Pembelajaran dan belajar adalah dua
hal yang tak terpisahkan dan saling berkaitan erat, karena dalam pembelajaran
ada unsur belajar, sebaliknya dalam belajar selalu diawali dengan adanya
pembelajaran. Oleh karena itu keduanya harus seiring sejalan dalam mengawal anak
didik mencapai pemahaman seluruh materi ajar yang ditempuhnya agar berhasil menempuh
pendidikan dengan baik.
Sejauh ini guru telah banyak
mengalami masa kebimbangan setiap kali lahir kurikulum baru. Dalam benak guru,
perubahan kurikulum berarti perubahan segala apa yang telah mapan yang telah
lama ditekuni, disusun, dan dijalankan. Pikiran ini ada benarnya, karena bila
kita renungkan, guru-guru pada masa lalu yang tidak pernah atau jarang
mengikuti penataran, lokakarya, seminar, apalagi TOT, justru malah dapat
menghasilkan generasi anak didik yang luar biasa baiknya dibandingkan sekarang.
Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Sebagai contoh, anak didik jaman
dahulu lebih baik dalam memahami cara menulis huruf yang benar, cara menghitung
tanpa coretan (mencongak), lebih rajin mencatat dan mendengarkan guru, bahkan
mereka yang tidak memiliki bukupun tanpa disuruh guru menjadi ahli meringkas
dari buku teman, bukan seperti sekarang meringkas sebagai tugas guru kepada anak
didik. Ditinjau dari segi afektif, mereka lebih jujur dalam ujian, karena belum
ada fotokopi, sehingga setiap kali ulangan soal hanya dibacakan dan anak didik
langsung menjawab, lebih tertanam nilai-nilai afektif yang dalam, yaitu
menghormati guru, berbagi sesama teman, menghargai bangsanya melalui lagu-lagu
kebangsaan yang hafal di luar kepala. Selain itu dari segi psikomotorik mereka
lebih kreatif dan inovatif ketika harus mengerjakan praktikum dan prakarya,
bahan apapun dapat digunakan, tidak perlu membeli seperti saat ini.
Kita tidak akan mencari dimana letak
terjadinya kesalahan dalam sistem pendidikan saat ini, tetapi lebih pada
memikirkan apa yang dapat dilakukan guru dengan kondisi seperti ini, agar
sisa-sisa nilai pendidikan yang positif jaman dahulu tetap dapat dianut.
Bukankah yang kuno belum tentu lebih jelek daripada yang modern ? Selama yang
kuno tersebut dapat dimodifikasi sedemikian rupa, maka justru di situlah letak
keunggulan pendidikan kita berlandaskan kepribadian bangsa sendiri. Bukan
meniru bangsa lain, karena yang maju di negara lain belum tentu tepat dan baik
untuk bangsa kita. Mengejar ketertinggalan memang HARUS, tetapi jangan lalu
berdiri di awang-awang tanpa menginjak di bumi pertiwi sendiri. Singkat kata, inovasi pembelajaran HARUS kita lakukan,
tetapi harus tetap melihat kenyataan di lapangan. Ya ... melihat gurunya, anak
didiknya, sarana prasarana sekolah, potensi daerah, dan lain-lain. Dengan
demikian inovasi yang dikembangkan dapat dianut dan diterapkan oleh semua
sekolah tanpa embel-embel ”tapi dengan syarat ....”. Inovasi yang seperti
apakah yang dapat menyembatani hal itu agar benar-benar dapat terwujud ? Mari
kita bersama-sama mencoba membahasnya.
Inovasi Pembelajaran
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (1997), inovasi
berarti penemuan sesuatu yang baru atau berbeda dengan sesuatu yang sudah ada
sebelumnya. Sedangkan inovatif adalah bersifat memperkenalkan sesuatu yang
baru. Pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang berupaya membelajarkan anak
didik. Jadi, inovasi pembelajaran adalah suatu aktivitas memperkenalkan sesuatu
yang baru dalam upaya membelajarkan anak didik, atau memperkenalkan sesuatu
yang baru ketika melakukan transfer pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
pada anak didik.
Pengertian “berbeda” bukan berarti benar-benar sesuatu
yang baru, tetapi kita dapat mengambil sesuatu yang sudah lama kemudian
dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang baru yang belum pernah
diperkenalkan pada anak didik. Inovasi pembelajaran dapat
dilakukan terhadap semua komponen pembelajaran, seperti metode, pendekatan,
sarana prasarana, kurikulum, media, lingkungan belajar. Dalam inovasi
pembelajaran, kita mengenal adanya PAKEM, yaitu Pembelajaran Aktif Kreatif
Efektif dan Menyenangkan, tetapi kita perlu menambahkan satu lagi, yaitu pembelajaran
inovatif, sehingga menjadi PAIKEM dengan I di tengah sebagai Inovatif. Prinsip
pembelajaran PAIKEM ini sangat sesuai dengan yang diinginkan dalam KTSP.
Kelima bentuk pembelajaran tersebut dapat dikemas dan
dimunculkan dalam setiap proses pembelajaran, baik sendiri-sendiri maupun
gabungan diantaranya. Namun demikian, mengingat ruang gerak guru sangat
dibatasi oleh alokasi waktu jam pelajaran di sekolah yang harus berbagi dengan
mata pelajaran yang lain, maka hal yang sangat sulit bagi seorang guru untuk
menerapkan kelima bentuk pembelajaran tadi secara bersama-sama. Oleh karena itu, seorang guru tidak harus memaksakan diri
untuk menerapkan kelimanya, tetapi setiap kali pertemuan menerapkan salah satu
diantaranya sudah berarti bahwa guru tersebut melakukan inovasi pembelajaran.
Dalam penciptaan inovasi pembelajaran yang terpenting
adalah kemauan dan keinginan guru untuk mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan
cara membawa anak didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari
suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Hal ini hanya dapat dilakukan
bila guru melakukan inovasi pembelajaran menggunakan prinsip pembelajaran
bermakna dan menyenangkan (meaningful
learning dan joyful learning). Sesuai
dengan pendapat Ausubel (1991) bahwa belajar akan bermakna jika anak didik
dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur
kognitifnya, dan pendapat Bruner (1991) yang menyatakan belajar akan berhasil
lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar (anak
didik). Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila
isi dari yang dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari dan
kata-kata atau kalimat yang didengar sudah familiar
di kepala kita. Melalui inovasi pembelajaran inilah, diharapkan ada perbaikan
praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tidak harus terjadi
secara draktis, tetapi perlahan-lahan tetapi pasti. Perbaikan pada proses
sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Pembelajaran Aktif
Anak didik belajar, 10% dari apa
yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari
apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa
yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak
sejalan dengan yang diharapkan dalam KTSP, yang menginginkan siswa mencapai
suatu kompetensi tertentu yang dapat dikomunikasikan dan ditampilkan.
Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya
perubahan pembelajaran dari teacher
centered ke student centered.
Perubahan ini tentunya tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita
sudah terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi,
sedangkan siswa lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan
perubahan tersebut, tetapi mungkin pencapaian perubahan ini memerlukan waktu
yang tidak sebentar. Bagaimanapun habits
yang sudah terbentuk lama, untuk mengubahnya perlu kesungguhan dan kemauan yang
tinggi dari seluruh komponen yang terlibat dalam sistem pembelajaran.
Kita telah mengenal lama istilah CBSA (Cara Belajar Siswa
Aktif), dan sekarang istilah ini dimunculkan kembali. Hal yang sangat wajar
bila dalam pembelajaran anak didik diharuskan lebih aktif, karena tidak mungkin
seorang guru mampu mengajarkan secara mendalam dan klasikal di hadapan mereka
yang heterogen. Hal ini sejalan dengan pendapat Laster (1985) yang menyatakan
bahwa dalam proses pembelajaran seharusnya lebih ditekankan pada belajar bukan
mengajar.
Pembelajaran aktif artinya pembelajaran yang mampu
mendorong anak didik aktif secara fisik, sosial, dan mental untuk memahami dan
mengembangkan kecakapan hidup menuju belajar yang mandiri, atau pembelajaran
yang menekankan keaktifan anak didik untuk mengalami sendiri, berlatih,
beraktivitas dengan menggunakan daya pikir, emosional, dan keterampilannya. Melalui
pembelajaran aktif diharapkan anak didik akan lebih mampu mengenal dan
mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya. Selain itu,
mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan potensi sumber belajar yang
terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara
sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat menyelesaikan masalah sehari-hari
melalui penelusuran informasi yang bermakna baginya.
Guru yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan
belajar anak didik, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang,
dan memperbanyak gagasan anak didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak
didik yang aktif adalah mereka yang sering bertanya, mengemukakan pendapat,
mempertanyakan gagasan orang lain dan gagasannya sendiri, dan aktif melakukan
suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya, sebagian guru kurang mampu mengajukan
pertanyaan yang menan-tang kepada anak didik, sehingga pembelajaran aktifpun
jarang tercipta. Hal ini kemungkinan disebabkan berbagai hal, seperti alasan
klise karena dikejar waktu untuk menyelesaikan materi hingga tak sempat
berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri untuk membuat dan menjawab
pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanya-an menantang sudah pasti anak
didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari jawaban dan itu berarti
aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan pengetahuannya akan selalu
bertambah dari hari ke hari.
Pembelajaran Inovatif dan Kreatif
Setiap manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan
dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak
didik, jika dalam pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul
semacam energi baru dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang
baru mampu bertindak seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik
untuk mengikutinya.
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran dengan
memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu
yang baru tidak identik dengan sesuatu yang mahal. Apa yang nampaknya sepele,
bisa saja mampu membuat pembelajaran lebih hidup hanya karena sang guru mampu
melakukan inovasi.
Kreatif
adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar dan melepaskan diri dari pola
umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran kreatif adalah pembela-jaran
yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan daya pikir dan daya karsanya
untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran orang kebanyakan.
Untuk
dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat
dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan
kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak
dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita
mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang kita miliki. Kritis
artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu diolah dalam pikiran
hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik kita untuk mencari
jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir kita didasari
pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita berusaha
menjelaskan atau bahkan menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan
fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Sebagai
contoh, seorang guru SD dapat meminta anak didiknya menyimpulkan sifat benda
cair hanya dengan meminta seluruh anak didiknya mengisi air ke dalam gelas
plastik yang beraneka ragam bentuknya. Seorang guru IPS SMP dapat saja
menanamkan pemahaman jenis-jenis motif ekonomi dengan membuat sosiadrama yang
dimainkan oleh anak didiknya kemudian ditebak oleh setiap anak. Demikian juga
guru IPA dapat menciptakan kegiatan yang baru dalam menjawab mengapa telur itik
yang lebih banyak dibuat telur asin dengan prinsip IPA yang telah dipelajari.
Guru
yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegiatan yang
beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu / media sederha-na yang
dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif
dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat
refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
Pembelajaran Efektif
Efektif
memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek / pengaruh
terhadap yang akan dicapai / dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran
yang mampu mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak
didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan
efektif jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun
ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan,
anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan
efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada anak
didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan mampu
menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan
kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.
Pembelajaran Menyenangkan
Saat
ini di berbagai negara sedang trend dan semangat mengembangkan joyful learning dan meaningful learning, yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran
sedemikian rupa sehingga anak didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran
yang dijalani menyenangkan dan bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran
yang dijalani memberikan perbedaan dalam basis pengetahuan yang ada di
pikirannya, berbeda dalam memandang dunia sekitar, dan merasakan memperoleh
sesuatu yang lebih dari apa yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang
ingin maju dalam era globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin
merasakan pembelajaran yang demikian.
Semua mata pelajaran dapat dibuat menjadi
menyenangkan, tergantung bagai-mana niat dan kemauan guru untuk menciptakannya.
Pembelajaran yang dikemas dalam situasi yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik
sangat diharapkan oleh anak didik saat ini yang sangat rawan stres karena
saratnya materi ajar yang harus dikuasai. Penelitian terhadap beberapa
anak-anak sekolah di dunia yang diadakan UNESCO menunjukkan sebagian dari
mereka menginginkan belajar dengan situasi yang menye-nangkan (Dedi Supriadi,
1999).
Pembelajaran menyenangkan artinya pembelajaran yang
interaktif dan atraktif, sehingga anak didik dapat memusatkan perhatian
terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya. Penelitian menunjukkan bahwa
ketika seorang guru menguraikan dan menjelaskan suatu materi tanpa ada selingan
dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka perhatian dan
konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan
pembelajaran hanya berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees
Ruijter, 1994). Lebih lanjut dikemukakan, keadaan ini dapat diatasi apabila
guru menyadari lalu mengubah pembelajarannnya menjadi menyenangkan dengan cara
memberi selingan aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan
berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan konsentrasi anak didik yang relatif
besar.
Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang
membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, tertekan,
tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba, bertanya, mengemukakan
pendapat / gagasan, dan mempertanyakan gagasan orang lain. Menciptakan suasana
yang menyenangkan tidaklah sulit, karena kita hanya menciptakan pembelajaran
yang relaks (tidak tegang), lingkuangan yang aman untuk melakukan kesalahan,
mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka, belajar dengan balutan humor,
dorongan semangat, dan pemberian jeda berpikir. Dalam belajar guru harus
menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu” akan muncul dan kata ”aku tahu”
sedikit muncul, karena mereka memang dalam tahap belajar. Demikian pula guru
harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah mesin yang dapat disuruh berpikir
tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan relaksasi.
Seperti diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian,
yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia
pendidikan kita lupa akan pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara
umum hanya otak kiri yang menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu
eksakta. Otak sebelah kanan adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi,
estetika, intuisi, irama, musik, gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri
berkaitan dengan logika, rasio, penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya kita dapat tunjukkan
bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan otak
sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan menghafal konsep melalui
puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan
sensitif. Otak sangat menyukai hal-hal
yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna, lucu, multisensorik,
gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama /
musik, dan nomor / urutan. Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pendidik
dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada anak didik agar otak
mereka menyukainya.
Pengembangan Sikap Peka,
Kritis, dan Kreatif pada Diri Anak Didik
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya bahwa anak didik akan mampu mengi-kuti
pembelajaran yang kreatif dan inovatif bila ia memiliki sifat dasar peka,
kritis, dan kreatif. Demikian pula guru, ketiga sifat dasar tersebut juga harus
ada dalam dirinya.
Diawali
sifat peka yang tinggi terhadap fenomena di sekitar yang ada hubungan-nya
dengan apa yang telah ada di kepalanya, maka selanjutnya akan memunculkan sifat
kritis dan kreatif. Berpikir kritis dan kreatif merupakan komponen utama
berpikir tingkat tinggi (higher order
thinking). Proses berpikir tingkat tinggi harus dikembangkan secara dini
dalam diri anak didik, dan ini menjadi tugas seorang guru, karena guru harus
mampu mengembangkan potensi anak didiknya semaksimal mungkin hingga mencapai
kemampuan yang tinggi pada diri mereka. Sikap kritis dan kreatif dapat
dikembangkan melalui pembelajaran yang berpusat pada otak kanan sebagai sumber
aktivitas kreatif. Otak kiri mengendalikan wicara, sedangkan otak kanan
mengendalikan tindakan.
Berbagai
perilaku yang merupakan indikator berpikir kritis dan kreatif pada diri anak
didik dapat dilihat pada tabel berikut ini.
PERILAKU
|
TERKAIT DENGAN
|
@ Bosan dengan tugas
rutin, menolak mem-buat PR.
@ Tidak berminat terhadap
detail dan pekerjan kotor.
@ Membuat lelucon atau komentar
pada saat tidak tepat.
@ Menolak otoritas, keras
kepala.
|
Berpikir Kreatif
@ Toleransi tinggi untuk
makna ganda.
@ Berpikir bebas,
divergen.
@ Berani ambil resiko.
@ Imaginatif, sensitif.
|
@ Sering tidak setuju ide
guru / orang lain.
@ Kritis terhadap diri,
tak sabar menghadapi kegagalan.
@ Kritis terhadap guru /
orang lain.
|
Berpikir Kritis
@ Dapat melihat
kesenjangan antara ke-nyataan dan kebenaran.
@ Mengacu pada hal-hal
yang ideal.
@ Mampu menganalisis dan
meng-evaluasi.
|
Ketika anak didik kita diminta memilih dua hal
yang berlawanan, misalnya “baik-buruk”, salah – benar”, “tepat – menyimpang”,
dan sebagainya. Biasanya mereka ragu-ragu untuk memilihnya, bukan lantaran
tidak dapat menentukan pilihan, tetapi pilihan yang dijatuhkan pastinya membawa
konsekuensi pada pemaparan alasan yang masuk akal (logis).
Seorang anak didik yang kritis pasti
dapat memberikan alasan atau argumen yang kuat yang berkaitan dengan keputusan
pilihannya. Selain itu, ia terbuka dengan pendapat orang lain yang berbeda,
sehingga akhirnya berpengaruh pada kehidupan dan pola sosia-lisasinya dengan
orang lain. Anak didik yang kritis harus mampu bertanya tentang dirinya, orang
lain, masalah di sekitarnya, dan keputusan yang diambilnya. Ciri-ciri lainnya,
ia mampu : membedakan antara fakta, non-fakta, dan pendapat, membedakan antara
kesimpulan definitif dan sementara, menguji tingkat keterpercayaan, membedakan
informasi yang relevan dan tidak, mengidentifikasi sebab-akibat,
mempertimbangkan wawasan lain, dan menguji pertanyaan yang dimiliki (Radno Harsanto,
2005).
Kreatif merupakan kata yang berasal dari bahasa
Inggris to create yang dapat diurai :
C (combine), R (reverse), E (eliminate),
A (alternatif), T (twist), E (elaborate). Jadi, seorang anak didik yang berpikir kreatif dalam
benaknya berisi pertanyaan : dapatkan saya mengkombinasi / menambah, membalik,
menghilangkan, mencari cara / bahan lain, memutar, mengelaborasikan sesuatu ke
dalam benda yang sudah ada sebelumnya ?
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam
pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu
membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau
mengemukakan gagasan / ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada
satu gagasan / ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap
segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenar-an, banyak membaca artikel
penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Berpikir kreatif dapat diawali dengan bercanda
dan berteka-teki tentang sesuatu, karena berpikir kreatif berlangsung ketika otak dalam keadaan santai.
Seorang pemikir kreatif suka mencoba gagasan / ide yang berkebalikan dengan
yang dipikirkan oleh orang banyak. Mereka suka melihat sisi-sisi lain yang
baginya lebih menarik untuk dicermati dan dipikirkan. Kadang-kadang orang yang
berpikir lurus tidak akan dapat “berteman baik” dengan orang yang berpikir
kreatif, karena menganggap ia sebagai orang aneh.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat
Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Kamisa. (1997). Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Kartika.
Laster,
Lan. (1985). The
School of the Future : Some Teachers View on Education in the Year 2000.
New York : Harper Collins Publishers.
Mel Silberman. (2002). Active
Learning : 101 Stratgi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta : Yappendis.
Ratna Wilis Dahar. (1991). Teori-teori
Belajar. Jakarta : Erlangga.
Radno Harsanto.
(2005). Melatih Berpikir Analitis, Kritis, dan Kreatif. Jakarta :
Grasindo.
Sheal,
Peter. (1989). How
to Develop and Present Staff Training Courses. London : Kogan Page Ltd.
Tjipto
Utomo dan Kees Ruijter. (1994). Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
”