Tahun Hijriyah dibuat berdasarkan perhitungan ‘qamar’ atau bulan.
Sesuai dengan bunyi ayat di atas, tujuannya adalah untuk membuat perhitungan
dengan arti yang lebih luas. Termasuk hitungan adalah evaluasi program dan
permasalahan. Kemudian, tahun ini diberi nama ‘hijriyah’, yang bermakna sangat
strategis bagi perjuangan Islam, karena hijrah itu sendiri yang sekalipun arti
harfiyahnya ‘pindah’, namun mengandung makna pemindahan dari jahili ke Islami.
Sehingga hijrah berarti ‘perjuangan menegakkan syari’at Islam’ sebagai
pemindahan dari tradisi jahili. Karena memang hijrah Nabi saw ke Madinah itu
maksud utamanya adalah membangun sebuah negara dan masyarakat baru yang Islami,
berbeda dengan negara dan masyarakat yang ada di zaman itu, seperti masyarakat
Majusi di Persi dan masyarakat Kristen di Romawi, serta masyarakat jahili di
Makah.
Masyarakat baru ini ditandai dengan pengubahan nama pusat
pemerintahan ‘Yatsrib’ menjadi ‘Madinah’, yang konon memberi arak ke mana
negara dan masyarakat baru ini hendak dibawa. Madinah sendiri asal artinya
adalah Perkumpulan perumahan yang jumlahnya lebih besar daripada perumahan di
pedesaan, atau bisa disebut kota besar. Sering pula orang menyebutkan Madinah,
artinya ‘modern’. Kini, dikenal dengan sipil. Sehingga masyarakat madani yang
dicanangkan banyak orang sekarang disebut ‘sivil society’, yaitu masyarakat
yang berdasa hokum. Sedang hokum yang dimaksud adalah hokum Allah. Dan memang
kita tahu, bahwa ayat-ayat hokum dan hadis-hadis hokum pada umumnya turun di
Madinah, yang selanjutnya dikenal dengan ‘surat madaniyah’ atau ‘ayat
madaniyah’. Tidak sama dengan masyarakat Romawi dan Persi yang dikendalikan
oleh raja, yang cenderung ‘raja itulah sumber hukum’, yang cenderung otoriter,
sehingga sering terdengan ungkapan ‘king can’t do no wrong’ (raja tidak pernah
bersalah). Juga tidak sama dengan masyarakat jahili di Makah yang dikendalikan
sekelompok elit yang otoriter pula.
Pembangunan masyarakat baru di Madinah ini merupakan awal
kebangkitan Islam, dengan berbagai trobosan, semisal mengadakan perjanjian
dengan masyarakat sekelilingnya yang berlainan agama, mengadakan persaudaraan
seiman, mengadakan perubahan hukum secara radikal, seperti larangan berzina dan
pembatalan adopsi anak, di samping ada yang secara evolusional seperti larangan
minum khomer dan riba, dan juga mengakui keabsahan hukum yang telah ada. Semuanya terarah pada syari’at Allah.
Karena tugas utama seorang rasul adalah menegakkan syari’at Allah :
“Siapa tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah berarti kafir-zhalim-fasiq” (QS. Al-Maidah 44, 45, 47)
Kebangkitan
itu tidak mandek, sekalipun syari’at telah sempurna dan komplit meliputi
berbagai sector kehidupan. Kerena tidak mustahil agama ini, setelah
ditinggalkan oleh Rasul, dikotori oleh pengikutnya dengan berbagai bid’ah dan
khurafat serta pembenaran atas pelanggaran hukum baik dengan sadar ataupun
tidak sadar. Bahkan besar pula kemungkinan di antara pemeluknya itu tidak
mengerti tentang Islam, walaupun ber KTP Islam dsb. Kemungkinan-kemungkinan ini
sudah diprediksi oleh Rasulullah Saw sendiri, misalnya dalam salah satu
firasatnya beliau menyatakan :
Artinya : “Sesungguhnya hanya ada dua (pedoman), yaitu :
al-Kalam dan al-Hadyu (perkataan dan petunjuk), sedang sebaik-baik perkataan
adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Hanya saja kalian nanti akan mengada-ada
dengan sesuatu yang baru dan kepada kalian akan dibuat hal-hal baru, padahal
setiap yang baru itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka. (HR. Muslim).
Ibnu ‘Abbas
r.a. salah seorang sahabat Nabi Saw yang sejak kecil sudah cerdas dan bisa
mengamati perilaku Nabi, karena kedekatan kekeluargaaan dengan beliau, dalam
merespon hadis nabi di atas dia mengatakan :
Artinya :”Tidak datang satu pun tahun pada manusia melainkan
dalam tahun itu mereka akan mengada-ada dengan model-model baru (bid’ah) dan
memetikan sunnah hingga bid’ah –bid’ah subur sedang sunnah mati”.
Dan masih banyak lagi hadis maupun atsar sahabat yang semakna
dengan itu. Kemudian, kalau kita amati yang ada di masyarakat kita sekarang ini, apa
yang digambarkan Rasulullah saw maupun Ibnu Abbas di atas adalah klop,
sebagai imbas dari perkembangan kultur yang menyeruak ke kanan dan ke kiri.
Sebabnya hanya satu, yaitu “kebodohan”. Mereka ini tergolong mayoritas, dan
berada di seluruh lapisan dan di seluruh jajaran. Bahkan, kalau kita boleh
mengambil analisis Syekh Abdulqadir Audah, mereka itu ada juga di kelompok
“cendikiawan” (al-Mutsaqqafin). (Lihat al-Islam Baina Jahli Abnaihi wa ‘Ajzi
‘Ulamaihi/Islam antara Kebodohan Ummatnya dan Kelemahan Ulma’anya). Karena
mereka ini tidak bisa membedakan mana yang Sunnah dan mana yang kultur, tidak
bisa membedakan mana sunnah yang shahihah dan mana sunnah yang dha’ifah,
disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang sekuler. Mereka itu ada di
grass roots sampai di kelas elit, ada di lingkungan pemulung sampai lingkungan pengulang.
Kata Syekh Abdulqadir Audah, yang paling menyedihkan kalau hal itu ada di
tingkat elit dan pengulung. Karena mereka ini rata-rata mempunyai pengaruh yang
kuat, lantaran status sosialnya yang mapan. Mereka itu enggan terhadap hukum
Islam, walaupun tidak mau dikatakan ‘tidak Islam. Dan karena jumlahnya cukup
banyak, sering pula dijadikan ‘alat pembenaran’ oleh kelompok tertentu. Misalnya
perolehan suara partai Islam dalam pemilu ke pemilu tahun 1955-1999 sangat
kecil, dibandingkan dengan partai yang tidak berasas Islam. Ini, menunjukkan
bahwa ummat Islam sendiri tidak menyukai Islam. Akhirnya, apa saja yang
menggunakan lebel Islam tidak disukai dan tidak diminati, mereka lebih suka
bergabung dengan non Islam daripada dengan kelompok Islam. Mirip dengan apa
yang digambarkan Allah dalam al-Qur’an : “Kalau dia diingatkan agar mematuhi
hukum-hukum Allah, malah bersikukuh dengan dosa-dosa yang dilakukannya dengan
penuh kebanggaan”.
Kelompok ini
sementara ini kurang mendapat perhatian, padahal mereka ini sangat potensial,
terutama bagi kalangan elit. Di sini diperlukan kelenturan dakwah baik teknis
maupun bahasanya. Untuk golongan ini dakwah melalui pendekatan cultural sangat
perlu, dengan catatan ‘tidak keluar dari koridor Islam yang bersumber pada
Qur’an dan Sunnah’. Sementara kultur sendiri asal artinya adalah budaya atau
kebudayaan, ialah : (1). Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat, atau (2). Keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah laku. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Berbicara tentang karya batin atau ilmu, Islam sangat
respect, bahkan selalu menganjurkan umatnya untuk selalu berthalabul ilmi
dari buaian sampai ke liang lahat (minal mahdi ilalahdi) atau yang sekarang
dikenal dengan ‘long life iducation’. Juga tentang masalah seni dan adat
istiadat Islam sangat menghargai. Bahkan ada hadis yang berbunyi :
Artinya:
“Sesungguhnya Allah ta’ala itu indah, suka yang indah-indah”. (HR. Muslim
dan Tirmidzi).
Al-Qur’anul
Karim sendiri yang bersajak, dan dianjurkan membacanya dengan lagu, adalah
suatu seni. Sehingga tidak seorang ulama’ pun, setahu saya, yang tidak mengakui
akan keesahan seni baca al-Qur’an dan seni tulis al-Qur’an (tahsinul khath).
Dilihat dari sisi ini, maka Islam tidak menentang kultur. Dan
kultur sebagai hasil karya manusia layak dipakai media Dakwah, takubahnya
dengan penemuan-penemuan qaidah fiqhiyah dan ushul fiqih untuk memahami nas
al-Qur’an dan hadis serta alat beristimbat hukum.
Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 07-2002