Belakangan
ini, Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia tengah
bersiap
melanjutkan rencana pengesahan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Draf
yang terdiri dari 17 pasal ini, secara ringkas memuat mengenai apa yang
dikategorikan sebagai konten negatif, bagaimana peran-peran beberapa pihak mengenai
konten negatif, bagaimana prosedur untuk melakukan blok dan normalisasinya.
Direktur
Eksikutif Institute for Criminal Juistice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono,
mengatakan bahwa menteri RPM tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
tidak tepat jika ditur dalam bentuk peraturan menteri, seharusnya diatur dalam bentuk
undang-undang.
Supriyadi
menegaskan bahwa RPM ini memuat materi yang melakukan pembatasan terhadap hak asasi
manusia, sehingga materi pembatasan dalam bentuk apapun harus diatur berdasarkan
Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 yaitu dengan menggunakan undang-undang.
Anggara,
anggota Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), menyatakan bahwa selain
melanggar aturan pembatasan yang dimanatkan dalam konstitusi Negara Indonesia,
secara materi muatan pun, RPM tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
ini sangat merugikan masyarakat, dan berpotensi justru menimbulkan iklim negatif
pengekangan kebebasan hak asasi oleh Negara.
Anggara
menyebutkan bahwa secara mendasar saja, pengertian “konten negatif” sangat luas
dan multitafsir, tidak ada indikator yang jelas dan pengertian serta definisi
yang memadai dan ujungnya berpotensi besar dalam melanggar hak asasi manusia.
Lebih
buruk, Anggara menambahkan bahwa kewenangan pemerintah dalam hal ini Kominfo,
sangat besar dan terlalu luas. Draf ini memposisikan Menkominfo sebagai pelapor,
pengadu, penyidik, penuntut, pembuat standar penilaian sekaligus penilai atau
hakim dan sekaligus pula eksekutor dalam kebijakan blocking dan filtering.
Kewenangan
yang terlalu luas dan nyaris tidak tersentuh, menurut Anggara, kementerian tersebut
seperti memainkan lakon tunggal dalam drama yang dipentaskan sendiri. Supriyadi
juga menekankan bahwa momentum rencana disahkannya RPM ini tidak tepat. Usai Pemilu
9 April, pemetintah saat ini bisa disebut sebagai pemerintah transisi, meskipun
pemilihan presiden sebagai kepala pemerintahan masih akan dilakukan.
Idealnya,
menteri kebijakan yang sangat penting dan strategis seperti Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif ini tidak dikeluarkan pada masa-masa seperti sekarang,
karena akan menjadi beban pemerintahan berikutnya.
Terakhir,
Supriyadi dan Anggara menyatakan bahwa Pemerintah jangan bermain-main dengan isu
pembatasan dan hak asasi manusia. Keduanya menegaskan bahwa ICJR dan IMDLN akan
mengajukan judicial review ke Mahkamah
Agung apabila pemerintah masih tetap nekat mengesahkan aturan kontroversi tersebut. (Bisnis Indonesia). (Erasmus A. T. Napitupulu Institute
for Criminal Justice Reform Jl. Cempaka No 4, Pasar Minggu-Jakarta 12530).