Etika dapat diartikan sebagai sikap untuk memahami opsi-opsi yang
harus diambil di antara sekian banyak pilihan tindakan yang ada. Etika tidaklah
ditafsiri sebagai sesuatu yang merampas kebabasan manusia dalam berbuat.
Memang manusia disebut sebagai makhluk yang memiliki kebebasan.
Artinya, manusia itu bebas bila ia dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan
apa yang dilakukannya, dapat memilih
antara probabilitas-probabilitas yang
ada dan tidak dipaksa oleh seseorang, negara, atau kekuasaan apa pun.
Pembatasan ruang gerak yang ada yaitu dengan peraturan dan norma
hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang memelihara kebebasan yang telah
dinugerahkan kepada manusia itu sebenarnya. Karena semua menyadari bahwa
keterbatasan jenis kelamin, kesukaan, keterbatasan asal keterunan, keterbatasan
indera manusia, dan lain-lain merupakan keterbatasan yang itu merupakan kodrat
yang fitri.
Dalam hal ini ada beberapa bentuk kebebasan yang ada, yaitu:
Pertama, kebebasan
jasmani, yaitu kebebasan manusia untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Kebebasan
ini tergantung pada kemampuan tubuh itu sendiri.
Kedua, kebabasan
kehendak, yaitu kebebasan untuk menginginkan sesuatu yang diukur dengan
jangkauan berpikir seseorang.
Ketiga, kebebasan
moral, yaitu tidak adanya ancaman, tekanan, atau desakan.
Dengan berbagai macam bentuk kebebasan yang ada, manusia tidak
serta merta melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginan dirinya, baik yang
dapat menimbulkan kemaslahatan bagi masyarakat dan lingkungannya, sebaliknya
baik yang mendatangkan problem-problem yang mengakibatkan terjadinya
kesenjangan sosial. Sehingga jika itu terjadi, maka yang tampak dalam jati diri
manusia tersebut adalah sifat kebinatangannya bukan sifat kemanusiaannya.
Dengan demikian manusia harus mempertimbangkan kembali
tindakan-tindakan yang akan dilakukan supaya tidak bersimpangan dengan
ketentuan etika dan moral yang menjadi tumpuan seluruh masyarakat yang ada.