SEMAR adalah sebuah misteri,
rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang
yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi
orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di
anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak
kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Semar dalam bahasa Jawa
(filosofi Jawa) disebut Badranaya
·
Bebadra = Membangun sarana dari dasar.
·
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul.
·
Artinya: Mengemban
sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan
manusia.
Menurut Javanologi:
Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang
Penuntun).
·
Semar tidak lelaki dan
bukan perempuan.
·
Tangan kanannya ke atas
dan tangan kirinya ke belakang. Maknanya: “Sebagai pribadi tokoh semar hendak
mengatakan simbol Sang Maha Tunggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah
total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik”.
·
Domisili semar adalah
sebagai lurah karangdempel – (karang = gersang; dempel =
keteguhan jiwa).
·
Rambut semar “kuncung”
(jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan: “akuning
sang kuncung” = sebagai kepribadian pelayan.
·
Semar sebagai pelayan
mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah
sesuai dengan sabda Ilahi.
·
Semar berjalan
menghadap ke atas maknanya: “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia
memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq) yang maha
pengasih serta penyayang umat”.
Kain Semar
Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning
bawono: menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar
adalah:
·
Semar berkuncung
seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua.
·
Semar tertawannya
selalu diakhiri nada tangisan.
·
Semar berwajah mata
menangis namun mulutnya tertawa.
·
Semar berprofil berdiri
sekaligus jongkok.
·
Semar tak pernah
menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya.
Kebudayaan Jawa telah
melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu
adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha
dan Islam di tanah Jawa.
Di kalangan spiritual
Jawa, Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis,
tetapi lebih bersifat mitologi dan simbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu
lambang dari pengejawantahan ekspresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi
yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah
suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan
ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang
ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang
telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa.Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan
simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca
bunyinya katanya berbunyi: Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning
pati.
Gambar kaligrafi jawa
tersebut bermakna:
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan. Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan
tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian
sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan
jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu)
artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat
mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju
kesempurnaan hidup”.
Bocah Bajang nggiring angin
anawu banyu segara
ngon-ingone kebo dhungkul
sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang
menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut
merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada
pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada
waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah
ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting,
melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.
Semar merupakan
gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan
cacat.Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama
Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol,
berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua:
bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan.
Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti
orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi
matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri,
tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya
perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam
waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal
kata samar, yang berarti tidak jelas.
Batara Semar atau
Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis
di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga.
Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang
kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka
munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dlam
kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.
Dari bentuknya saja,
tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya
serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut
wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong
kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu
mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung,
memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan
abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa
anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.
Dengan penggambaran
bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri,
ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter
wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau
orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu.
Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik
Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya.
Jimat tersebut
mempunyai delapan daya, yaitu: terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih,
capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina
tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam
kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan
sekaligus kehidupan itu sendiri.
Jika dipahami bahwa
hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah
Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar
adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai
dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika
hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hipup tersebut akan berkembang
mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawula
lan Gusti. Pada upaya bersatunya antara kawula dan Gusti inilah, Semar
menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam
tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang
akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu
dengan Tuhannya.