Allah yang maha Pengasih dan maha Penyayang tidak membiarkan
manusia berlama-lama menghabiskan waktu hanya untuk mengetahui hakikat dirinya.
Karena telah berlalu ratusan bahkan ribuan filosof, generasi demi generasi dari
segala bangsa, yang memikirkan dengan intens hakikat manusia. Semua
potensi akal, mereka kerahkan untuk sampai pada kesimpulan yang tepat tentang
“apa” sebenarnya manusia itu. Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun filosof
yang berhasil merumuskan “apa itu manusia” dan rumusannya diterima dan dipakai
oleh semua pihak.
Wajar saja, sebagai makhluk yang berpikir, manusia ingin mengerti
dan memahami dirinya. Tetapi semakin mereka ingin mengerti dirinya, mereka
semakin digiring pada sebuah labirin yang membingungkan, seolah tidak
ada pangkal dan tidak ada ujungnya. Semakin mereka ingin memahami dirinya,
mereka seperti berhadapan dengan kotak pandara; ternyata mereka hanya
mengenal kotak luarnya saja, tidak pernah sampai ke inti. Oleh karena itu Allah
“memotong” waktu yang panjang itu dengan membimbing manusia melalui para Rasul.
Orang-orang pilihan yang diutus Tuhan untuk mengenalkan manusia dengan dirinya
sendiri dan hakikatnya. Khususnya Rasulullah Muhammad SAW, yang membawa
Al-Qur’an, memberikan informasi yang sangat menolong para pemikir tentang
manusia sepanjang abad.
Pertanyaan-pertanyaan kontemplatif khas para filosof tentang
manusia dijawab oleh Allah melalui Al-Qur’an dengan singkat dan sederhana,
Artinya: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"(101). (Qs: Al-Baqarah: 156). (101) (Artinya: Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan
kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik
besar maupun kecil).
Betapa satu kalimat singkat dan sederhana di atas telah menjelaskan
dengan sangat luar biasa tentang hakikat manusia. Allah seperti menggulung
waktu yang digunakan oleh para filosof untuk memikirkan hakikat manusia, dalam
satu tarikan nafas saja. Yaitu ketika mereka membaca ayat 156 dalam surat
Al-Baqarah.
Itulah cara Allah mendidik manusia. Dengan memberitahu dari
mana manusia berasal dan ke mana nati dia akan kembali, sesungguhnya manusia
dididik untuk menyadari hakikat dirinya kembali, sebagai abdi Allah yang
berarti harus mau tunduk dan terikat oleh aturan Allah. Dia bukan makhluk yang
datang tiba-tiba ke planet bumi dan alam antah-barantah, yang kemudian
bebas membuat aturan hidup menurut nafsu dan akalnya.
Filosof yang dianggap sebagai Bapak Renaisance, ujung tombak
kebangkitan Eropa, Rene Descartes (1596-1650), dengan gagah menyatakan, “Cagito
ergu sum” (Aku berpikir, maka aku ada).
Apakah kalau Descartes tidak berpikir, itu artinya dia tidak
ada? Kalau “ada” eksistensi, keberadaan maka Sastrawan Prancis asal
kelahiran Aljazair, Albert Camus (1914-1960), lebih heroik lagi berteriak, “Aku
berontak, maka aku ada”.
Seandainya eksistensi manusia hanya diukur dari hasil karyanya
dihadapan manusia lainnya, maka dia akan selesai sampai dipengakuan manusia
saja. Tidak lebih. Tapi manusia adalah makhluk Allah yang sangat mulia. Lebih
mulia dan bisa lebih mulia berlipat-lipat kali dibanding dengan makhluk ciptaan
Allah lainnya.
Pada ayat lain, Allah menegaskan lagi tentang “keabadian”
manusia ini,
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(Qs: Adz-Dzariyat: 56).
Jadi, pernyataan Descartes dan Camus, juga pernyataan-pernyataan
sejenis filosof lain, sudah di hapus kesombongannya oleh Allah sebelum kalimat
itu diucapkan. Manusia, dalam pandangan Islam adalah makhluk, ciptaan Allah
yang harus beribadah dan menyembah kepada Allah. Karena memang untuk itulah
manusia diciptakan. Oleh karena itu, yang paling tepat kredo manusia adalah “Aku
beribadah, tunduk dan patuh kepada Allah, maka aku ada”.
Jadi keberadaan manusia ditujukan hanya untuk beribadah kepada
Allah SWT. Tentu saja ibadah meliputi seluas-luas pengertian aktivitas
manusia, bukan sekedar shalat atau hanya duduk berdzikir, menjauhkan diri dari
hiruk-pikuk duniawi. Allah mendidik manusia melalui Al-Qur’an yang aplikasinya
telah diejawantahkan dengan sangat sempurna oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan
keseharian beliau. Karena manusia, dalam Islam memang sebagai objek pendidikan yang
tak habis-habis, dan sekaligus pelakunya.
Sesungguhnya keberadaan manusia di sisi Allah baru menemukan
hakikatnya ketika mereka sepenuhnya mengabdi kepada Allah. Artinya dia
menyerahkan dirinya hanya untuk pengabdiannya kepada Allah. Pengabdian manusia kepada
Allah itulah yang memberi nilai dirinya. Sehebat, sekaya, sepandai, sekuat atau
setenar apapun manusia, kalau dia tidak mengabdi kepada Allah, Tuhan alam
semesta, maka dia sama sekali tidak ada artinya dalam pandangan Allah SWA.
Hanya dengan begitu maka karya-karya prestatif duniawi manusia bernilai
dihadapan orang lain lebih lagi di sisi Allah.
Sumber: Aziz, Abdul Hamka, Pendidikan karakter Berpusat Pada Hati,
(Al-Mawardi Prima: Jakarta), 2011.