Dalam pemahaman krisis, Comte berpendapat harus melalui
pedoman-pedoman berpikir ilmiah. Ia juga banyak dipengaruhi oleh filsafat
sosial Encyclopedist Perancis, aliran reaksioner, dan sosialistik. Ia kemudian
dikenal sebagai pencetus perspektif pengetahuan positivisme atau filsafat
positivistik, sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berfikir
yang melandasi para filosof pencerahan. Comte berada dalam posisi yang sejalan
dengan gerakan antirevolusi kaum Katolik terutama dari Bonald dan de Maistre.
Dua hal yang dapat dicatat dalam hal ini adalah: pertama; ia
tidak mempunyai bayangan untuk berpikir kembali ke abad pertengahan, karena
perkembangan industri dan pengetahuan jelas tidak memungkinkan hal itu; kedua;
ia mengembangkan sistem teoritikal yang menarik ketimbang para pendahulunya
sehingga lebih memadai sebagai dasar pijakan pemikiran awal sosiologi. Sebagai
wujud perlawanannya terhadap filsafat negatif yang mendasari pencerahan dan
revolusi Perancis, Comte secara tegas menolak perubahan revolusioner. Dia
menganjurkan perubahan evolusi. Reformasi memang dibutuhkan sejauh membantu
proses evolusi itu sendiri.
Teori evolusi inilah kemudian yang mendorong lahirnya hukum tiga
tahap perkembangan (the law of the three stages), dan ia percaya bahwa
semua ilmu pengetahuan melampaui ketiga tahap tersebut sesuai dengan tingkat
komleksitas mereka masing-masing. Ia percaya bahwa ilmu positivis yang berjaya dalam
dunia matematik, anstronomi, fisika dan biologi haruslah dapat diberlakukan
dalam dunia politik yang pada muaranya kemudian masuk kepada pengetahuan
positif, yang ia sebut dengan sosiologi.
1)
Tahap Teologis
Dalam tahap ini
masyarakat percaya akan kekuatan superanatural, dan agama di atas
segala-galanya. Manusia menempatkan diri sebagai peserta, yang dalam istilah
Bruhl disebut dengan mental partisipasi, di mana manusia dalam hidup tidak bisa
lebih selain ikut serta dalam proses-proses kosmos yang dikendalikan oleh
gagasan-gagasan keagamaan. Dunia fisik maupun sosial dipandang sebagai produk
Tuhan. Bentuk-bentuk pemikiran tahap awal perkembangan atau evolusi manusia ini
adalah fetishisme dan animisme yang menganggap alam semesta ini
berjiwa.
2)
Tahap Metafisika
Dalam tahap ini
masyarakat berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dan bukan prsonifikasi Tuhan
adalah sumber kekuatan fisik maupun sosial. Dengan kata lain, dalam mencoba
menjelaskan bebagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi
dengan kekuatan akal-budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian
metafisis.
Prinsip-prinsip
penjelasan tentang realitas, fenomina dan berbagai peristiwa dicari dari alam
itu sendiri. Namun, oleh karena penjelasan yang dilakukan belum bersifat
empirik, maka cara menjelasakan berbagai realm, kehidupan itu tidak
berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum
alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya.
Sehingga,
menurut Comte cara berpikir metafisik ini sebenarnya adalah pergantian nama
saja dari cara berpikir teologis. Baginya, cara berpikir manusia harus keluar
dari tradisi teologis maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang
dapat dijadikan sebagai sasaran mencari kebenaran.
3)
Tahap Positif
Pada akhirnya
perkembangan masyarakat memasuki tahap positivistic, tahap masyarakat
mempercayai pengetahuan ilmiah, dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan
observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Pada tahap ini
gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat
ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode empirik. Manusia tumbuh
menjadi kekuatan yang mampu menggunakan akal-budinya untuk menemukan
pengetahuan baru. Dalam tahap inilah pemikiran positivistik, empirik dan
naturalistik menggantikan otoritas pengetahuan teologis, serta pengetahuan
metafisis.
Berkaitan
dengan kecenderungannya untuk menelusuri ilmu pengetahuan atas dasar hukum
keteraturan huku-hukum alam, Comte menyatakan:
Cukup lama manusia belajar bahwa kekuatan manusia memodifikasi
fenomena hanya akan berhasil jika melalui pengetahuannya tentang hukum alam;
dan ketika berhadapan dengan ketidak dewasaan pengetahuan, mereka yakin bahwa
dirinya mampu mengerahkan kekuatannya yang tidak terbatas. Menghadapi fenomena
pengetahuan semacam itu kita menyaksikan aliran metafisikal, menganggap
peristiwa-peristiwa yang bisa diamati sebagai kebetulan, dan kadang-kadang
metode yang ditawarkan nampak sangat absurd, melecehkan kekuatan akal
budi manusia dalam memahami kehidupan manusia. Aliran ini memperlihatkan
tindakan sosial manusia menjadi tidak pasti dan arbitrary, termasuk
dalam memberikan gejala biologi, kimia, fisika dan bahkan anstronomi, pada
tahap awal perkembangan pengetahuan aygn mereka miliki. Di situ tidak ada
peluang menumbuhkan keteraturan dan konsensus. Prosedur (positive) adalah basis
pengetahuan dalam kehidupan manusia; karena kecenderungan watak manusia yang
menghendaki karakteristik otoritas yang sebenarnya yang harus dipenuhi dengan
menempuh hukum rasional.
Oleh karena
itu, Comte beranggapan bahwa pengetahuan sosial mensyaratkan subordinasi
observasi terhadap hukum statik maupun dinamik suatu fenomena. Tidak ada fakta
sosial yang mampu mengahasilkan pengetahuan ilmiah kecuali ia dikaitkan dengan
fakta-fakta sosial yang lain. Tanpa menghubungkan masing-masing fakta sosial
tersebut, hanya akan melahirkan anekdot, dan tidak akan memberi manfaat apa-apa
terhadap kebutuhan rasional. Dengan demikian, formasi teori sosial memerlukan
pemikiran yang terorganisir, dipersiapkan dengan cara-cara berfikir rasional
yang terlatih.
Sumber bacaan:
Veeger, KJ., Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial Atas
Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta:
Gramedia, 1985).
Maliki, Zainuddin, Sosiologi Pendidikan, Cet. II,
(Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS, 2010).