Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama
pada level internasional, maka pada tahun 1958, di Tokyo, diadakan kongres
internasional oleh The International Association for The History of
Religion, dalam Konggres itu Friedrich Heiler dari Marburg menerangkan
bahwa memberi penerangan tentang kesatuan semua agama merupakan salah satu dari
tugas-tugas yang amat penting dari ilmu agama. Orang yang mengakui kesatuan
agama, menurutnya, harus memegangnya dengan serius dengan toleransi dalam
kata-kata dan perbuatan. Di sini Heiler melihat betapa dekatnya agama-agama itu
satu sama lainnya; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan
amalan-amalannya, ia dibawa kepada suatu yang transenden yang melampaui semua
namun tetap imanen dalam hati manusia. Oleh karena itu, studi ilmu perbandingan
agama merupakan pencegah paling baik untuk melawan eksklusivisme, karena ia
mengajarkan cinta; di mana ada cinta tentu di situ ada kesatuan dalam jiwa.
Di akhir pidatonya, Heiler menganalogikan
pentingnya ilmu perbandingan agama dengan apa yang dilakukan oleh Helmholtz,
penemu kaca mata, yang telah membantu jutaan orang yang sakit mata. Hal
demikian juga berlaku bagi studi ilmiah tentang agama, usahanya untuk mencari
kebenaran membawa akibat-akibat yang penting bagi hubungan yang praktis antara
agama satu dengan lainnya.
Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa belum tampaknya hasil yang
signifikan dari pendekatan dialog dalam menyelesaikan konflik antarumat
beragama selama ini karena pendekatan yang dilakukan masih bersifat top down,
belum menggunakan model dialog yang bersifat buttom up sehingga bisa
dijadikan sebagai bahan perbandingan dan evaluasi penyelenggaraan dialog
kerukunan di masa mendatang.
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya,
diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk
mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun
sawa’) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik
yang unik dan kompleks.
Dalam kasus dialog antara Islam dan Kristen,
menurut Hassan Hanafi keduanya mempunyai dua “karakteristik ideal” (ideal
types) yang kaya untuk dikomparasikan dan selanjutnya bisa mengantarakan
kepada suatu common platform. Dialog perlu dilakukan dengan
mengedepankan prinsip humanisme, karena antara Islam dan Kristen mempunyai
pandangan yang kosmopolit mengenai manusia yang lebih memudahkan untuk
melakukan komparasi antara dua dimensi: antropologis dan teologis. Tuhan dan
manusia, menurut Hanafi, merupakan kata kunci bagi timbulnya persatuan dan
perpecahan antara kultur modernitas dan kultur tradisional atau antara Kristen
dan Muslim di Timur.
Ada beberapa alasan keraguan sementara orang-orang
muslim menanggapi dialog agama ini. Gerakan dialog ini adalah murni inisiatif
Kristen Barat dan orang-orang Islam merasa diri mereka sebagai tamu yang
diundang, tidak memiliki agenda dan merasa hasil yang bisa dicapai dari dialog
ini sedikit. Keyakinan mereka bahwa misi Kristen merupakan agenda tambahan atas
kolonialisme yang sering dilakukan orang-orang Kristen menambah
ketidakpercayaan terhadap agenda Kristen dan dialog tersebut ditakutkan oleh
orang-orang muslim sebagai agenda tersembunyi dari agenda evangelism.
Ketidakpercayaan ini ditambah dengan ketidakadilan global Barat, khususnya
dalam konflik Israel-Palestina.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dialog ini menurut Hans
Kung adalah, bahwa setiap orang beragama
harus membuktikan keimanannya masing-masing. Terlepas dari semua perbedaan yang
ada menurut Kung, orang Kristen dan Islam harus
bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani masyarakat manusia dengan
penuh penghormatan satu sama lain.
Seyyed Hossein Nasr menawarkan kajian agama dengan
philosohia perennis, karena dia melihat bahwa banyaknya kajian keagamaan
di Barat kurang memahami bahwa realitas agama sebagai agama dan bentuk-bentuk
yang sakral sebagai realitas ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian
agama adalah suatu pengetahuan yang bisa memandang agama secara adil, yaitu dengan menggunakan perennial wisdom
yang berada dalam “hati” semua tradisi-tradisi keagamaan. Philosophia perennis
merupakan pengetahuan yang berada pada dalam “hati” agama yang bisa menerangkan
makna ritus-ritus keagamaan, doktrin-doktrin dan simbol-simbol. Philosophia
perennis juga menyediakan kunci untuk memahami pentingnya pluralitas agama
dan metode untuk masuk kepada dunia agama lain tanpa mereduksi signifikansi
atau menghilangkan komitmen kita kepada dunia agama yang menjadi kajian kita. philosophia
perennis akan mengkaji agama dari segala aspeknya; Tuhan dan manusia, wahyu
dan seni yang sakral, simbol-simbol dan images, ritus-ritus dan
hukum-hukum agama, mistisisme dan etika sosial, metafisika, kosmologi dan
teologi.
Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut,
maka pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit
agama, tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat
awam yang bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam
kehidupan sehari-hari.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap
agama orang lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena
tanpa ini dialog mustahil dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama
dipergunakan untuk memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri
merupakan media untuk memahami agama lain secara benar dan komprehensif.
Dialog antarumat beragama yang benar dapat
menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup
antarumat beragama. Dalam dialog ini diperlukan sikap saling terbuka
antarpemeluk agama yang berdialog. Sebenarnya menganggap bahwa agama yang
dipeluk itu adalah agama yang paling benar bukanlah anggapan yang salah, bahkan
yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, dan orang
lainpun dipersilahkan untuk meyakini bahwa agama yang ia peluk adalah agama
yang paling benar. Malapetaka akan timbul apabila orang yang yakin bahwa agama
yang ia peluk adalah agama yang paling benar, lalu beranggapan bahwa karena itu
orang lain harus ikut ia untuk memeluk agama yang ia peluk.
Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa model dialog antarumat
beragama (tripologi), yaitu: Pertama, dialog
parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan
ratusan peserta, seperti dialog World’s Parliament of Religions pada
tahun 1873 di Chicago, dan dialog-dialog yang pernah diselenggarakan oleh World
Conference on Religion and Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua,
dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog diantara
wakil–wakil institusional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini
sering dilakukan untuk membicarakan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat
beragama yang berbeda. Dialog seperti ini biasanya melibatkan majelis-majelis
agama yang diakui pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan
Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu
Darmadan Perwalian Umat Budha Indonesia(WALUBI). Ketiga, dialog teologi
(theological dialogue). Dialog ini mencakup pertemuan-pertemuan reguler
maupun tidak, untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis. Dialog
teologi pada umumnya diselenggarakan kalangan intelektual atau
organisasi-organisasi yang dibentuk untuk mengembangkan dialog antaragama,
seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA, dan lain-lain. Keempat,
dialog dalam masyarakat (dialogue in community), dialog kehidupan (dialogue
of live), dialog seperti ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian
“hal-hal praktis dan aktual” dalam
kehidupan yang menjadi perhatian bersama dan berbangsa dan bernegara. Dialog
dalam kategori ini biasanya diselenggarakan kelompok-kelompok kajian dan LSM
atau NGO. Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue),
yaitu dialog yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan
spritual di antara berbagai agama.
Pada pihak Kristen, menurut Kate Zebiri sikap
keterbukaan terhadap agama lain telah melahirkan gerakan antar iman yang pada
dekade terakhir terekspresikan dalam dialog yang terorganisir. Vatican telah
mendirikan sekretariat bagi agama non-Kristen (Pasific Council for Interreligious
Dialogue-PCID) pada tahun 1964 yang mempunyai misi mempromosikan kajian
tradisi-tradisi agama lain dan mensponsori dialog antar iman (interfaith
dialogue). Vatican II (1962-5) juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi
tentang penghormatannya terhadap orang-orang muslim, karena mereka menyembah
Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih dan Perkasa. Mereka juga tunduk
sepenuh hatinya kepada takdir Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim yang
merupakan sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak mengakui bahwa Yesus
sebagai Tuhan tetapi mereka mengakuinya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati
Maryam, Ibu Yesus yang suci. Mereka juga menantikan Hari Perhitungan.
Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad
Gaus adalah, dialog yang meleburkan diri
pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil dengan sikap kritis. Karena
setiap agama memiliki nilai-nilai
kebaikan dan misi penegakan moralitas.
Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno, bahwa tidak cukup
membangun dialog antaragama hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun
perlu pula logika psikis. Maka ikhtiar dialog
teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairan-pencairan
psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul. Memang,
seperti juga yang diungkap oleh Kautsar Azhari, bahwa kendala dialog antar umat
beragama adalah persoalan eksklusivisme. Seorang eksklusivis akan terus
berusaha agar orang lain mengikuti agamanya dengan menganggap agama orang lain
keliru dan tidak selamat (truth claim).
Dengan demikian, sepanjang sikap di atas belum tercairkan, maka
dialog menuju cita-cita agama yang luhur sulit dicapai. Maka jangan khawatir
dengan dialog, karena yang ingin dicapai dalam dialog, kata Victor I. Tanja
bukan soal kompromi akidah, melainkan bagaimana akhlak keagamaan kita dapat
disumbangkan kepada orang lain. Dan seperti tegas Shihab, bahwa kita tidak
ingin mengatasnamakan ajaran agama, dan kemudian mengorbankan kerukunan
beragama. Dan pada saat yang sama, kita tidak ingin menegakkan kerukunan agama
dengan mengorbankan agama. Islam mendambakan kerukunan, tetapi jangan lantas
demi kerukunan, agama kita terlecehkan.
Ulil Abshar Abdalla dalam artikelnya, “Beberapa Kendala Praktis
Dialog Antar Agama”, menengarai tujuh kendala praktis di lapangan yang
menghalangi pertemuan antar umat beragama, yaitu: adanya kecenderungan dialog
yang bersifat diskursif dan elitis; kurang serius (baca: agresif) dalam
memperjuangkan isu dialog; adanya kesenjangan antara kelompok elit agama dengan
mediator (da’i) di lapangan; tidak memadainya “infra struktur dialog”;
adanya prasangka antar umat beragama dan juga intern umat beragama; adanya
kesenjangan sosial dan ketidakadilan dan tidak adanya dialog intern umat
beragama. Sementara menurut mantan menteri agama, Tholchah Hasan, pembinaan
kerukunan umat beragama yang ada selama ini, ditengarai masih cenderung
berorientasi struktural dan politis.
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya,
diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk
mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun
sawa’) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai
karakteristik yang unik dan komplek. Huston Smith, dalam pengantarnya
mengungkapkan tentang tesis Schuon mengenai hubungan antara agama-agama bahwa
segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan, demikian juga dengan
agama. Agama-agama yang hidup di dunia ini disebut “agama” karena masing-masing
memiliki persamaan.
Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut berada pada
level esoterisme, sedangkan pada level eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.
Oleh karena itu, untuk mencari titik temu antar agama, perlu adanya kajian
esoteris terhadap agama. Menurut
Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara
komprehensif, kita harus memahami agamanya (kitab agama) melalui bahasa
aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”.
Menurutnya, setiap agama merefleksikan, membenarkan, menambahi dan melawan yang
lain.
Sumber Referensi:
Ali, Mukti, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1998).
Hanafi, Hassan, Religious Dialogue & Revolution, Essay on
Judaism, Christianity & Islam (Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop,
1977).
Kung, Hans, “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal
Paramadina (Jakarta, Paramadina Juli-Desember, 1998).
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman
Islam (Jakarta: Paramadina, 1999).
Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas”
Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).
Hasan, Tolhah, Reaktualisasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama
(Makalah Seminar, 1999).
Pannikar, Dialog Intra Religius (Yogyakarta: Kanisius,
1994).