A.
Pengertian
Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Muhammadiyah
Alhamdulilah,
Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan yang disusun dan dibuat berdasarkan program
Muhammadiyah bidang ekonomi sebagaimana diputuskan dalam Muktamar ke 46 di
Yogyakarta. Demikianlah pengantar ini kami sampaikan. Atasnama Majelis Ekonomi
dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Majelis
ekonomi dan kewirausahaan Muhammadiyah merupakan salah satu majelis yang
mengatur dan menjaga aset keuangan yang ada dalam tanwil Muhammadiyah.
Pemberdayaan ekonomi umat di Persyarikatan Muhammadiyah dilaksanakan oleh
Majelis Ekonomi. Pemberdayaan ekonomi umat merupakan hal yang penting bagi
Muhammadiyah karena berkaitan dengan tujuannya yaitu terwujudnya masyarakat
makmur, artinya terpenuhinya kebutuhan materiil. Penelitian ini berusaha
mengungkap fungsi Majlis Ekonomi Muhammadiyah dalam pemberdayaan ekonomi umat.
B.
Muhammadiyah
dan ekonomi
Jiwa ekonomi
Muhammadiyah, sebetulnya sudah terlihat dari profil kehidupan pendirinya.
Adalah KH. Ahmad Dahlan yang bekerja sebagai pedagang batik (bussinessman)
di samping kegiatan sehari-harinya sebagai guru mengaji dan khatib. KH. Ahmad
Dahlan sering melakukan perjalan-an ke berbagai kota untuk berdagang. Dalam
perjalanan bisnisnya, KH. Ahmad Dahlan selalu membawa misi dakwah Islamiyah.
Naluri dan aktivitas bisnisnya tentu disinari oleh ajaran Islam, sehingga
tingkah laku yang dilakukannya dicontoh dan menjadi inspirasi bagi para
pengikutnya.
Kepada para
aktivis organisasi dan para pendukung gerakannya, KH. Ahmad Dahlan
berwanti-wanti: “Hidup-hidupilah Muhammad-iyah, dan jangan hidup dari
Muhammadiyah”. Himbauan ini menimbul-kan konsekuensi tertentu. Warga
Muhammadiyah tidak bisa memper-juangkan kepentingan ekonominya lewat organisasi
ini. Mereka hanya menyumbangkan harta dan tenaganya untuk dakwah dan amal
usaha, misalnya mendirikan sekolah dan panti asuhan anak yatim piatu atau
menyantuni fakir miskin.
Lebih lanjut
Dawam Rahardjo mengatakan, konsekuensi yang lain adalah bahwa untuk
memperjuangkan kepentingan ekonominya, mereka harus memajukan usahanya agar
bisa membayar zakat, shadaqah, infaq atau memberi wakaf, warga Muhammadiyah
harus menengok ke organisasi lain. Pada waktu itu, yang bergerak di bidang
sosial-ekonomi adalah Sarikat Dagang Islam (SDI), kemudian bernama Sarekat
Islam (SI) itu. Itulah sebabnya warga Muhammadiyah sering berganda keanggotaan,
Muhammadiyah dan Sarikat Islam.
Warga
Muhammadiyah di kota-kota Industri, seperti Yogyakarta, Pekalongan, Solo,
Tasikmalaya, Tulungagung, dan kota lainnya meru-pakan tulang punggung gerakan
koperasi, terutama koperasi batik. Tetapi aktivitas mereka tidak atas nama
Muhammadiyah, walaupun langkah tokoh-tokoh koperasi tersebut sangat jelas
keberpihakannya kepada Muhammadiyah.
Dari ulasan
di atas, jelaslah bahwa Muhammadiyah lahir dari para pedagang (entrepreneur),
dan ternyata para pengurus Muhammadiyah pada perkembangannya hingga mencapai
tingkat kejayaan, juga lebih didominasi oleh para pebisnis yang memiliki misi
yang jelas terhadap perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Fakta tersebut
tentu berimplikasi positif pada eksistensi lembaga dan pemberdayaan ekonomi
bagi tubuh Muhammadiyah.
Musthafa
Kamal Pasha mengemukakan bahwa dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah yang luas
dan besar itu, luas dan besar pula amal usaha Muhammadiyah. Sudah barang tentu
pada mula-mula usahanya belum sebesar yang ada sekarang ini, lebih-lebih pada
saat itu banyak pula rintangan dan halangan yang dihadapi, baik dari
ulama-ulama yang belum dapat menerima cara pemahaman agama Islam KH Ahmad
Dahlan, maupun kaum pemegang adat yang gigih mempertahankan tradisi
nenek-moyangnya. Segala rintangan dan halangan tersebut, sama sekali tak
mengurangi usaha Muhammadiyah. Dengan segala kesabaran dan keuletannya, KH.
Ahmad Dahlan terus berusaha mengatasinya tanpa memperhatikan betapa beratnya
rintangan dan halangan.
KH. Ahmad
Dahlan juga selalu mengajarkan dalam pengajiannya bahwa Islam tidak hanya
bersifat ucapan, akan tetapi harus diaplikasi-kan dalam serangkaian aksi nyata
berupa amalan yang konkrit dalam berbagai bidang. Sebagai organisasi gerakan
Islam, di samping mengem-bangkan bidang pendidikan, sebenarnya Muhammadiyah pun
telah merintis gerakan-gerakan sosial sejak didirikan. Namun secara
kelem-bagaan, Muhammadiyah baru melakukan aksi sosial berupa pembagian zakat
fitrah khususnya untuk fakir miskin sejak tahun 1926. Pada tahun sebelumnya,
tepatnya tahun 1921, Muhammadiyah memprogramkan perbaikan ekonomi rakyat, salah
satunya adalah dengan membentuk komisi penyaluran tenaga kerja pada tahun 1930.
Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1959 mulai dibentuk jama’ah Muhammadiyah
di setiap cabang dan terbentuknya dana dakwah.
Usaha
Muhammadiyah memperbaiki ekonomi anggota dan umat mendorong rencana kongres
besar produksi dan niaga Muhammadiyah pada tahun 1966. Dua tahun berikutnya,
tahun 1968, Muktamar ke-37 di Yogyakarta menetapkan program Pemasa (Pembangunan
Masyarakat Desa), sehingga dibentuk Biro pemasa sebagai pelaksana. Pokok
pan-dangan Muhammadiyah terhadap pembangunan desa tersebut meru-pakan strategi
dakwah pengembangan masyarakat yang berorientasi pedesaan. Selanjutnya dalam
menanggapi permasalahan bidang eko-nomi khususnya Bank, Muhammadiyah menetapkan
bahwa bunga Bank yang dikelola oleh swasta hukumnya haram.
Sementara
Bank Pemerintah, Muhammadiyah mengambil keputusan bahwa hukumnya mutasyabihaat.
Dalam hal kerjasama dalam bidang perbankan, Muhammadiyah pernah menandatangani
kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia di Jakarta. Pertimbangan sikap
Muhammadiyah terhadap bunga Bank dan kerjasama tersebut waktu itu adalah
kepentingan umum. Permasalahan ekonomi dan bank kembali muncul ke permukaan
dalam Muktamar Tarjih di Malang pada tahun 1989 dalam pokok acara Asuransi dan
Koperasi Simpan Pinjam.
Program-program
ekonomi yang dirancang ternyata menjadi dorongan untuk terbentuknya Majelis
Ekonomi Muhammadiyah. Penegasan peran Muhammadiyah untuk terlibat dalam
problematika perekonomian nasional, terlahir pada Muktamar ke-41 di Solo tahun
1985 dengan terbentuknya Majelis Ekonomi Muhammadiyah secara resmi. Namun yang
sangat disayangkan adalah perkembangan Majelis Ekonomi tersebut mengalami
kevakuman lebih dari sepuluh tahun. Anwar Ali Akbar dan Mas’ud mengemukakan bahwa kevakuman majelis ini
karena memang hanya diorientasikan sebagai advokasi bagi problem-problem
perekonomian nasional. Sadar akan hal itu, tepatnya pada Muktamar ke-43 di
Banda Aceh, akhirnya nama Majelis Ekonomi Muhammadiyah diubah menjadi Majelis
Pembina Ekonomi Muhammadiyah (MPEM). Tentunya hal ini mempunyai tujuan agar
terjadi perubahan orientasi yang terfokus pada misi pemberdayaan dan pembinaan
ekonomi umat.
Majelis
Pembina Ekonomi Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Amien Rais merumuskan visi
dan misinya ke dalam tiga jalur, yaitu: 1) Mengembangkan badan usaha milik
Muhammadiyah (BUMM) yang merepresentasikan kekuatan ekonomi organisasi
Muhammadiyah, 2) Mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah, dan 3)
Memberdayakan angota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan mengembangkan
usaha-usaha milik anggota Muhammadiyah.
Dalam upaya
membumikan visi dan misi guna terciptanya pember-dayaan ekonomi umat, pada
dasarnya Muhammadiyah telah memiliki modal yang memadai. Sebagaimana
dikemukakan Anwar Ali Akbar dan Mas’ud, selama ini Muhammadiyah sudah banyak
me-miliki aset atau sumber daya yang bisa dijadikan modal, diantaranya:
Pertama, sumberdaya
manusia. Sebagai organisasi yang berbasis massa masyarakat perkotaan,
Muhammadiyah mempunyai SDM maju yang sangat beragam dan berpendidikan;
Kedua, lembaga
yang telah didirikan. Pada awal perkembangannya, Muhammadiyah telah berhasil
mendirikan berbagai macam bangunan sesuai dengan fungsi dan orientasi masing-masing
yang juga bisa dioptimalkan sebagai wadah pemberdayaan eko-nomi umat;
Ketiga, organisasi
Muhammadiyah, dari pusat sampai ke ranting. Majelis Pembina Ekonomi
Muhammadiyah (MPEM) kembali berubah nama menjadi Majelis Ekonomi PP
Muhammadiyah pada Muktamar ke-44 di Jakarta.
Namun, sebagaimana diungkap Mu’arif,
dalam persoalan ekonomi ini, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami posisi
dilematis. Di satu sisi, visi ekonomi ketika hendak membangun perekonomian yang
tangguh haruslah didasarkan pada profesionalisme. Adapun untuk mengantarkannya
pada profesionalisme itu biasanya menggunakan cara yang mengarah pada dunia
bisnis kapitalis. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan visi kerakyatan
yang pada awal berdirinya persyari-katan menjadi agenda utama.
C. Sebuah Gugatan
Amal usaha muhammadiyah yang
berkembang pesat, terutama pendidikan berdiri lebih dilatarbelakangi oleh
proses bottom up. Artinya kebanyakan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang
tersebar di negeri ini, mulanya didirikan oleh warga Muhammadiyah secara
pribadi atau yayasan lokal. Kemudian setelah lembaga tersebut eksis, dikonversi
menjadi sekolah Muhammadiyah. Jadi, Muhammadiyah secara kelem-bagaan dalam hal
ini hanya menjadi fasilitator, bukan inisiator. Yang menjadi inisiator adalah warga
Muhammadiyah yang mempunyai komitmen bagi kelangsungan gerakan dakwah
Muhammadiyah. Hampir semua sekolah Muhammadiyah yang berasal dari wakaf warga
Muhammadiyah yang telah dirintis dengan susah payah, dan setelah survive,
mereka rela menyerahkannya kepada Muhammadiyah.
Fenomena yang terjadi di sektor
pendidikan tidak terjadi pada bidang ekonomi. Badan-badan usaha di
Muhammadiyah, semuanya lahir secara top down. Dalam hal ini,
Muhammadiyah secara institusi menjadi inisiator, bukan menjadi fasilitator.
Sebut saja, PT. Solar Global dan Bank Persyarikatan.
Sampai saat ini diakui bahwa belum
ada Badan Usaha milik Muhammadiyah atau lembaga ekonomi lainnya yang bisa
diandalkan. Harus diakui bahwa pada point ini, Muhammadiyah itu “kalah” oleh
organisasi masyarakat atau yayasan keagamaan lainnya. Sebut saja Daaruttauhid
sebagai pendatang baru yang telah mampu membangun dan mengem-bangkan
keran-keran ekonomi yang dapat menghidupkan eksistensi lembaga dan memberikan
manfaat kepada masyarakat terutama secara ekonomi.
Memang benar adanya, jika dikatakan
bahwa Muhammadiyah melalui MPEM telah mendirikan 550 unit koperasi di seluruh
Indonesia. Kemudian dari koperasi-koperasi yang ada dikembangkan menjadi BMT
(Baitul Maal wat Tamwil). Namun pertanyaan kemudian, Koperasi atau BMT mana
yang mampu menuai keberhasilan?
Pertanyaan selanjutnya, kenapa sektor perekonomian di tubuh Muhammadiyah
begitu terpuruk? Atau berbanding terbalik dengan sektor pendidikan?. Hal ini
dikarenakan oleh, pertama, terjadi perubahan paradigma di tubuh
Muhammadiyah. Perubahan paradigma ini berawal dari karakter kepemimpinan yang
dibangun. Sebagaimana telah dijabar-kan bahwa Muhammadiyah lahir dan
dikembangkan oleh naluri para pedagang. Sedangkan periode penerusnya banyak
dipimpin oleh para pegawai atau karyawan yang kurang memiliki naluri bisnis,
sehingga bisnis apapun yang dikembangkan sulit berkembang, bahkan membahayakan
Muhammadiyah itu sendiri. Kedua, proses yang terjadi adalah top
down bukan bottom up. Peran Muhammadiyah bukan sebagai fasilitator
bagi warganya untuk berjuang secara ekonomi tetapi malah menjadi inisiator yang
kerap kali menimbulkan masalah. Masalah yang terjadi juga dilatarbelakangi oleh
berbagai hal, seperti keterbatasan sumberdaya, kurangnya amanah, serta faktor
lainnya.
D. Bangkit dari Nol
Keterpurukan yang dialami
Muhammadiyah dalam bidang ekonomi seyogyanya menjadi pelajaran berharga.
Muhammadiyah dituntut untuk melakukan terobosan baru dan langkah konkrit untuk
membangkitkan ekonominya, sehingga bisa menghidupkan eksistensi lembaga dalam
rangka menjalankan peran dan fungsinya, serta dalam melakukan pem-berdayaan
ekonomi umat pada umumnya. Kasus Bank Persyarikatan yang telah mengotori
Muhammadiyah menjadi pelajaran berharga.
Pada bagian lain, sektor pendidikan
dan kesehatan nampaknya bidang yang menonjol di Muhammadiyah. Ironisnya,
walaupun tidak profit oriented dalam melakukan aktivitasnya, namun
lembaga pendidikan dan rumah sakit yang dimiliki Muhammadiyah terbukti memiliki
andil yang sangat besar dalam menghidupkan eksistensi persyarikatan. Sektor ini
telah membantu eksistensi setiap level kepemimpinan di Muhammad-iyah, baik dari
sisi finansial, apalagi dalam pembentukan kader persyarikatan sehingga diyakini
bahwa sektor ini mempunyai potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh dan
lebih besar.
Kembali ke permasalahan ekonomi,
Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi yang dijawantahkan dalam berbagai
langkah aksi yang strategis dalam mengembangkan bidang tersebut. Terobosan yang
di lakukan hendaknya sistematis dan mempertimbangkan kondisi realitas secara
matang. Beberapa langkah di bawah ini nampaknya perlu dipertimbangkan
Muhammadiyah untuk bangkit dari nol, serta menata kembali pranata ekonomi yang
mengalami degradasi dan menyedihkan itu. Langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
Pertama, kembali ke
khittah atau paradigma awal dalam pengembangan ekonomi Muhammadiyah, yaitu bottom
up. Di samping itu, adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang jujur dan
amanah. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak sedikit manusia cerdas yang
bergabung dan turut berkiprah di Muhammadiyah. Namun kenapa terjadi keterpurukan?
Salah satu sebab utamanya adalah kurangnya amanah dan kejujuran pada mereka
yang mengelola lembaga-lembaga yang ada di Muhammadiyah. Menanamkan sikap
tersebut bukan sesuatu yang seder-hana, seluruh anggota Muhammadiyah perlu
melakukan rethinking tentang Muhammadiyah itu sendiri. Ideologi
Perjuangan Muhammadiyah “amar ma’ruf nahi munkar” harus benar-benar
tertanam dalam jiwa seluruh anggota Muhammadiyah.
Kedua,
revitalisasi Majelis/ lembaga/ badan usaha yang dimiliki dari pusat sampai ke
ranting. Jika dicermati secara seksama, terlihat jelas bahwa lembaga ekonomi
yang dimiliki dari pusat sampai ranting telah mengalami kehilangan elan
vitalnya serta kehilangan orientasi. Hal ini harus menjadi perhatian yang
serius bagi semua warga Muhammadiyah.
Ketiga, menjalin
kerjasama ekonomi dengan lembaga yang jelas, sehingga terciptanya sebuah
kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak (simbiosis mutualisme).
Kerjasama bisnis yang dibangun harus ter-buka dengan lembaga manapun asalkan
dalam kerangka kemaslahatan.
Keempat, membentuk
badan usaha yang secara realitas dapat dikembangkan. Sebenarnya, membuka mini
market bukanlah sesuatu yang rumit bagi Muhammadiyah. Namun mengapa tidak
dilakukan?. Mungkin paradigma kita lebih senang memandang langit dari pada
menginjak bumi.
Kelima, dibentuknya
Lembaga Audit sebut saja Majelis Pemeriksaan Keuangan Muhammadiyah (MPKM) yang
dapat memeriksa dan mengevaluasi kondisi keuangan seluruh amal usaha Muhammadiyah.
Majelis tersebut yang tentunya diisi oleh personal yang jujur dan amanah pun
dapat menjadi dewan pertimbangan terhadap rencana-rencana ekonomi Muhammadiyah.
E. Visi
Terciptanya
kehidupan sosial ekonomi umat yang berkualitas sebagai benteng atas problem
kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan pada masyarakat bawah.
F. Misi
1.
Mengupayakan pembangunan ekonomi
rakyat Indonesia khususnya keluarga besar Muhammadiyah.
2.
Mengurangi problem kemiskinan,
keterbelakangan dan kebodohan pada masyarakat melalui peningkatan kehidupan
sosial ekonomi ummat yang berkualitas.
3.
Menjadi pelopor, motivator dan atau
katalisator pembaharuan/perubahan pembangunan ekonomi rakyat Indonesia
berdasarkan nilai-nilai Islam.
Berdasarkan garis besar program,
Majelis ini mempunyai tugas pokok antara lain:
1.
Menciptakan cetak biru (blue print)
pengembangan ekonomi sebagai usaha untuk mengevaluasi dan merancang program
pemberdayaan ekonomi ummat yang efektif.
2.
Mengembangkan model pemberdayaan
ekonomi yang didasarkan atas kekuatan sendiri sebagai wujud cita-cita
kemandirian ekonomi ummat.
3.
Menegaskan keberpihakan Muhammadiyah
terhadap usaha-usaha ekonomi dalam membangun kekuatan masyarakat kecil (akar
rumput) yang dhu’afa dan mustadh’afin melalui kegiatan-kegiatan ekonomi
alternatif.
4.
Mengupayakan terlaksananya ekonomi
syariah yang lebih kuat, terorganisasi dan tersistem.
DAFTAR
PUSTAKA
Mulkhan, Abdul Munir, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
dan Muhammadiyah dalam Perpektif Perubahan Sosial, (Bumi Aksara: Jakarta),
1990.
Akbar, Anwar Ali dan Mas’ud, Muhammadiyah dan
Harapan Masa Depan, (Nuansa Madani: Jakarta), 2002.
Raharjo, Dawam, Dimensi Ekonomi Dalam Masyarakat
Utama, (Perkasa & PP Muhammadiyah: Jakarta), 1995.
——————, Pengembangan
Perekonomian Masyarakat: Sebuah Alternatif Model bagi Muhammadiyah, (Jurnal
Akademika, UM Surakarta, No.3, tahun XII), 1994.
Mu’arif, Meruwat Muhammadiyah– Kritik Seabad
Pembaruan Islam di Indonesia, (Pilar Religia: Yogyakarta), 2005.
Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam– dalam Perspektif Historis dan Ideologis, (LPPI UMY: Yogyakarta),
2003.
Achmad, Nur dan Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah
Digugat– Reposisi di tengah Indonesia yang Berubah, (Kompas: Jakarta),
2000.