Budaya sekarang adalah produk manusia yang paling mudah diimpor
atau diekspor. Ini dimungkinkan karena canggihnya teknologi, utamanya teknologi
internet. Manusia di mana pun bisa mengakses laman-laman atau
situs-situs apa saja dari seluruh dunia. Tapi celakanya, yang mudah diimpor
atau diekspor itu adalah “budaya” yang buruk. Yang dimaksud dengan budaya yang
buruk itu tidak lain adalah perilaku atau perbuatan-perbuatan buruk. Misalnya,
betapa mudahnya saudara-saudara kita yang tinggal di desa terpencil mengunduh
atau membuka situs pornografi. Apalagi sekarang telepon genggam (handphone)
berharga ratusan ribu rupiah pun sudah dilengkapi dengan fitur internet.
Kemudahan yang diberikan teknologi akhirnya cenderung digunakan
untuk hal-hal yang negatif oleh mereka yang memang berpikiran negatif. Oleh
mereka yang lebih senang memuaskan hawa nafsunya. Kecanggihan teknologi
komunikasi bukan lagi sekedar untuk melancarkan komunikasi, menambah
pengetahuan dan meluaskan wawasan. Oleh sebagian orang keberadaan alat-alat
pintar itu hanya sekedar dijadikan gaya hidup, fashion. Untuk menguatkan posisi
status sosial saja.
Kondisi seperti ini, tanpa kita sadari, sangat berbahaya. Karena
sedikit demi sedikit, bangsa dan negara kita akan mengalami krisis budaya. Yang
melimpah ruah dan berlaku di masyarakat adalah budaya sampah. Sekarang booming,
besok segera dicampakkan, atau ditinggalkan sejauh-jauhnya. Ketika suatu bangsa
atau negara mengalami krisis budaya, maka kemungkinan besar masyarakat, bangsa
atau rakyat negara itu akan mengalami kematian karakter. Lebih celaka lagi,
mereka juga kehilangan identitas/jati diri. Mereka berjalan, tapi tidak tentu
arah. Kalau pun mereka mempunyai arah, tapi mereka tidak mempunyai tujuan yang
jelas. Mereka hanya akan menjadi bangsa pengekor dari bangsa-bangsa lain yang
lebih maju. Mereka tidak lagi mempunyai kepribadian.
Dalam kurun waktu beberapa tahun ini, masyarakat Indonesia yang relegius
sebagian telah berubah menjadi masyarakat yang permisif terhadap nilai-nilai
Barat yang jauh dari akhlak mulia. Dan kondisi ini semakin menjadi-jadi di era
yang lebih terbuka, setelah munculnya teknologi canggih semacam internet.
Dengan mudah anak-anak kita mengakses laman-laman (situs-situs) yang
sesungguhnya tidak etis untuk dilihat, dan bahkan mengakibatkan dosa. Tapi
karena atas nama kebebasan dan hak asasi, akhirnya masyarakat kita menerima itu
sebagai bagian dari konsekuensi kemajuan teknologi. Bukan bagian dari perusakan
moral dan nilai-nilai kebaikan.