Awalnya
adalah "Tractat London 1871". Dalam perjanjian tersebut, Inggris
menyerahkan seluruh wilayah Sumatera pada Belanda. Sebelumnya, "Tractat
1824", wilayah yang diserahkan hanya "Pantai Barat Sumatera".
Dengan demikian Aceh terlindung dari tangan-tangan Belanda.
Kini
Belanda mengincar Aceh. Pada 27 Desember 1871, wakil Sultan Aceh -Habib
Abdurrahman-berunding dengan Belanda di geladak kapal Jambi. Intinya, Aceh
sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan Belanda asalkan wilayah yang
pernah menjadi bagian Kerajaan Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga,
Barus, Singkel, Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur.
Lima orang utusan Sultan Aceh dipimpin Tibang Muhammad datang untuk berunding
dengan Residen Riau, Desember 1872.
Sebulan
di Riau duta tersebut pun diantar pulang dengan kapal uap Mernik, melalui
Singapura. Di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Konsul Amerika dan Konsul
Italia. Pertemuan tersebut dimanfaatkan Belanda untuk menuduh Aceh
berselingkuh. Belanda lalu mempersiapkan armada perangnya untuk menggempur
Aceh. Kesultanan Aceh juga bersiaga. Mereka mendatangkan 1349 senjata -berikut
5.000 peti mesiu-dari Pulau Pinang. Rakyat juga telah dimobilisasi oleh T. Chik
Kutakarang.
Tanggal
1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen menyatakan perang. Sebanyak 33 kapal mengepung
Aceh, dengan kekuatan 168 perwira dan 3198 prajurit. Tanggal 5 April, perang
pecah di Pantai Cermin -Banda Aceh. Kapal "Citadel van Antwerpen"
terkena 12 tembakan meriam. Belanda terus mendesak ke arah Masjid Raja dan
"dalam" -istilah untuk menyebut istana. Rakyat Aceh -yang terus
meneriakkan "La ilaha illallah"-semakin gigih. Tanggal 14 April,
Jenderal Mayor J.H.R. Kohler tewas. Belanda mundur. Sebanyak 45 orang pasukan
Belanda tewas, 405 lain luka-luka. Tanggal 25 April, serdadu Belanda kembali ke
kapal. Empat hari kemudian, mereka meninggalkan pantai Aceh.
Tanggal
16 Nopember 1873, 60 kapal bertolak dari Batavia untuk kembali menyerang Aceh.
Kapal tersebut membawa 389 perwira, 7888 serdadu, 32 perwira dokter, juga
"3565 orang hukuman dan 246 perempuan". Mereka membawa pula 206 pucuk
meriam dan 22 mortir, dilengkapi pasukan zeni pembuat rel kereta api dan rakit
untuk menyusuri sungai, seorang pastur, seorang ustad H.M. Ilyas asal Semarang,
dan lima orang Jawa dan Cina sebagai mata-mata.
Sebelumnya,
Belanda juga telah menyusupkan seorang bernama Ali Bahanan. Mangkunegara yang
membantu Belanda menggempur Diponegoro, dilibatkan pula dalam serangan ke Aceh.
Perwira Mangkunegara Ario Gondo Sisworo ikut berangkat ke Aceh bersama Perwira
Paku Alam, Raden Mas Panji Pakukuning. Tanggal 9 Desember 1873, tentara Belanda
mendarat di Kualalue dan bergerak di Kuala Gigieng. Perlawanan pasukan Tuanku
Hasyim dan Tuanku Manta Setia dipatahkan Jenderal Mayor Verpijck.
Panglima
Polim mengorganisasikan 3000 pasukannya di sekitar Masjid Raya. Ia dibantu 800
tentara Raja Teunom, 500 tentara Raja Pidie, dan sekitar 1000 rakyat Peusangan.
Namun, 6 Januari 1874, Masjid Raya jatuh. Tanggal 13 Januari, Sultan dan
Panglima Polim meninggalkan istana dan mengungsi ke Luengbata, lalu Pade Aye.
Namun lima hari kemudian Sultan wafat karena penyakit kolera. Panglima Polim
dan petinggi kerajaan kemudian mengangkat Muhammad Daudsyah -putra sultan yang
baru berusia enam tahun-- sebagai sultan baru. Tanggal 31 Januari 1874,
Jenderal van Swieten mengumumkan bahwa Aceh sudah ditaklukkan.
Namun,
di luar Banda Aceh, perlawanan terus berlangsung sengit. Habib Abdurrahman,
utusan Aceh ke Turki, berhasil mendarat di Idi dengan menyamar sebagai seorang
Keling. Ia memimpin perlawanan yang menimbulkan banyak korban di kalangan
Belanda. Belanda memperkuat gempurannya dengan mengganti Jenderal Diemont
dengan Van der Hejden. Mereka berhasil menjepit perlawanan rakyat Aceh. Habib
Abdurrahman menyerah, dan dikirim ke Jedah dengan kapal "Curacau"
pada 23 Nopember 1878, dan dibekali 1200 ringgit. Dari Habib Abdurrahman,
Belanda juga mendapat strategi untuk mematahkan rakyat Aceh.
Di
Aceh Barat, Teuku Umar dan istrinya, Tjut Nya' Dhien memimpin perlawanan. Di
Tiro, Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin dan penggantinya, Tengku Syeikh Saman
menggalang perlawanan rakyat. Pada Agustus 1893, Teuku Umar sempat menyeberang
ke pihak Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan.
Tiga
tahun kemudian, Teuku Umar bergabung kembali dengan kawan-kawannya. Ia, bersama
Sultan dan Panglima Polim habis-habisan bertempur. Dalam pertempuran di Pulo
Cicem dan Kuta Putoih, 78 orang tentara Aceh tewas. Teuku Umar mundur ke Aceh
Barat. Ia tewas pada 11 Februari 1899, dalam bentrokan di Meulaboh. Gubernur
J.B. Van Heutz memimpin langsung serangan ke Pidie. Ia juga menggunakan
penasihatnya, Snouck Horgonje, yang mengaku telah masuk Islam untuk menarik
simpati rakyat Aceh.
Sultan
dan Panglima Polim membentuk basis di Kuta Sawang. Namun pertahanan tersebut
hancur dalam serangan 14 Mei 1899. Di saat kekuatan Sultan terdesak, di Aceh
Timur seorang ulama bernama Abdullah Pakeh atau Teungku Tapa, berhasil
mengorganisasikan 10 ribu pasukan. Ia juga menggalang laskar perempuan berkekuatan
500 orang. Berulang kali pasukan Teungku Tapa menyulitkan tentara Belanda.
Pertempuran
demi pertempuran terus berlangsung. Februari 1900, Sultan dan para pengikutnya
menyingkir ke Gayo. Tanggal 1 Oktober 1901, Mayor G.C.E van Daaelen menyisir
Tanah Gayo di pedalaman sekitar Danau Laut Tawar. Tidak ada hasil. Belanda
kemudian bersiasat dengan menangkap istri Sultan di Glumpang Payong, dan
kemudian istri lainnya di Pidie. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, juga ditangkap.
Sultan, pada tanggal 10 Januari 1903, menyerahkan diri setelah Belanda
mengancam akan mengasingkan istri dan anak sultan. Tanggal 6 September 1903,
Panglima Polim juga menyerah setelah istrinya ditangkap. Perlawanan Tjut Nya'
Dhien juga dapat diakhiri. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal
pada 1906.