Ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan cara
memaksimalkan penggunaan potensi-potensi yang ada pada dirinya, sesungguhnya
manusia sedang menciptakan budaya,kultur yaitu keseluruhan tatanan
sosial, sistem nilai dan norma, kebiasaan serta adat-istiadat yang merupakan
hasil kreasi dan rekayasa akal budi.
Budaya, dikatakan oleh sebagian sosiolog, antropolog dan sejarawan
tercipta dari hasil budi (akal) dan daya (kekuatan, keinginan, ikhtiar). Dan
kekuatan akal serta keinginan manusia tidaklah tetap, melainkan selalu berubah
sesuai dengan perkembangan zamannya. Juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
tertentu, misalnya kondisi kejiwaan, gejolak sosial dan sebagainya.
Kalau kita setuju dengan anggapan di atas, maka kita bisa menerima
kenyataan bahwa budaya itu bisa tidak abadi, tamporal, hanya berlaku pada satu
kurun waktu tertentu, serta terbatas pada suatu komunitas manusia saja. Karena
ketika manusia telah merasa semua kebutuhannya terpenuhi, maka mereka akan segera
menciptakan kembali kebutuhan yang lain, yang berbeda dengan kebutuhan
sebelumnya. Bisa jadi produk budaya itu ditinggalkan setelah ada produk
(budaya) yang baru. Terutama produk budaya berupa alat bantu, seperti
kendaraan. Yang harus juga diingat, manusia cenderung ingin selalu memiliki
yang baru dan akan terus berusaha memiliki yang baru.
Ketika belum ada alat transportasi yang bisa ditunggangi, manusia
menunggangi hewan. Tapi hewan tidak bisa ditunggangi dengan jumlah manusia yang
besar. Maka manusia berusaha menciptakana alat tunggangan lain, meskipun tetap
menggunakan “jasa” hewan, misalnya kereta kuda atau gerobak. Ketika ingin
menyeberangi sungai atau mengarungi lautan, manusia mencipakan sampan atau
perahu layar. Lalu muncul lagi kebutuhan akan tunggangan yang lebih ringan dan
simpel, maka terciptalah sepeda. Dari sepeda, manusia butuh pada tunggangan
yang tidak membuatnya terlalu mengeluarkan tenaga ketika mengendarainya, maka
terciptalah motor, mobil, kereta api, kereta listrik dan seterusnya. Sampai
akhirnya manusia bisa menciptakan tunggangan atau kendaraan yang bersifat
massal dan bahkan bisa mempersingkat waktu tempuh, seperti pesawat udara.
Tapi beberapa produk budaya, terutama yang berkenaan dengan tingkah
laku, seni dan kebiasaan yang kemudian menjadi teradisi, tetap berlaku di suatu
komonitas masyarakat. Bahkan ada upaya-uapaya untuk melestarikannya sebagai
apresiasi terhadap hasil kreasi, imajinasi, olah pikir dan olah rasa manusia
terdahulu. Untuk kasus Indonesia, produk-produk kreasi dan imajinasi itu bisa
menjadi bukti kekayaan budaya bangsa kita di masa lalu. Betapa negeri sejuta
pulau ini luar biasa dalam hal budaya.
Sayangnya, pengertian budaya yang dulu dipahami sebagai hasil budi
daya atau keinginan manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, sekarang
mengalami penyempitan makna. Budaya bukan lagi hasil kontemplasi olah rasa dan
olah pikir, tapi sekarang dipahami sebagai sekedar kebiasaan saja, yaitu
kebiasaan yang dilakukan secara luas oleh orang banyak, dari berbagai lapisan
masyarakat. Celakanya kebiasaan-kebiasaan yang dianggap budaya itu adalah
kecenderungan dan prilaku buruk. Sehingga beberapa perilaku yang tidak terpuji
dianggap sebagai budaya, misalnya kebiasaan datang terlambat (jam karet),
mencari kambing hitam, merasa paling benar, mau menang sendiri, main hakim
sendiri. Misalnya seseorang atau sekelompok orang melakukan aksi-aksi kekerasan
untuk menunjukkan kekuatannya atau untuk memaksakan kehendaknya.
Semua kebiasaan dan perilaku buruk yang disebutkan di atas, pada
mulanya dilakukan orang per orang saja. Tapi lama-kelamaan dilakukan oleh
banyak orang, dan dengan area yang semakin meluas di negeri kita, dan kita
melihatnya sebagai sebuah hal yang wajar. Akhirnya kebiasaan buruk tersebut
dianggap sebagai budaya. Sesungguhnya ini merupakan penyakit sosial. Kalau
keadaan ini dibiarkan saja, maka semua kebiasaan buruk itu akan mengalami
kristalisasi menjadi pseudo karakter bangsa kita. Karakter palsu
manusia-manusia Indonesia.
Bayangkan, bila “budaya” yang buruk-buruk terus menerus hidup atau
dihidupkan di negeri yang kita cintai ini, bukan mustahil cepat atau lambat budaya
itu akhirnya membentuk karakter
kita. Sebab, indikasi atau tanda-tanda ke arah sana sudah jelas. Dalam sosiologi,
misalnya. Sambungan kita pada dunia adalah istilah “amok”. Yaitu istilah
yang merujuk pada perbuatan merusak yang dilakukan dengan sadar secara
bersama-sama. Kita kenal betul dengan istilah itu. Karena setiap ada kerumunan
manusia di negeri ini, di sana terjadi kerusuhan atau amuk massa. Bahkan di
bidang yang seharusnya sportivitas di junjung tinggi, olah raga (terutama sepak
bola), berkelahi antarpemain yang dilanjutkan dengan perkelahian massal
antarsuporter menjadi pemandangan yang biasa. Sebagaimana kita juga menjadi
terbiasa mendengar istilah “budaya berkelahi”.
Tentu saja kita tidak ingin dikenal dunia karena perilaku-perilaku
buruk yang kadung dianggap budaya itu. Kita harus keluar dari sana. Caranya,
salah satunya melalui pendidikan yang terpadu, menyeluruh dan berkelanjutan.