Tidaklah mungkin bagi kita untuk memulai segala
macam aktivitas, baik aktivitas berfikir ataupun hal-hal yang bersifat praktis,
tanpa berlandaskan atau berpijak pada kenyataan realitas alam, bahwa di alam
ini, ada sesuatu yang membuat kita terobsesi untuk mengetahui ataupun
mendapatkannya. Kajian seperti ini murni ontologis karena pembahasan tentang
keberadaan bukanlah representasi dari sesuatu itu.
Kita akan kembali sejenak melihat masa lalu
perjalanan pemikiran manusia di alam ini. Pada zaman dulu, Yunani adalah pusat
peradaban manusia. Dari situlah bermulanya tradisi berpikir. Muncul beberapa
aliran yang menyatakan bahwa manusia tidak mungkin akan berhasil mendapatkan
kebenaran, atau bahwa manusia adalah tolok ukur benar dan salah. Semua
bergantung persepsi manusia terhadap sesuatu.
Jika sesuatu itu menurut A benar, belum tentu bagi B
juga benar. Sampai pada akhirnya, muncullah Socrates yang membawa obor
kebenaran berkaitan dengan tradisi berpikir ini (walaupun pada akhirnya harus
meminum racun sebagai akibat dari "ulah"nya). Usaha keilmuannya itu
kemudian diteruskan oleh Plato dan dikembangkan oleh Aristoteles sehingga
tersusunlah logika aristotelian. Kemudian, bergantilah zaman. Muncullah
generasi muda yang menganut paham ragu. Mereka meragukan segala yang pernah
dirintis oleh generasi sebelum mereka. Mereka skeptis. Paham skeptisisme ini,
pertama kali dicetuskan oleh Protagoras (485-410 SM) Dia berpendapat bahwa
persepsi manusia adalah tolok ukur benar dan salah. Kemudian, paham ini
dikembangkan secara ekstrim oleh Georgias(483-375 SM) yang berpendapat bahwa
hakikat itu tidak ada. Kalaupun ada, tidak mungkin bagi manusia untuk
mengetahuinya. Kalaupun bisa untuk diketahui, hakikat itu tidak dapat
ditransfer kepada yang lainnya (tak dapat dipahamkan kepada yang lainnya).
Jika kita amati secara seksama, kita dapat
memberikan beberapa asumsi dari pernyataan-pernyatan mereka itu. Pertama,
mereka melontarkan pernyataan-pernyataan tersebut demi kepentingan politik pada
zamannya. Kedua, mereka ingin meletakkan manusia pada derajat
terendah (artinya. Ini adalah satu penghinaan terhadap manusia). Ketiga,
mereka hanya sekadar “bermain-main” dengan bahasa.
Dengan demikian segala macam tolok ukur etika,
agama, politik, dan kebenaran akan rubuh. Akibatnya, segala macam bentuk
pelanggaran-pelanggaran etika, agama, dan politik dapat dibenarkan dengan
justifikasi-justifikasi mereka. Pada akhirnya, tidak akan tersisa tempat bagi
kebenaran absolut. Statement dalam paham skeptisme atau diistilahkan dengan
sophistika yaitu “tidak ada pengetahuan absolut yang dapat diyakini oleh
manusia” dapat kita teliti secara seksama.