Kebijakan perintah perihal sertifikasi guru sangat berpengaruh
terhadap perkembangan sekolah swasta, salah satunya Muhammadiyah. Beberapa
waktu yang lalu, tepatnya bulan juli 2013. Pertemuan Kepala Sekolah dan Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP) bidang studi ISMUBA (al-Islam-KeMuhammadiyahan dan
bahasa Arab), terdapat gagasan yang menarik tentang “Sertifikasi ala
Muhammadiyah). Gagasan itu memunculkan sehubungan dengan kegelisahan guru
bidang studi ISMUBA. Tidak sedikit keberadaannya tidak diakui, atau jam
mengajarnya tidak diperhitungkan sebagai persyaratan yang tersrtifikasi oleh
Departemen Agama sebagai Guru Profesi.
Sertifikasi saat ini telah menjadi pembicaraan yang sangat hebat.
Topik-topik yang berkembang di kalangan guru pun bertema sertifikasi. Apabila
berbicara sertifikasi, maka semua menjadi terabaikan. Padahal sertifikasi
adalah penunjang kualitas guru untuk mencerdaskan anak bangsa. Tapi saat ini,
sertifikasi mengalami degradasi tujuan, bukan sebagai penunjang kualitas, namun
justru menjadi bumerang dalam tumbuh kembang sekolah.
Keberadaan sertifikasi di sekolah sangat tergantung dari berapa
jumlah rombongan belajar yang terdapat di sebuah sekolah. Artinya jika sekolah
tumbuh dan berkembang secara otomatis jumlah peserta didiknya akan turut
berkembang dan hak guru mendapatkan srtifikasi di sekolah tersebut akan
berkembang pula.
Kondisi itu dapat dilihat dari antusiasme guru saat mengurus
persyaratan dan kelengkapan. Dimulai dengan adanya keberanian membuat data
palsu, sehingga meninggalkan tugas utamanya sebagai guru. Hampir setiap ada
informasi perihal persyarata sertifikasi, selalu timbul suasana sekolah yang
kurang kondusif diantara guru, terutama dalam mensikapi persyaratan yang
diperlukan. Dimaklumkan karena yang dapat sertifikasi tidak semua guru, hanya
yang pasti guru ISMUBA lebih kecil memiliki kesempatan untuk mendapatkannya.
Selain itu, keberadaan sertifikasi telah menjadi daya tarik
tersendiri bagi guru. Disamping mendapat dana pembinaan juga ada pengakuan
bahwa mereka sudah memenuhi standart sebagai guru yang profesional. Artinya
semua guru yang tersertifikasi memenuhi syarat sebagai pendidik. Sesuai dengan
dengan yang tercantum pada UU No. 14 tahun 2005 tetang Guru dan Dosen
dimaksudkan secara struktural memperbaiki kondisi kekurangan yang terjadi.
Padahal sebuah profesi yang ada pada guru adalah sebuah panggilan
jiwa yang diwujudkan dalam karya pelayanan terbaik dalam proses belajar
mengajar di kelas atau di luar kelas dengan kompetensi yang dapat dipertanggung
jawabkan. Guru yang tersertifikasi juga memiliki sebuah kewajiban yang harus
dipenuhi, yaitu selalu update atau memperbaharui diri terutama dalam keilmuan,
sehingga ilmu yang dimiliki tidak tertinggal dengan perkembangan zaman.
Tetapi tidak sedikit sekolah yang merasa resah dengan adanya
sertifikasi terutama sekolah yang jumlah populasi belajarnya kecil. Tidak mampu
memberikan jumlah jam yang disyaratkan yaitu 24 jam. Dengan demikian,
kesenjagan pendapatan antar guru semakin besar, terutama pada guru-guru yang
mengajar ISMUBA. Samapai saat ini, belum adanya usaha dari penyelenggara
pendidikan Muhammadiyah atau Majelis Dikdasmen dalam mengatasi masalah
tersebut.
Sertifikasi Sosial Muhammadiyah
Berdasarkan observasi permasalahan yang timbul di sekolah-sekolah
Muhammadiyah perihal sertifikasi guru, tampaknya Majelis Dikdasmen Muhammadiyah
harus punya keberanian untuk mengambil sikap berani berdiri di kaki sendiri.
Maksudnya ada keberanian untuk menanggung beban anggaran sertifikasi tahap pertama
diperuntukkan semua guru ISMUBA. Kalau tidak segera diambil langkah-langkah
kongkrit, kesenjangan pendapatan yang terjadi akan terus berlanjut. Dengan
demikian, situasi yang kurang kondusif akan berpengaruh pada tumbuh kembang
lembaga yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Demi mengatasi itu semua, terdapat beberapa usulan penerima
sertifikasi Muhammadiyah Guru ISMUBA, yaitu:
Pertama, rekutmen guru
ISMUBA harus dilakukan secara selektif dilanjutkan dengan tes lisan, tulis dan
portofolio. Sebab ada kecenderungan kuat Muhammadiyah memilih guru ISMUBA juga
memiliki peran ganda sebagai guru dan mubaligh. Dengan demikian, kecenderungan
ini harus diantisipasi agar tidak terjadi ketidak hadiran dalam mengajar.
Karena sering kali adanya dua profesi akan menjadi tidak profesional di salah
satu pihak.
Kedua, implementasi
atau mensosialisasikan untuk menjadi guru ISMUBA yang mendapat sertifikasi dari
Muhammadiyah adalah guru-guru yang tidak mendapat sertifikasi dari pemerintah,
mendapat rekomendasi dari sekolah dan persyarikatan Muhammadiyah dimana mereka
mengajar, serta memiliki administrasi pendukung yang telah diisyaratkan
persyarikatan. Dengan cara demikian, tidak akan didapatkan guru ISMUBA peserta
sertifikasi Muhammadiyah yang kurang memenuhi keadministrasiannya.
Ketiga, pembiayaan.
Bagi sekolah Muhammadiyah yang memiliki kemampuan finansial berlebih dimohon
untuk memiliki rasa sosial yang tinggi guna membiayai semua gurunya yang
dinyatakan lulus sertifikasi Muhammadiyah, dengan menyetor dana ke Majelis
Dikdasmes, jumlah besaran sama dengan sertifikasi non implasing dari pemerinta
yaitu, “Satu juta lima ratus ribu rupiah” setiap bulan. Sedangkan untuk sekolah
yang kemampuan finansialnya kecil bisa bebankan kepada Majelis Dikdasmen.
Usulan “Sertifikasi Muhammadiyah” sekilas terdengar sensitif,
tetapi mau tidak mau harus dicoba demi kemajuan sekolah-sekolah yang dikelola
oleh Muhammadiyah. Melalui langkah-langkah yang tersebut di atas serasa mungkin
tidak akan menemui kesulitan yang berarti, kalaupun ada kemungkinan tidak akan
mencapai 5% kesulitan. Yang diperlukan sat ini adalah keberanian untuk
bertindak dan melangkah. Jika Majelis Dikdasmen sebagai penyelenggara dan
Persyarikatan sebagai pemilik berani mengambil langkah ini, maka peran
Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap kaum
lemah dan kepekaan terhadap lingkungan akan menjadi teladan utama dan panutan
bagi organisasi yang lain.
Oleh karena itu, memberi sertifikasi pada guru-guru ISMUBA, berarti
ikut serta memikirkan dan membantu sekolah. Karena melalui sertifikasi ini
guru-guru ISMUBA akan lebih percaya diri dan bangga pada lembanganya. Itu semua
akan berpengaruh terhadap kinerjanya sebagai guru profesi, efeknya akan positif
bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa yang akan datang. (www.nuryandi.com/majalahdonatur_lazismu).
“Profesi seorang guru pada hakikatnya adalah sebuah panggilan
jiwa.”
“Menjadi guru berarti pengabdian diri bukan mencari nafkah dan
kekayaan sebab nafkah dan kekayaan ada pada bisnis.”