Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat
sebagai landasan berfikir. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan
berupaya menjawab pemasalahan-permasalahan sekitar bagaimana seharusnya tujuan
pendidikan itu dirumuskan, isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang
seharusnya disajikan kepada peserta didik, metode apa yang seharusnya digunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan, dan bagaimana peranan yang seharusnya
dilakukan pendidik dan peserta didik.
Jawaban atas permasalahan-permasalahan
tersebut akan sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan
sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan kurikulum. Landasan
filsafat tertentu beserta konsep-konsepnya yang meliputi konsep metafisika,
epistemologi, logika, dan aksiologi berimplikasi terhadap konsep-konsep pendidikan
yang meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode
pendidikan,peran pendidik dan peserta didik. Konsep metafisika berimplikasi terhadap
perumusan tujuan pendidikan terutama tujuan umum pendidikan yang rumusannya
ideal dan umum, konsep hakikat manusia berimplikasi khususnya terhadap peranan
pendidik dan peserta didik, konsep hakikat pengetahuan berimplikasi terhadap
isi dan metode pendidikan, dan konsep aksiologi berimplikasi terutama terhadap
perumusan tujuan umum pendidikan.

Keberadan aliran-aliran filsafat dalam
pengembangan kurikulum di Indonesia dapat digunakan sebagai acuan, akan tetapi
hendaknya dipertimbangkan dan dikaji terlebih dahulu kesesuaiannya dengan
nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia, karena tidak semua konsep aliran
filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Di
antara aliran-aliran tersebut yaitu:
a. Aliran
Progresivisme dan pragmatisme
Aliran progresevisme mengakui dan berusaha mengembangkan asasnya dalam
semua realita kehidupan, dengan tujuan agar semua manusia dapat bertahan
menghadapi semua tantangan hidup. Sedangkan menurut aliran pragmatisme, suatu
keterangan itu baru dikatakan benar jika sesuai dengan realitas, atau suatu
keterangan akan dikatakan benar kalau sesuai dengan kenyataannya.
Kedua aliran ini dipelopori oleh William james dan John Dewey, salah satu
sumbangan besar yang mereka berikan dalam perkembangan pendidikan di abad
modern ini khususnya kurikulum yaitu, menurut aliran progresivisme tentang
kurikulum mengehendaki sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel
(tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin tertentu,
luas dan terbuka). Dengan berpijak pada prinsip ini, kurikulum dapat direvisi
dan dievaluasi setiap saat, sesuai dengan kebutuhan. Sifat kurikulumnya adalah eksperimental
atau tipe core curriculum, yaitu kurikulum yang dipusatkan pada pengalaman yang
didasarkan atas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan yang
kompleks.
b. Aliran
Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan paham yang berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas/kreatif, seseorang eksistensialis
sadar bahwa kebenaran itu bersifat relative, dan karenanya itu masing–masing
individu bebas menetukan mana yang benar atau salah . Eksistensialisme
menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna.
Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan: Bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?.
c. Aliran
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Pandangan
tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang menjadi dasar bagi
pengembangan konsep kurikulum yaitu, dari segi ontologi, mereka berpendapat
bahwa realita itu bersifat universal, ada dimana-mana dan sama setiap tempat.
Dari segi epistemologi, untuk memahami realita memerlukan asas tahu, maksudnya
kita tidak mungkin memahami realita tanpa terlebih dahulu melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realitas terlebih dahulu melalui penemuan ilmu
pengetahuan.
Sedangkan dari segi aksiologinya, bahwa dalam proses interaksi sesama
manusia diperlukan nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam
semesta, prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral.
d. Aliran Perenialisme
Perenial berarti “abadi”, aliran ini beranggapan bahwa beberapa gagasan telah
bertahan selama berabad-abad dan masih relevan saat ini seperti pada saat
gagasan tersebut baru ditemukan. Perenialisme lebih menekankan pada
keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan
dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang
memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini
menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada
tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
e. Aliran
Esensialisme
Aliran ini didasarkan oleh nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban manusia. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai yang
dimaksud ialah yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif selama
empat abad belakangan, yaitu sejak zaman renaissance, sebagai pangkal timbulnya
pandangan esensialisme adat.
Aliran ini menghendaki adanya kurikulum yang memuat mata pelajaran yang
dapat menghantarkan manusia agar dapat menghayati nilai-nilai kebenaran yang
berasal dari tuhan. Kurikulum menurut aliran ini berpangkal pada landasan ideal
dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Home, salah satu tokoh dari aliran ini
berpendapat bahwa kurikulum hendaknya bersendikan atas fundamental tunggal,
yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan
dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditunjukan kepada yang serba baik.