Ada sebuah perumpaan yang indah yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW dimana beliau mengibaratkan bahwa sikap hidup mintalitas orang-orang
beriman itu seperti lebah. Sifat-sifat binatang biasanya kalau dinisbahkan
kepada manusia sering berkonotasi negatif, manusia bermental tikus misalnya;
kenapa? karena amalan tikus itu suka menggeragoti barang-barang yang disimpan
baik-baik, uang negara disimpan baik-baik digeragoti oleh tikus, hutan lindung
dijaga digeragoti oleh tikus, ilegalloging namanya, sebab tikusnya sekarang
memakai dasi. Manusia bermental kera/monyet, apa kera itu tamak bin rakus alias
serakah. Coba monyet beri pisang dimakan penuh mulutnya, beri lagi tangannya
yang megang, diberi lagi kakinya pun bisa megang, mulut penuh, tangan penuh,
kaki megang teman sebelahnya diberi pisang masih dirampas juga. Manusia
bermental monyet menjadi penghalang bagi tumbuhnya pemerataan sehingga sering
terjadilah gunung ditimbun sumur digali, gunung yang sudah tinggi ditimbun
sumur yang sudah dalam masih digali lagi. Sikap binatang jika dinisbahkan
kepada manusia sering berkonotasi negatif.
Tapi kali ini, Rasul mengibiratkan bahwa mentalitas orang mukmin
seperti lebah, apa sih lebah itu, kenapa orang mukmin seperti itu, mari kita
kaji lebah. Yang pertama lebah itu yang dihisap selalu saripati bunga belum
pernah lebah makan yang lain, belum pernah kita mendengar ada lebah yang makan
peyek, lebah makan tahu, belum pernah. Yang dihisap adalah saripati bunga ini
potret, orang beriman itu mentalitasnya selektif yang dimakan yang Allah ridha,
yang diminum yang Allah ridha selektif dia karena apa, karena yang kita makan
yang kita minum akan masuk ke perut besar digiling oleh perut besar melahirkan
energi, menggerakkan sel-sel pembuluh saraf, kalau itu dihasilkan dari barang-barang
yang haram kita akan cenderung berpikir yang harap juga, tidak ada maling yang
memikirkan majelis ta’lim, yang dipikirkan rumah siapa lagi nanti malam, karena
itu umat ini, orang yang beriman selektif, yang diminum yang Allah ridha yang
dimakan yang Allah ridha yang dipakai pun yang Allah ridha itu mentalitas.
Kita hidup di dunia yang semakin mengglobal, persaingan semakin
tajam dan ketat, tapi seiring dengan itu kita makin banyak punya pilihan,
jangankan soal makan dan minum, soal ibadah saja orang banyak pilihan sekarang
ini, di depan rumahnya ada masjid dia shalat jum’at di masjid yang lain yang
lebih jauh, dia mau bayar taxi, waktu ada orang tanya hai ful depan rumah kamu
ada masjid, kenapa tidak shalat di sana? Apa jawabnya, saya shalat di sana merasa
tambah ilmu mas, khutbahnya bagus, shalatnya khusyu’, imamnya bacaannya fasih,
wong masjid kita ini khutbahnya bahasa arab, imamnya aja tidak mengerti apalagi
saya. Soal ibadah pun orang sudah memilih. Begitulah kemudahan yang dihasilkan
oleh ilmu dan teknologi menyebabkan kita memiliki banyak pilihan, karena itu
dalam hal sandang, pangan dan papan, filter harus kuat, orang mukmin
mentalitasnya tidak asal pakai, tidak asal makan dan tidak asal minum tapi ada
fream Allah ridha apa tidak, yang diminum yang Allah ridha, yang dimakan yang
Allah ridha yang dipakai pun yang Allah ridha, itu mentalitas. Yang dihisap
selalu saripati bunga, yang dimakan makanan yang baik, baik menurut siapa,
tentu menurut Allah bukan menurut orang kita, kalau menurut kita kan relatif,
baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain, jadi barometernya itu
yang baik adalah, apalah yang dikatakan oleh Allah.
Yang kedua lebah itu, yang dikeluarkan selalu madu, yang dihisap
saripati bunga yang dikeluarkan madu. Yang masuk baik yang keluar juga baik.
Ucapannya baik, tingkah lakunya baik, perbuatannya baik bahkan diamnya pun
untuk sesuatu yang baik, luar biasa contoh ini, begitulah orang mukmin itu.
Ucapannya tingkah lakunya, perbuatannya membawa manfaat bagi lingkungannya. Dan
ini diperkuat oleh yang ketiga dari lebah itu ialah kemana, dimana dia hinggap
tidak ada satupun dahan yang patah, coba perhatikan ke mana saja dia terbang,
di mana saja dia hinggap tidak ada dahan yang patah, kalau ini mentalitas orang
mukmin artinya ke manapun dia pergi di mana pun dia tinggal pantang bagi
dirinya sebagai biang kerok buat lingkungannya. Dalam hal ini orang orang
mukmin dituntut untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungannya, di mana
dia hinggap, ke mana dia pergi tidak ada dahan yang patah.
Tapi yang ke empat lebah ini, jangan coba-coba diusik, jangan
coba-coba diganggu, kalau sekali kita ganggu dia ke manapun kita pergi insya
Allah dikejar, menyelam air pun, kita masih ditunggunya, tapi kalau tidak
diusik, diganggu tidak ada lebah iseng ke pasar mencari orang untuk digigit
atau disengat, tidak ada. Begitu dia terusik, dia tampil menjaga harga dirinya,
dia tampil mempertahankan kehormatan dirinya, inilah mentalitas mukmin. Dia
tidak pernah mencari gara-gara, tidak pernah mencari musuh, bahkan bertemu
musuh pun pantang bagi dirinya untuk lari.
Kita saring dari empat mentalitas ini, ada dua pokok penting,
yaitu:
Pertama orang mukmin adalah orang yang selektif karena kita tahu,
bahwa makanan dan minuman sangat mempengaruhi bukan saja pertumbuhan biologis
kita tapi juga daya pikir kita, karena begitu makanan dicerna oleh anggota
tubuh kita lalu ditransfer ke seluruh jaringan-jaringan tubuh melahirkan energi
yang menggerakkan sel-sel pembuluh syaraf maka dia akan cenderung kepada dari
mana makanan dan minuman itu berasal. Kalau dia berasal makanan yang haram maka
energi yang menggerakkan sel-sel pembuluh syaraf akan cendrung berpikir kepada
hal-hal yang haram juga akibatnya perbuatan pun akan mengarah kepada yang
haram.Yang kedua orang mukmin itu harus menjadi rahmat bagi lingkungannya,
pantang baginya menjadi biang kerok bagi lingkungannya, kita tahu bahwa ada
tiga tujuan penjajahan ini pertama ekspansi kekuasaan, kedua dominasi ekonomi,
ketiga penetrasi kebudayaan. Dari pertama sudah jelas kita adalah bangsa yang
merdeka tidak ada lagi kekuasan asing yang mengatur kita. Tapi dari dua dan
terakhir, dominasi ekonomi, penetrasi kebudayaan, kita harus berjuang keras
untuk merdeka, secara ekonomi kita masih bergantung kepada bantuan asing, dari
segi penetrasi kebudayaan yang nampak saja, mulai dari makanan, model pakaian
anak-anak dan cucu kita habis dijajah, contoh kecil, makanan, anak anak kita
tidak bangga lagi dengan makanan hasil produk bangsa kita sendiri belum lagi
pakaian, di sinilah kita harus punya filter yang kuat dalam dunia yang makin
mengglobal di mana kita berhadapan dengan sekian banyak pilihan. Bukankah kita
ingat riwayat nabi nuh mengantisipasi banjir beliau diperintahkan oleh Allah
untuk membuat kapal, seperti itulah kita sekarang ini, mungkin sebagian kita menghadapi
banjir lumpur di sidoarjo sana tapi yang tidak kita masih menghadapi fase-fase
banjir itu, entah itu banjir maksiyat dan mungkarat, entah banjir kebudayaan
dan peradaban yang menghancurkan moral anak dan cucu kita. Menghadapi banjir
banjir seperti itu bersikaplah seperti nabi nuh terhadap umatnya dan juga
kepada anaknya. Begitulah cara kita menyelamatkan anak-anak kita dengan naik
kapal iman, naik kapal kebersamaan naik kapal keselamatan agar tidak dihantam
oleh banjir. Semoga mentalitas ini ada pada diri kita semua. Aamiin yang rabbal
‘alamiin.