Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme
keagamaan, demikian ungkap Coward Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang
tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian
dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali
dalam hal keagamaan.
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi
agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward, setiap agama
muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk
dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami
secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan
dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik
sosial dan disintegrasi bangsa.
Menurut Tracy, diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang
tidak ada yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang
pencerahan atau wahyu, tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi
yang dibangun dalam semua pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness,
Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa
yang diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan
kita tentang harmoni dan disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan
penafsiran tentang cara apa yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan
kita) dari pemusatan-diri secara fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara
bebas. Tetapi diskurus dan cara-cara agama seperti itu kadang-kadang bisa
saling melengkapi, dan pada batas tertentu,
melengkapi beberapa aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada
saat yang sama juga bisa saling mengganggu dan melenyapkan.
Menurut Hick, bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan
terhadap fondasi bersama bagi seluruh
varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian
lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai
pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan tersebut.
Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua
menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang,
sebagaimana kata Soroush, adalah seorang teolog yang membela pluralisme dan
inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee.
Tetapi, kenapa pula pemeluk agama monoteis justru inheren
dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark, claim pemeluk
agama monoteisme yang partikularistk-subjektif bahwa agama yang dipeluknya adalah
satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan
Sejati (One True God) banyak memicu konflik. Stark menyoroti
subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun
Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya, Stark
berkesimpulan, bahwa berbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada
relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi
berkaiatan dengan intensitas keagamaan. Ketika beberapa agama
partikularistik yang kuat saling
mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik akan termaksimalisasikan, begitu
pula tingkat intoleransi.
Menurut Stark, pluralisme agama memang merupakan keniscayaan dan
pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam
organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang
terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan
akan terjadi konflik yang intens. Stark
sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa
organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.
Huston Smith, dalam
memberikan komentar karya Schuon mengenai hubungan antar agama-agama,
mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan,
demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia ini disebut “agama”
karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik temu antara
agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level
eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.
Menurut Raimundo Panikkar,
untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami
agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan
bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya, ada tiga macam sikap keagamaan
manusia: eksklusif, inklusif dan
paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya, seseorang menganggap bahwa hanya
agamanya saja yang benar, sementara yang lain salah; sikap inklusif
artinya seseorang beranggapan, bahwa
agamanya yang paling benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap
plural artinya, seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung
kebenaran masing-masing.
Sumber Refrensi:
Yahya, M, et.al., Respon Masyarakat Awam (Islam-Kristen)
Terhadap Dialog Antarumat Beragama di Kabupaten Malang, (Laporan Hasil
Penelitian Hibah Bersaing Depag RI. 2002).
Ghaffar Mahfuz, Abdul, Tokoh Agama dalam Mewujudkan Kerukunan
Antarumat Beragama (Palembang:
IAIN Raden Fatah 1997).
Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-agama (Yogyakarta:
Kanisius: 1989).
Tracy, David, Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion,
Hope (University of Chicago Press, 1987).
Zakiyuddin, Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan
(Yogyakarta: Lesfi, 2002).
Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj.
Abdullah Ali (Bandung: Mizan. 2003).
Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M.
Sadat Ismail (Jakarta: Nizam, Yogyakarta: Qalam. 2003).