Secara
umum Pemilu legislatif yang diselengarakan tanggal 9 april 2014 berjalan secara
aman dan tertib. Para calon anggota legistatif baik pada tingkat daerah dan
pusat, serta anggota DPD menunggu hara-harap cemas, apakah tujuan yang selama
ini diangankan dapat terlaksana dengan baik.
Walaupun
demikian, dugaan praktik politik uang masih marak dalam pemilihan umum
legislative, seperti yang diberitakan media massa. Indonesia Corruption Watch
(ICW) misalnya, mengungkapkan praktik politik uang baik dalam bentuk
konvensional maupun bentuk lainnya.
Dalam
bentuk konvensional berupa pemberian uang langsung kepada calon pemilih, maupun
berupa cara baru seperti pemberian alat ibadah dan sembako. Di telivisi
terlihat ada yang memberikan tabung gas, rokok, dan lain sebagainya. Bahkan ICW
menemukan di suatu daerah pola penggunaan fasilitas Negara dan ranah kebijakan
dengan melibatkan pegawai negeri untuk mensukseskan seorang kandidat.
Seberapa
parah praktik politik uang dalam Pemilu Legislatif tahun ini? Hasil pengamatan
ICW, Transparance International Indonesia dan jaraingan organisasi sipil
lainnya menyatakan praktik politik uang pada 2009 lebih parah dibandingkan
Pemilu 2004, apalagi Pemilu 1999.
Pemilu
1999 dilaksanakan pada masa awal Reformasi, saat masyarakat masih berharap
bahwa kesejahteraan ekonomi dan social akan semakin baik karena perubahan rezim
pemerintahan, namun haraoan masyarakat dalam masa reformasi tidak sepenuhnya
dapat tercapai. Memang, kebebasan berpendapat dapat terjamin, tidak sekaku pada
masa Orde baru.
Namun,
kebebasan berpendapat terkadang sering berlebihan, dengan prinsip asal menang
dengan menabrak rambu-rambu aturan yang semestinya ditaati. Sungguh
memprihatinkan dalam masa sekarang ini korupsi semakin banyak dilakukan oleh
para petinggi.
Padahal para petinggi merupakan cermin dan
anutan masyarakat, sehingga korupsi sepertinya sudah sebagai hal yang lumrah
dan biasa. Dan salah satu dari bentuk korupsi adalah berupa suap, yaitu praktik
politik uang.
Politik
uang yang begitu tinggi dilakukan oleh para petinggi, termasuk anggota
legislatif, akan berdampak sangat terhadap perekonomian Indonesia. Bisa diduga
selama menjabat bagaimana uang yang dikeluarkan untuk menjadi wakil rakyat akan
kembali, bahkan kalau bisa untung.
Asas
pengabdian selama menjabat bisa saja hanya wacana, karena melihat dan yang
diekuluarkan sedemikian besar, maka dalam praktiknya kemungkinan besar
dilupakan. Mengandalkan gaji yang akan diproleh, kemungkinan tidak akan
mencukupi dengan segala pengeluaran yang dilakukan. Justru yang sangat
mengkhawatirkan adalah perolehan tambahan dana yang diperkirakan sangat besar
dari posisi jabatan yang telah diraih.
Berbagai
cara dapat dilakukan dan merefleksikan dari apa yang telah dilakukan, kiranya
dapat terulang kembali kejadiannya. Pelesiran ke berbagai daerah dan kunjungan
ke luar negeri dengan alas an studi banding beberapa waktu lalu ramai
dibicarakan. Pembengkakan anggaran berupa uang saku maupun biaya perjalanan
lainnya dapat saja dilikukan, yang penting tambahan pundi-pundi dana diperoleh
kembali.
Kalau
beberapa waktu lalu munculnya berbagai kartel pangan seperti kartel daging,
kartel kedelai dan berbagai aneka kartel pangan lainnya, maka ke depan juga
diduga akan muncul hal yang serupa.
Munculnya
kartel karena karja sama pengusaha dan para petinggi (termasuk anggota DPR)
untuk mencari rente. Keadaan ini akan semakin memperparah pencapaian swasembada
pangan, dan banyak merugikan para petani maupun anggota masyarakat lainnya.
Anggota
legislatif juga punya kuasa dalam menentukan alokasi anggaran dan belanja
Negara pada masing-masing kementerian. Pengalaman selama ini dalam penentuan
pengalokasian dana juga diperkirakan adanya permainan antara pihak eksikutif
dan legislatif.