Desentralisasi
pendidikan memiliki makna yang mendalam dalam pembahasan pada studi politik dan
pemerintahan. Renneth K. Wong dalam Gregory J. Cizek, Handbook of
Educational Policy, yang dikutip oleh Tilaar (2009:225-226),setidaknya ada empat perkembangan
mengapa kekuasaan politik (pemerintahan) dan kekuasaan pendidikan saling
bertautan:
1. Budget
pendidikan yang dikeluarkan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun pemerintahan
negara bagian (daerah), semakin lama semakin besar. Alokasi budget tersebut
merupakan keputusan politik. Sektor pendidikan harus bersaing dengan
sektor-sektor lainnya untuk memperoleh bagian yg besar dari budget, baik budget
nasional maupun budget pemerintah daerah.
2. Kebijakan
pendidikan selalu akan menyangkut masalah nasional.
3. Masalah
pendidikan menjadi bahan kontrol dari tingkat-tingkat pemerintahan. Hal ini
mudah dimengerti karena budget yang semakin besar yang dialokasikan terhadap
pendidikan.Hal tersebut menuntut adanya kontrol atau campur tangan kekuasaan
politik dalam manajemen pendidikan.
4. Masyarakat
menyadari bahwa keputusan-keputusan pemerintah sangat berpengaruh terhadap
kualitas pendidikan anak-anaknya. Oleh sebab itu, masyarakat tidak dapat
melepaskan diri dari urusan-urusan pendidikan.
Tuntutan
dan kebutuhan desentralisasi pendidikan muncul dan berkembang sebagai bagian
dari agenda global tentang demokratisasi dan desentralisasi pemerintahan dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) (Rohman
dan Wiyono, 2010: 17). Artinya desentralisasi pendidikan merupakan suatu
keadaan dan tuntutan perubahan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan bidang
pendidikan yang tak bisa terhindarkan dari adanya tuntutan global.
Desentralisasi
menjadi agenda politik yang strategis untuk pendidikan di negaranegara di dunia
terutama pada dua dekade sebelumnya ( Fullan dan Watson, 2000). Terkait dengan
desentralisasi pendidikan ini, dalam pandangan Rondinelli dapat dilihat dari
empat pendekatan. Rondinelli (1984) menjelaskan mengenai pelimpahan wewenang
dalam desentralisasi pendidikan dapat dipahami melalui empat pendekatan, yakni
dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi.
Konsep
desentralisasi pendidikan sebagai suatu proses dimana suatu lembaga yang lebih
rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala
tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada
serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan (Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001).
Lembaga yang lebih rendah dalam pemahaman ini adalah pemerintahan daerah otonom
yang berada di bawahnya.
Konsep
desentralisasi pendidikan merujuk kepada pengalihan kalau tidak dikatakan
pembagian wewenang pengambilan keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas.
Secara spesifik, yakni adanya proses pengalihan wewenang (transfer of
authority) dalam organisasi pendidikan dari satu tingkatan yang lebih
tinggi kepada tingkatan lain yang lebih rendah. Tingkatan pemegang wewenang
dalam dunia pendidikan sendiri pada dasarnya terletak pada empat level: pemerintah
pusat, pemerintah daerah provinsi, distrik atau pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan sekolah atau satuan pendidikan.
Konsep
lebih luas dan detail desentralisaisi pendidikan bahwa merupakan sistem
manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada
keberagaman, dan sekaligus pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan
keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan
geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau
universal sekalipun (Fakry Gaffar, 1990). Di sini makna dari desentralisiasi
pendidikan sebagai sebuah sistem yang didalamnya ada manajemen, wewenang dan
kekuasaan dalam memecahkan berbagai permasalahan pendidikan dalam satu
pemerintahan daerah.
Salah
satu wujud dari desentralisasi pendidikan ialah terlaksananya proses otonomi
dalam penyelenggaraan pendidikan. Disini mengindikasikan bahwa penyerahan
kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang ada di bawahnya sebagai pemahaman dari desentralisasi
pendidikan.Melalui desentralisasi yang dalam pelaksanaannya disebutkan sebagai
otonomi daerah adalah upaya melalui mana masyarakat memegang peranan dalam
penyelenggaraan pendidikan di daerah. Pada kontek ini keberdayaan masyarakat
pada penyelenggaraan urusan pendidikan di daerah menjadi penting. Masyarakat
memegang posisi sebagai salah satu unsur yang berperanan dalam penyelenggaraan
desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi
pendidikan mempunyai makna yang sangat besar sebagai perwujudan penghargaan
atas hak dan kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan untuk
anak-anaknya. Desentralisasi pendidikan berkaitan dengan proses demokratisasi,
intinya ialah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengambil keputusan di
lapangan mengenai bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai
dengan tuntutan kehidupannya. Dengan kata lain desentralisasi dan otonomi
pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa desentralisasi pendidikan mempunyai dua makna, yaitu : Pertama,
pengambilan keputusan dari rakyat secara langsung atau partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam manajemen situasional
atau manajemen kepemimpinan oleh rakyat dalam pendidikan.
Dalam
konteks yang dikemukakan oleh Armida Alisjahbana (2000) desentralisasi
pendidikan bermakna desentralisasi kewenangan bidang pendidikan. Kewenangan
bidang pendidikan yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab pemerintahan
daerah. Paqueot dan Lammaert (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi pendidikan
memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan
terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah yang bersangkutan
berdasarkan potensi daerah dan stakeholders. Oleh karenanya, desentralisasi
pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan
pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal seperti
kemampuan pembiayaan dan adanya partisipasi masyarakat.