Pendeknya, yang sangat merugikan dari gerakan kaum rasionalis
adalah kegagalan unsur-unsur ekstrimnya dalam mengapresiasi keterbatasan akal,
sikap tidak toleransinya terhadap lawan, dan penggunaan kekuatan paksa negara
untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka pada mayoritas penduduk.
Hal ini menimbulkan politisasi perdebatan intelektual, serta
meningkatkan sikap kaku dan keras. Hal utama yang dinilai ofensif adalah bahwa
pandangannya yang dipaksakan itu benar-benar bertentangan dengan rukun Islam
yang telah diterima dengan baik dan yang secara rasional dipertahankan.
Kerugian yang paling besar adalah doktrin “kemakhlukan Al-Qur’an.
Konfrontasi secara arti fisial yang dipicu oleh suasana demikian menyebabkan
otak-otak jenius dunia muslim pada waktu itu tidak produktif dan terlibat dalam
perdebatan yang tidak berujung pangkal selama berabad-abad. Sekiranya kekuatan
(negara) tidak dipakai, kekhawatiran tentunya tidak akan sedemikian memuncak,
tidka perlu ada konfrontasi, kekerasan, dan tidak ada keretakan hubungan antara
pemerintah dan ulama, serta tidak akan ada pemisahan antara filsafat dan agama.
Keretakan ini berefek tragis bagi perkembangan fiqh dan sains di dunia Islam. Dengan
demikian, alasan bagi kejatuhan gerakan “pencerahan” di dunia muslim merupakan
kebalikan dari apa yang menyebabkan keberhasilan di Barat.
Pertama, di Barat yang
berlaku pada waktu itu adalah korupsi dan despotisme pihak gereja yang
menyebabkan berhasilnya seruan Voltaire untuk menghancurkan hal-hal yang buruk
dan yang mengguncang keyakinan metafisik yang selama diyakini gereja. Voltaire
menulis dalam bukunya Treatise on Toleration bahwa ia akan bersabar
dengan kekonyolan dogma agama sekiranya kaum pendeta menjalankan kehidupannya
sesuai dengan isi khutbah mereka dan sekiranya mereka bertoleransi dalam
perbedaan-perbedaan, tetapi tambahan-tambahan yang tidak memiliki dasar dalam
Injil telah menjadi sumber pertentangan berdarah dalam sejarah Kristen. Durant
menegaskan bahwa gereja sebenarnya dapat mempertahankan kedudukan
supranaturalnya seperti yang diberikan oleh Kitab Suci dan tradisi Kristen
sekiranya para pekerja gereja (kaum pendeta) menghiasi kehidupannya dengan
kabaikan pengabdian. Sangat bertolak belakang dengan ini, lazimnya para ulama
Islam seperti Abu Hanifah (w. 150/767), Malik (w. 179/795), Asy-Syafi’i (w.
204/820), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241/855) adalah individu-individu yang
memiliki tingkat ketakwaan dan integritas tinggi, mereka sangat dihormati dan dipercaya
oleh masyarakat.
Kedua, seperti yang
secara tepat ditunjukkan oleh Hourani, Ortodoksi dalam Islam tidak pernah
dipandang sebagai dewan kependetaan, sebagaimana dalam agama Kristen. Tidak ada
dewan semacam ini karena memang tidak ada jenjang kependetaan dalam Islam.
Namun, ortodoksi telah didefinisikan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ kaum
muslimin melalui diskusi terbuka para ulama yang menurut hadis shahih digelari
sebagai (warasatul ambiya’) pewaris para nabi.
Ketiga, jika di Barat
pihak gerejalah yang melakukan inkuisisi, dalam dunia muslim kaum rasionalislah
yang melakukannya, sekalipun tidak sekejam gereja. Membakar manusia hidup-hidup
seperti yang dilakukan oleh gereja tidak pernah terjadi dalam Islam.
Keempat, meskipun
gereja tegak di atas kepercayaan tertentu, namun ia tidak dapat dipertahankan
secara rasional dan tidak mendapatkan landasan dari Injil. Sebaliknya, sebagian
pandangan para filsuf dan kaum rasionalis tidak berdasar pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah dan bahkan tidak dapat dipertahankan secara rasional. Sebagai
perbandingan, keyakinan yang dipegang oleh para ulama dan umat pada umumnya
memiliki landasan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan relatif mudah dipahami.