A. Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat
penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan
pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos
untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi
tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.
Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi
dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara
kausalitas.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul
alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam
semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi
setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan
benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.
Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang
mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan
penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena
api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es.
Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap
sebagai simbol perubahan itu sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah
unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan
juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah
genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas.
Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof
muslim Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir (Rowston,
dalam Kartanegara, 2003). Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai
kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai kajian tentang manusia
dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah
Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran.
Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena
mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu,
sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak
relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang
bergantung kepada manusia.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman
keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah
perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat
menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya,
kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Puncak
kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid
Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang
dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika.
Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang
disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:
·
Semua manusia
akan mati (premis mayor).
·
Socrates seorang
manusia (premis minor).
·
Socrates akan
mati (konklusi).
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu
meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
B. Zaman Islam
Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan
intelektual, tetapi juga membuktikan kecintaan umat Islam terhadap ilmu
pengetahuan dan sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tanpa memandang agama
mereka. Periode antara 750 M dan 1100 M adalah abad masa keemasan dunia Islam.
Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab
Islam, khususnya mazhab Peripatetik. Al Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan
dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam.
Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories,
Hermeneutics, First, dan Second Analysis telah diterjemahkan Al
Farabi ke dalam bahasa Arab. Al Farabi telah membicarakan berbagai sistem
logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Di samping itu beliau
dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik
yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini,
maka Al Farabi diberi
gelar Guru Kedua, sedang gelar Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al Farabi yang dianggap cukup
bernilai adalah usahanya mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al Farabi telah
memberikan defenisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya.
Al Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu: logika, percakapan,
matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih (hukum). Ilmu
percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian yaitu: bahasa, gramatika,
sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi
dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan
membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi
dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam tujuh bagian.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama
mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu. Politik
dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika.
Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil
dan
berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat
populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi
masyarakat madani. Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqih dan imu ketuhanan/kalam
(teologi).
Buku Al Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul De
Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas
berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik, dan geologi. Al Farabi (w.950)
terkenal dengan doktrin wahda al wujud membagi hierarki wujud yaitu (1)
dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang merupakan sebab bagi keberadaan yang
lain, (2) para malaikat di bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan yang
lain, (3) benda21
benda
langit (angkasa), (4) benda-benda bumi. Al Farabi memiliki sikap yang jelas
karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokohtokoh filsafat harus
bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah
kebenaran.
Filosof lain yang terkenal adalah Ibnu Sina dikenal
di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia
dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya
banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian
menjadi buku teks (text book) dalam ilmu kedokteran yang diajarkan pada
beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier.
Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya
penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina
menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan
dosis dan ketepatan waktu pemberian.
Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan
penyakit. Kitab lainnya berjudul Al Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud
(di Barat dikenal dengan nama Avendauth Ben Daud) di Toledo. Oleh karena Al
Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas
pada pendahuluan ilmu logika, fisika, dan De Anima. Ibnu Sina membagi
filsafat atas bagian yang bersifat teoretis dan bagian yang bersifat praktis.
Bagian yang bersifat teoretis meliputi: matematika, fisika, dan metafisika,
sedang bagian yang bersifat praktis meliputi: politik dan etika.
Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya adalah
potensi (mumkin al wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya
sendiri tanpa adanya Tuhan. Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga macam yakni
(1) obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak
(metafisik), (2) obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak
(fisika), (3) obyek-obyek yang pada dirinya immateriel tetapi kadang melakukan
kontak dengan materi dan gerak (matematika).
Ibn Khaldun dalam kitabnya Al Muqaddimah membagi
metafisika dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang hakikat wujud
(ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni eksistensialis (tokoh
yang terkemuka adalah Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan esensialis (tokoh
yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi). Berikutnya Ibn Khaldun
membagi ilmu matematika ke dalam empat subdivisi yakni (1) geometri;
trigonometrik dan kerucut, surveying tanah, dan optik. Sarjana muslim
terutama Ibn Haitsam telah banyak mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger
Bacon, Vitello dan Kepler (2)Aritmetika; seni berhitung/hisab, aljabar,
aritmatika bisnis dan faraid (hukum waris), (3) musik, (4) astronomi.
Dalam bidang ilmu mineral, dikenal karya Al Biruni yang
berjudul Al Jawahir (batu-batu permata), selain itu pada abad ke-11 Al Biruni
dikenal sebagai The master of observation di bidang geologi dan geografi
karena Al Biruni berusaha mengukur keliling bumi melalui metode eksperimen
dengan menggabungkan metode observasi dan teori trigonometri. Akhirnya ia
sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi adalah 24.778,5 mil dengan diameter
7.878 mil. Tentu saja ini merupakan penemuan luar biasa untuk masa itu, dengan
ukuran modern saja yaitu 24.585 mil (selisih ± 139 mil) dengan diameter 7.902
mil.
Dalam bidang ilmu farmakologi dan medis dikenal
karya Ibnu Sina yakni Al Qanun fi al Thibb dan Al Hawi oleh Abu
Bakr Al Razi, bidang nutrisi dikenal karya Ibn Bathar yakni Al Jami Li
Mufradat Al Adawiyyah wa Al Aghdziyah, di bidang zoologi dikenal
karya Al Jahizh yang berjudul Al Hayawan dan Hayat Al Hayawan oleh
Al Damiri. Di Andalusia terkenal seorang ahli bedah muslim, Ibn Zahrawi yang
telah mencitakan ratusan alat bedah yang sudah sangat maju untuk ukuran zamannya.
Filosof lainnya adalah Al Kindi, yang dianggap
sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al Nadhim
mendudukkan Al Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural
philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik,
logika
dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penerjemah terbaik
kitab-kitab ilmu kedokteran dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Di samping
sebagai penerjemah, Al Kindi menulis juga berbagai makalah.
Ibnu Al Nadhim memperkirakan ada 200 judul makalah
yang ditulis Al Kindi dan sebagian di antaranya tidak dapat dijumpai lagi,
karena raib entah kemana. Nama Al Kindi sangat masyhur di Eropa pada abad
pertengahan. Bukunya yang telah disalin ke dalam
bahasa
Latin di Eropa berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan
ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron, dan Ptolemeus. Salah satu
orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger
Bacon.
Filosof lainnya adalah Ibnu Rushd yang lahir dan
dibesarkan di Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah mengarang
buku ilmu kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan
kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof. Ibnu
Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu: komentar besar,
komentar menengah, dan komentar kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai
dalam tiga bahasa: Arab, Latin, dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu Rushd
menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya Aristoteles dengan bahasa
Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir. Dalam komentar menengah ia
masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada
komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan
filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding
jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemukapemuka agama,
sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk
menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam bukunya Falsafah El Ula (First
Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran
dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai
(Haeruddin, 2003).