dan diukur.
Karena itu, teori-teori konflik banyak yang menggunakan metode kuantitatif.
Dengan menggunakan unit alisis pertentangan antar kelas, maka perspektif Marx
ini lebih banyak beroperasi dalam ranah makro obyektif.
Sumber bacaan:
Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan
Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).
Maliki, Zainuddin, SOSIOLOGI PENDIDIKAN, Cet. II,
(Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS, 2010).