Dari dulu hingga kini, orang sering membicarakan hambatan-hambatan
pernikahan. Semua obrolan itu bertemu pada seputar keharusan menurunkan “harga”
mahar dan meringankan konsekuensi-konsekuensi keuangan sehingga terpeliharanya
kehormatan dan kesucian generasi muslim bisa tercapai.
Namun, yang membuat kita semua terkejut adalah saat mendengar bahwa
ada beberapa halangan baru yang muncul ke permukaan yang dihembuskan oleh
orang-orang yang tidak mengerti agama. Beberapa halangan itu mereka tempatkan
dalam rangkaian syarat pernikahan yang kesemuanya dikait-kaitkan dengan agama.
Akhirnya, agama pun berubah menjadi penghalang pernikahan.
Di antara halangan-halangan tersebut yang direka-reka itu adalah
sebagai berikut:
1.
Afiliasi
Aliran
Ketika seorang
pemuda yang merasa paling agamis mengajukan lamaran kepada seorang gadis yang
juga merasa agamis, pertanyaan pertama yang kini sering diajukan salah satu
pihak adalah, “Engkau muslim salafi ataukah muslim modern?” atau “Engkau
berasal dari jemaah mana?”.
Pemuda-pemuda
itu membuat batasan kesetiaan dan kebenaran atas dasar afiliasi kelompok yang
memicu perpecahan. Alih-alih membuat kriteria kesetiaan untuk seluruh muslimin
dan kesesatan untuk seluruh orang kafir yang memerangi umat Islam, karena kini
membuat sekat dengan mengatakan bahwa kebenaran dan kesetiaan hanya untuk
jemaah Islam ini, sedangkan umat Islam di luar jemaah itu adalah sesat. Sikap
seperti ini adalah musibah di atas musibah.
Ketika
persoalan besar seperti ini memecah belah barisan umat Islam dan mengancam keutuhan
sebuah keluarga, maka kerancuan berpikir yang mengusai pikiran anak-anak muda
kita yang merasa paling agamis itu harus dihentikan.
Agama Allah
sangatlah jelas, inklusif, dan mudah tidak memerlukan jemaah-jemaah eksklusif
yang melambangkan fanatisme buta, atau dakwah-dakwah bawah tanah, atau
pertemuan-pertemuan yang diselimuti kegelapan yang di dalamnya imam-imam yang
bodoh memalingkan para pemuda Islam dari Islam yang benar. Gerakan-gerakan
jemaah eksklusif seperti itu ibarat bunglon-bunglon yang membawa kerusakan, dan
kita sebagai umat muslim memiliki hak untuk menghancurkannya.
Rasulullah SAW
bersabda: Artinya: “Sesungguhnya agama ini mudah. Hendaknya seseorang tidak
mempersulit agamanya kecuali ia akan kalah. Oleh karena itu, mudahkanlah,
dekatkanlah, dan tolong menolonglah dalam kemudahan”. (HR. Bukhari).
2.
Hiasan
Perempuan
Para pemuda
kita ketika hendak melangsungkan pernikahan biasanya meributkan masalah niqab
atau hijab. Jika calon mempelai wanita tidak memakai niqab, pemuda
yang fanatik akan memandangnya sinis dan segera memberikan stigma negatif
kepadanya.
Ini merupakan
salah satu badai yang sering menggangu keluarga Islami modern. Niqab bukanlah
kewajiban, bukan pula hal yang sunnah, dan bukan pula amal utama dalam syariat.
Niqab hanyalah adat dan kebiasaan yang tidak bisa kita wajibkan, ataupun kita
larang.
Pendapat yang
membawa niqab keluar dari batasan ini merupakan pemutarbalikan hukum syara’,
menyia-nyiakan waktu, dan debat tak cerdas yang tak berujung pangkal.
Agama adalah
muamalah. Agama bukan persoalan berniqab atau tidak. Cukup bagi muslimah untuk
mengenakan busana sesuai standar dan batasan yang ditetapkan Islam dengan
spesifikasi syar’i yang menutup badan, tidak mempertontonkan aurat, dan tidak
menyerupai pakaian pria serta membungkus seluruh tubuh selain wajah dan dua
telapak tangan secara alami dan tidak berlebih-lebihan.
3.
Perdebatan
Ketika sepasang
muda-mudi yang keduanya merasa paling taat beragama hendak menikah, maka
masing-masing pihak akan saling membanggakan diri sendiri melalui
perdebatan tersebut. Seperti seputar:
“Kamu hafal berapa juz?” Berapa hari kau berpuasa sunnah?”
Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu sering mereka pikir sebagai cara untuk mengukur tingkat keagamaan
seseorang. Persoalan-persoalan seperti itu sangat tidak bermanfaat, sebab tidak
mencerminkan oreintasi yang lurus dalam perilaku yang benar dan tidak bisa
dijadikan sebagai standar baku dalam menilai kualitas bergama seseorang. Pemuda
dan pemudi masih dalam tahap pembentukan. Kita tidak bisa menuntut mereka untuk
menjadi malaikat atau wali. Cukup bagi mereka mengatahui perspektif umum agama
yang biasa dipegang oleh mayoritas umat Islam. Pemuda atau pemudi yang taat
dalam beribadah bukan berarti dia sudah lepas dari salah dan dosa.
4.
Poligami
Salah satu
pertanyaan aneh, asing dan tidak biasa yang seingkali dilontarkan muda-mudi
yang merasa paling taat bergama adalah pertanyaan tentang poligami. Keduanya
biasanya akan bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Yang lelaki akan
bertahan dengan pandangannya bahwa poligami adalah sarana mendekatkan diri
kepada Allah dan yang perempuan akan berupaya mensyaratkan kepada calon
suaminya untuk tidak melakukan poligami. Tidak jarang perselisihan pendapat itu
berakhir dengan pembatalan pernihakan.
Semestinya,
kehidupan suami istri dimulai dengna kabar gembira dan sikap optimis serta
keinginan kuat untuk membangun janji setia antar sepasang suami-istri. Namun,
pemikiran setan mendorong kedua belah pihak untuk melontarkan pertanyaan
tentang poligami. Dan bagaimana mungkin seseorang itu mendekatkan diri kepada
Allah melalui poligami sementara ia tidak bisa bersikap adil terhadap
istri-istrinya?. Masalah-masalah seperti ini seharusnya dihindari, karena sama
sekali tidak mengandung nilai manfaat di dalamnya.
5.
Membunuh
Perasaan
Sejumlah pemuda
yang merasa paling agamis saat hendak melamar, duduk untuk pertama kalinya di
hadapan seorang gadis. Setelah itu muncullah pertanyaan beruntun dari kedua
belah pihak yang mempersoalkan kebenaran beragama pada jamaah tertentu dan
kesesatan pada jamaah yang lain, lalu tentang hijab dan niqab, lalu poligami,
dan seterusnya.
Bila sudah
tercapai titik temu antara kedua belah pihak dalam persoalan-persoalan
tersebut, pemuda tadi pun akan menolak untuk duduk bersama calon istrinya dan
menghentikan kunjungannya ke rumah keluarga calon mertuanya degan alasan
dirinya adalah pria asing yang bukan mahramnya dan ia tidak diperbolehkan untuk
melihat calon istrinya kecuali sekali atau dua kali.
Dengan
demikian, hati pun saling berjauhan. Bahkan, terkadang pihak pria tidak
menegaskan dirinya sendiri akan kondisi dan keadaan calon istrinya tapi merasa
cukup dengan hanya melihat ibu tau saudari calon istri. Apabila pernikahan
sudah berlangsung, maka perkawinan itu akan menjadi perkawinan dingin, tanpa
perasaan dan tanpa cinta kasih.
Persoalan
di atas pun, merupakan salah satu penghambat hilangnya keharmunisan dalam rumah
tangga, dan tidak hanya itu persoalan tersebut sudah menyimpang dari ajaran
Islam. Karena itu sebagai seorang muslim, harus bisa menghindari persoalan-persoalan
yang tidak berdasar yang hanya mengganggu peroses berlangsungnya pernikahan.